Abad kedua Hijriah adalah era kelahiran mazhab-mazhab hukum. Dua abad kemudian, mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum. Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi, menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dari beragamnya produk hukum yang dihasilkan.
Diakui atau tidak, bahwa selama periode abad kedua sampai dengan abad keempat Hijriah merupakan periode gerakan pemikiran hukum secara besar-besaran dan meluas di berbagai kawasan. Hal ini, tidak lain karena di samping para ulama atau fuqaha mempunyai kesungguhan dalam menggali hukum, juga karena para Khalifah Bani Abbas mempunyai perhatian dan minat yang cukup besar terhadap hukum Islam dan fuqaha.
Kita tahu, para tokoh atau Imam Mazhab, seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori, dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan, dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapinya. Baik itu dalam memahami nash al-Qur’an dan al-Hadis, maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.
Melembaganya Doktrin-doktrin Para Imam Mazhab
Kita yakin bahwa, para tokoh dan Imam Mazhab ini, pada dasarnya tidak bermaksud untuk membentuk mazhab atau aliran tertentu berusaha berbeda satu sama lainnya. Tetapi, dalam perjalanan sejarahnya lebih lanjut, metodologi teori dan kaidah-kaidah yang telah dirumuskan tersebut berkembang dan diikuti oleh orang-orang yang datang kemudian, serta ia (tanpa disadari) menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya.
Teori atau metodologi ini, dalam kenyataannya, semakin mengakar karena di samping para pengikutnya dari masing-masing tokoh mensistematisasi keberadaannya juga sekaligus mengintrudusirnya sebagai suatu cara yang paling tepat dalam melakukan istinbat hukum terhadap berbagai kasus hukum yang dihadapi.
Dengan semakin mengakar dan melembaganya doktrin pemikiran hukum, di mana antara satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang dijadikan pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab tersebut dalam melakukan istinbat hukum.
Tentu saja, polemik dan terjadinya produk hasil ketetapan hukum dalam banyak hal merupakan sesuatu yang tak dapat dielakkan. Masing-masing aliran atau mazhab berusaha mempertahankan metodologi dan teon yang mereka pegangi, dan bahkan lebih jauh lagi mereka berupaya pula menginstrudusirnya dalam masyarakat Islam.
***
Hal ini, terbukti, terutama sekali terlihat, bahkan para tokoh mazhab dan pengikut-pengikut mereka berusaha dengan giat menyebarkan dan menawarkan teori-teori pemikiran di beberapa kawasan dunia Islam, sebagai basis kegiatan dari masing-masing mazhab tersebut. Imam Syafi’i mengatakan, bahwa setiap kota di dunia Islam merupakan pusat pengetahuan yang warganya mengikuti pendapat para ahli hukum di kota itu, seperti di Makkah, Madinah, Kufah, Basrah setempat terlibat dalam kegiatan dan kontroversi hukum secara intens.
Joseph Schacht dalam buku “Pengantar Hukum Islam”, menyebutkan bahwa para ulama (ahli agama) dari masing-masing jamaah mazhab di tengah-tengah masyarakat Islam berusaha mengembangkan persetujuan menimal terhadap ajaran-ajaran agamanya.
Dan pada pertengahan abad kedua Hijriah, banyak orang mengganti atau melepaskan doktrin (ajaran, paham yang dianut) mereka sendiri. Lalu kemudian mengikuti ajaran dari ulama yang relatif diakui oleh umum, sambil mencanangkan hak untuk membedakan diri dengan guru mereka pada masalah-masalah tertentu.
Teori-teori pemikiran hukum yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya. Kenapa demikian? Karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbat hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut terakhir inilah dalam pemikiran hukum Islam dengan sebutan Ushul Fiqh.
***
Dalam pemikiran hukum Islam, ilmu Ushul Fiqh merupakan satu disiplin ilmu yang obyek kajiannya berbicara tentang manhaj atau metode yang ditempuh oleh ulama atau fuqaha dalam melakukan istinbat hukum (tariqat istinbat al-ahkam).
Namun, dalam kenyataannya, setelah melembaganya mazhab-mazhab hukum, maka masing-masing mazhab ini mempunyai ciri tersendiri dalam melakukan istinbat hukum, di mana satu sama lainnya terdapat perbedaan-perbedaan yang khas dari keberadaan masing-masing mazhab tersebut.
Akibatnya, tentu saja, persolan Ushul Fiqh sebagai metode dalam melakukan istinbat hukum menjadi sesuatu yang kompleks dan tidak bisa dilihat dari satu sisi saja, karena ternyata setiap mazhab hukum berpijak pada dasar-dasarnya yang mereka kembangkan sebagai pedoman dalam melakukan istinbat hukum. Dengan kata lain, setiap mazhab hukum berpijak pada ushul al-mazhab yang telah digariskan.
Oleh karena kompleksnya persoalan Ushul Fiqh ini dan setiap mazhab hukum berpijak pada ushul mazhab mereka masing-masing, maka mau tidak mau menuntut kita untuk melakukan analisis secara mendalam dengan cara membandingkan satu sama lainnya dan bukan menolaknya.
Disadari bahwa Ushul Fiqh yang dikembangkan oleh setiap mazhab dalam melakukan istinbat hukum itu, sebagai suatu teori, jelas bahwa pada satu sisi di antara mereka mempunyai keunggulan tersendiri dan pada sisi lain terdapat kelemahan.
Muqaranah Ushul Fiqh antar mazhab
Melakukan Muqaranah terhadap Ushul Fiqh antar mazhab, merupakan keharusan dan menjadi bagian tersendiri yang tidak bisa diabaikan. Sebab, dengan cara ini, di samping dapat memahami Ushul Fiqh secara komprehensif, juga merupakan cara terbaik dalam mencari alternatif untuk melakukan istinbat hukum.
Dengan kata lain, keberagaman metodologi atau teori yang berkembang dalam sistem istinbat hukum serta berupaya melakukan muqaranah (perbandingan) di antaranya, bukanlah sesuatu yang negatif, dan bukan pula mencari kelemahan yang terdapat pada masing-masing mazhab tersebut.
Melakukan muqaranah terhadap ushul mazhab dengan perbedaannya masing-masing, dimaksudkan untuk melihat titik perbedaan serta mengapa terjadi perbedaan cara melakukan istinbat yang tidak jarang melahirkan produk hukum yang berbeda pula.
***
Demikian juga, menelaah berbagai metode atau teori yang digunakan oleh mazhab-mazhab hukum dalam melakukan istinbat dan sekaligus melakukan muqaranah (perbandingan) di antara metode yang berbeda tersebut, adalah merupakan hal yang amat penting dan tidak bisa diabaikan. Sebab, dengan terdapatnya metode yang digunakan dalam istinbat hukum, maka melahirkan berbagai implikasi yang luas terhadap hukum Islam itu sendiri.
Pertama: Dalam artian positif, bahwa dilihat dari segi teoritis, terdapatnya berbagai pilihan (alternatif) untuk memecahkan persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan umat Islam. Diakui, bahwa kadang-kadang satu metode yang dipegangi oleh mazhab tersebut tidak dapat diterapkan atau digunakan pada satu masalah dan terpaksa harus menggunakan metode mazhab yang lain.
Sebagai contoh, perbedaaan antara mazhab Hanafi dengan Imam Syafi’i tentang qiyas dan istihsan. Kasus sisa minuman burung buas berdasarkan teori Istihsan adalah suci sedangkan menurut Qiyas najis. Menurut Qiyas, sisa minuman burung buas yang diharamkan dagingnya adalah sama dengan sisa minuman hewan buas seperti harimau, singa yang haram dagingnya. Sebab sisa minuman hewan buas mengikuti hukum dagingnya pula.
***
Dalil Qiyas ini di kalangan ulama mazhab-mazhab seperti: Syi’ah, Ahlu Zahir dan sebagian dari kalangan Mu’tazilah adalah golongan-golongan yang menentang dan menolak al-Qiyas sebagai dalil hukum. Padahal, kalangan jamhur fuqaha terutama mazhab yang empat (seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) memandang qiyas sebagai dalil hukum dan dijadikan hujjah syar’iah ketika tidak didapatkan alasan dalam nash untuk menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapi oleh umat Islam.
Bila diteliti secara cermat, praktik ajaran Islam dalam kehidupan umat, terlalu banyak produk hukum yang ditetapkan berdasarkan teori Qiyas, yang tetap lestari hingga sekarang ini. Metode al-Qiyas ini, tidak saja digunakan oleh ulama mutaqaddimin, tetapi juga oleh para ulama mutaakhirin dalam menyelesaikan kasus-kasus baru yang tidak ditemukan dalilnya di dalam nash.
Demikian pula halnya dengan dalil masalih al-mursalah. Dalil hukum yang disebut ini diperdebatkan oleh para ulama mazhab tentang otoritas dan keabsahannya sebagai salah satu dalil dalam istinbat hukum.
***
Imam Malik dan pengikutnya berhujjah dengan maslahat mursalah dan menggunakan sebagai dalil yang berdiri sendiri dalam banyak hal. Sementara ini ulama lainnya menolak atau setidak-tidaknya membuat batasan-batasan yang sangat ketat, yang ukurannya sejalan atau tidak dengan pengakuan syari’.
Memilih salah satu metode yang lebih tepat dan aplikatif dari sejumlah cara yang ada, tentu merupakan langkah yang sangat arif dalam melakukan istinbat hukum. Kita tidak dapat mengenyampingkan cara-cara penakukan dan penelitian hukum dari berbagai mazhab yang ada dan tetap bertahan pada satu mazhab yang mungkin tidak aplikatif lagi, apalagi menutup metode yang digunakan orang ini. Banyak persoalan baru yang harus diselesaikan melalui beberapa pendekatan yang tidak dapat berpegang pada satu metode saja.
Dengan kata lain, penjelasan dan pemahaman hukum harus dilakukan melalui pendekatan yang tidak dapat berpegang pada satu metode saja. Pun, penjelasan dan pemahaman hukum harus dilakukan melalui pendekatan menyeluruh dan muqaranah antara satu dengan yang lainnya.
***
Kedua, akibat logis dari keragaman metode dan perbedaan-perbedaan di kalangan mazhab dalam melakukan istinbat hukum akan mempengaruhi ketetapan hukum yang dihasilkan. Bahkan, dalam kenyataannya tidak jarang hasil ketetapan satu mazhab dengan mazhab yang lainnya saling berlawanan.
Sebagai contoh, perbedaan antara kalangan Hanafiyah dengan Syafi’iyah tentang hukum minum nabiz (anggur). Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa nabiz jika tidak mabuk, maka tidaklah haram. Sedangkan kalangan Syafi’iyah dan ulama Hijaz berpendapat bahwa nabiz haram karena diduga dapat memabukkan, sedikit atau banyak tetap haram hukumnya.
Ternyata, setelah mencermati akar perbedaan dua mazhab yang disebutkan terakhir ini berpangkal pada sistem istinbat yang mereka gunakan, yaitu berbeda dalam melihat “illat” yang menjadi sebab pengharaman nabiz. Jika kalangan Hanafiyah menyebutkan haramnya meminum nabiz itu kalau orang yang meminumnya sudah mabuk. Artinya, yang menjadi ukuran atau illatnya mabuk itu sendiri. Jika orang yang meminum nabiz itu tidak mabuk, maka tidak haram.
Berbeda halnya dengan kalangan Syafi’iyah, yang menjadi ukuran atau illat pengharaman nabiz itu bukan mabuknya, tetapi meminum nabiz tersebut diduga dapat memabukkan. Oleh karena itu, orang yang meminum nabiz, meskipun tidak mabuk dan atau sedikit saja, apa lagi banyak tetap haram hukumnya.
Dari sini dapat dipahami bahwa betapa luas dan kompleksnya khazanah hukum Islam yang menuntut pemahaman secara komprehensif bagi orang yang ingin mendalaminya. Tetaplah, bahwa jalan yang terbaik adalah melakukan muqaranah secara menyeluruh dari mazhab-mazhab yang ada, terutama yang berkaitan dengan metode istinbat yang digunakan dalam menyelesaikan persoalan hukum yang mereka hadapi.
Di samping itu, mengkaji metode istinbat hukum dari berbagai mazhab hukum, lalu membandingkan satu sama lainnya jelas akan memberikan wawasan yang luas dalam pemahaman tentang pemikiran hukum Islam. Wallahu a’lam bisshawaab.
Editor: Soleh