Kenapa Islam tidak berkontribusi dalam peradaban modern? atau pertanyaan yang kerapkali dilontarkan kaum cendekiawan adalah kenapa Islam mengalami kemunduran? Untuk menjawab pertanyaan ini memang tidak gampang, harus ditelisik secara komprehensif dan melibatkan kajian historis-komparatif yang mendalam. Agar kita bisa membangun kembali peradaban Islam.
Membangun (Kembali) Peradaban Islam
Sudah banyak sarjanawan yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut, misalnya Ira M. Lapidus dalam bukunya Sejarah Sosial Umat Islam menyebut faktor utama kemunduran Islam disebabkan imperialisme Eropa di seluruh wilayah Muslim yang akhirnya mengubah pola institusi dan komunitas sosial umat yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Akibat imperialisme Barat tersebut, institusi politik dan sosial Islam harus menerima perangkat baru berupa sistem ala Barat yang akhirnnya memecah belah umat. Dulunya, umat Islam mewakili satu keutuhan wilayah yang luas, tidak ada konsep negara-bangsa. Tetapi, semenjak kaum imperialis datang, wilayah itu akhirnya terbagi menjadi negara-negara bagian dengan sistem pemerintahan yang mandiri.
Ihsan Masood dalam Science and Islam; A History, mencoba melacak bagaimana Islam hadir sebagai sebuah peradaban agung yang menjadi embrio lahirnya peradaban modern hari ini. Baginya, peradaban Islam dibangun dalam tiga fase;
Pertama, fase purifikasi untuk menanamkan gagasan, sikap, perilaku dan keyakinan yang murni. Pada tahap ini, Rasulullah memerlukan waktu tiga belas tahun untuk menggembleng para pengikutnya tentang keesanaan Allah Swt (Tauhid).
Kedua, fase formasi sosial Muslim yang lebih luas. Setelah Rasulullah Saw hijrah ke madinah, umat Islam tampil sebagai komunitas sosial dominan, Islam tak lagi disyi’arkan dalam lingkup antarpersonal, tetapi secara langsung lewat mimbar dan pasar. Ketiga, fase penaklukan (conquest) di mana pada fase ini, Islam hadir sebagai agama serta identitas masyarakat yang khas.
Kejayaan Masa Lalu
Selama lebih dari seribu tahun Islam berkuasa, Islam sebagai institusi politik telah mapan, ia mengalami proses akulturasi dengan budaya baru dan memberi gairah dalam tradisi intelektual di mana khazanah pengetahuan Yunani dan Persia terus dikembangkan. Sehingga, dalam konteks ini, Islam mewakili kekayaan kultural dari kebudayaan besar lainnya.
Namun, kejayaan peradaban Islam itu sepertinya hanya tinggal memori yang ditulis dalam lembaran sejarah masa lalu. Nampaknya, umat Islam telah kehilangan arah dan bingung harus mulai dari mana agar kejayaan tersebut dapat terulang kembali. Menurut saya, ada beberapa proyek besar yang telah digarap umat Islam dalam satu abad terakhir sebagai bentuk upaya untuk melawan dominasi Barat, tetapi tetap saja gagal.
Upaya tersebut di antaranya melalui proyek purifikasi agama yaitu kembali pada dogma yang murni. Tetapi, hasil akhirnya adalah pengkultusan diri, merasa paling benar dan semakin jauh dari semangat peradaban. Sekali lagi, yang saya garisbawahi yaitu purifikasi dalam arti upaya untuk membangun peradaban Islam kembali, bukan masalah normatif.
Begitu pula garapan proyek sosial dan politik yang mengalami nasib hampir sama, Pan-Islamisme yang digagas negara-negara Arab untuk menyatukan entitas kaum Muslim pun menemui jalan buntu. Ditambah lagi upaya melalui gerakan sosial (social movement) garapan Hassan al-Banna, Muhammad Iqbal hingga Jamaluddin al-Afgani pun belum menuai hasil.
Lantas apa proyek besar umat Islam untuk membangun kembali peradabannya? atau apa upaya yang dapat dilakukan untuk meredam dominasi Barat saat ini? Bagi saya, ada dua gagasan besar yang perlu digarap umat Islam yaitu melalui gagasan intelektual dan gagasan politik.
Gagasan Intelektual
Era Modernisme, selain membawa misi transformasi sosial dan ekonomi, ia juga memberi gairah baru bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya sains dan teknologi. Bagi sejarah pemikiran Barat, diskursus sains dan agama telah final, di mana sains diukur berdasarkan hukum positivisme, sementara agama fokus pada persoalan spiritual.
Berbeda dengan Islam, antara sains dan agama adalah dua entitas yang menyatu. Di saat bicara sains maka tolak ukurnya yaitu nash al-Qur’an dan pengetahuan sains tidak boleh bertentangan dengan dalil Qur’ani.
Bedanya, Jika peradaban Barat melahirkan dominasi pengetahuan saintifik, maka peradaban Islam didominasi oleh otoritas keagamaan. Inilah tugas besar umat Islam yaitu bagaimana otoritas agama berjalan seirama dengan produk intelektual yang dibutuhkan masyarakat modern.
Memang, bagi sebagian pemikir Arab seperti Sayyid Husain Nasr dan Nasr Hamid Abu Zayd, mulai menggarap gagasan pembaharuan (tajdid) dalam masyarakat Islam yang intinya mengarahkan agar umat Islam memadukan tradisi klasik (turats) dengan realitas modern (hadatsah).
Saya meyakini, dominasi Barat terhadap dunia Islam akibat dari minimnya gagasan intelektual Muslim baik dalam proses inovasi, ataupun upaya counter-narasi terhadap pemikiran Barat. Sehingga, tulisan ini memberi tawaran alternatif agar gagasan intelektual Muslim mustinya berpijak pada tiga elemen pokok yaitu sains, agama dan filsafat.
Perpaduan ketiga elemen ini sudah menjadi tradisi intelektual Islam sejak abad pertengahan di mana agama sebagai sumber dan basis universalitas pengetahuan. Sementara filsafat dipakai sebagai metode berpikir untuk memahami hakikat suatu realitas dan puncaknya yaitu dengan adanya geliat penemuan agung di bidang sains. Sehingga dalam Islam, seorang fuqaha’, selain memahami agama, tetapi ia juga pemikir dan ilmuan jenius.
Tradisi intelektual ini diperlukan untuk membangun kembali peradaban Islam.
Gagasan Politik
Proyek besar garapan umat Islam untuk membendung dominasi Barat adalah melalui gagasan politik. Pasca era Gamal Abdul Nasser di Mesir, gerakan politik Islam terus meluas hingga ke negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Gerakan ini membawa misi unifikasi negara-negara Islam di bawah naungan khilafah. Lantas, gagasan politik Islam seperti apa yang dapat diterapkan bila dikaitkan dengan demokrasi?
Bagi saya, gagasan politik Islam itu bersifat dinamis, misalnya gagasan Muhammad Abduh, generasi awal Ikhwan al-Muslimin yang mengklaim bahwa Islam akan kembali jaya apabila mengikuti jejak kepemimpinan Rasulullah Saw dan Khulafa’ Rasyidin, dan hanya melalui khilafah-lah umat Islam akan bersatu.
Namun, pada generasi pasca Abduh, terjadi pergeseran tentang gagasan politik tersebut seperti pada era kepemimpinan Mohammed Morsi di Mesir yang berupaya memadukan hukum positif dengan hukum Islam serta melihat hubungan dialogis antara Islam dan demokrasi.
Sebagai produk sejarah, khilafah itu lahir seiring dengan makin solidnya persatuan umat Islam. Tetapi, realitas hari ini, selain tidak memiliki sosok pemimpin sentral, keadaan umat Islam juga dibatasi secara teritorial dengan sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Sehingga, proyek khilafah tidak berjalan mulus.
Maka, gagasan politik ideal yang dapat diterapkan umat Islam yaitu dengan membingkai Islam dan demokrasi sekaligus. Proyek ini disebut dengan demokrasi Islam yaitu ideologi politik yang berusaha menerapkan prinsip-prinsip Islam ke dalam kebijakan publik dalam kerangka demokrasi.
Untuk membangun kembali peradaban Islam, umat Islam membutuhkan dua gagasan pokok yaitu gagasan intelektual melalui sains, sosial dan ekonomi untuk membendung dominasi Barat. Selain itu, melalui gagasan politik, umat Islam dapat dipersatukan di bawah naungan Islam.
Editor: Nabhan