Beberapa waktu yang lalu Presiden Jokowi memerintahkan BUMN untuk membuka lahan pertanian untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia, khususnya di masa pandemi Covid-19. Mestinya kita bisa belajar dari ketahanan pangan profetik.
Jika kita sedikit menengok ke belakang, Indonesia sebenarnya pernah menyabet prestasi sebagai negara berswasembada pangan di medio 1980an, namun prestasi tersebut tidak bertahan lama. Tercatat hanya dalam kurun waktu lima tahun status swasembada pangan dapat dipertahankan. Setelahnya, Indonesia kembali menjadi negara pengekspor pangan, meski dikenal sebagai negara agraris.
Menyoal ketahanan pangan memang tak semudah membalik telapak tangan. Apalagi di tengah wabah pandemi yang belum diketahui kapan akan berakhir. Oleh karena itu, perlu kiranya mengulas kembali strategi ketahanan pangan profetik yang dilakukan oleh salah satu Nabi dari keluarga Bani Israel dalam membangun ketahanan pangan.
Ketahanan Pangan Profetik
Status kenabian kerap diasosiasikan sebatas pembawa risalah agama. Tidak sedikit yang menganggap peran nabi layaknya da’i dan penceramah yang kita kenal dewasa ini. Namun perlu diketahui, di luar mengemban tugas-tugas keagamaan, nabi juga berperan mengurus permasalahan-permasalahan kehidupan. Salah satunya adalah Nabi Yusuf AS yang berperan dalam mengembangkan sumber daya pangan rakyat Mesir.
Semua berawal dari mimpi Raja Mesir yang melihat tujuh ekor sapi gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi kurus. Tak hanya itu, mimpinya dilanjutkan dengan melihat tujuh tumbuhan segar yang dimakan oleh tujuh tumbuhan kering.
Mimpi tersebut membuat sang raja resah, hingga mendorongnya mengundang Nabi Yusuf AS yang saat itu sedang mendekam di penjara. Berbekal informasi dari pelayan kerajaan, yang mimpinya juga pernah ditafsirkan oleh Nabi Yusuf AS, sang raja akhirnya mengundang Nabi Yusuf AS ke dalam istananya.
Setelah mendengar penjelasan mimpi dari sang raja, dengan petunjuk Allah SWT, Nabi Yusuf AS menafsirkan mimpi tersebut: “Akan datang tujuh masa subur, dan dilanjutkan dengan tujuh masa paceklik”.
Nabi Yusuf yang lahir dari keluarga penggembala ternak, tahu betul tentang seluk beluk peternakan dan pertanian yang tak bisa lepas dari ancaman kekeringan. Nabi akhirnya menawarkan solusi pada Raja Mesir berupa: optimalisasi produktivitas pertanian selama tujuh tahun masa subur kemudian menyimpan hasil pertaniannya, sehingga selama tujuh tahun masa paceklik yang akan datang rakyat masih memiliki cadangan makanan.
Mendengar gagasan Nabi, Raja Mesir pun terkagum. Hingga kemudian raja membebaskannya dari penjara dan memberinya mandat untuk mengurus pangan seluruh rakyat Mesir.
Dengan mandat di tangan, Nabi kemudian berkeliling ke seantero Mesir untuk mengajak para petani meningkatkan produktivitas pertanian selama tujuh tahun, kemudian menyimpan hasil pertanian tersebut sebagai cadangan makanan di tujuh tahun berikutnya. Walhasil, melalui manajemen pengelolaan pangan yang dianjurkan oleh Nabi Yusuf AS, akhirnya rakyat Mesir dapat melewati masa paceklik tanpa ada yang kelaparan.
Kisah di atas diambil dari Al-Qur’an surat Yusuf dan Al-Kitab Kejadian 40:1-43
Hikmah Kisah Nabi Yusuf AS
Membaca kisah di atas, kita dapat melihat bahwa masalah pangan yang kita hadapi saat ini ternyata tak jauh berbeda dengan yang terjadi di masa Nabi Yusuf AS. Negeri Mesir yang dikenal subur oleh aliran sungai Nil yang melimpah pun tak lepas dari ancaman bencana kekeringan.
Indonesia yang beriklim tropis juga menghadapi potensi kekeringan selama musim panas. Namun, peningkatan pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim, menjadikan ancaman kekeringan semakin nyata. Kini munculnya wabah Covid-19, menambah deret bencana yang berdampak pada kelangkaan pangan.
Dalam strategi menghadapi ancaman kelangkaan pangan, Nabi Yusuf menjadikan petani sebagai ujung tombaknya. Kesadaran akan pentingnya peran petani dalam meningkatkan produktivitas pertanian membuat Nabi memilih membangun pertanian rakyat berbasis kearifan lokal, ketimbang pertanian padat modal yang kerap mengabaikan keseimbangan ekologis. Pilihan ini mencerminkan kecerdasan Nabi Yusuf dalam membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Berkaca pada kisah di atas, kita perlu menilik kembali rencana Presiden Jokowi yang akan membuka lahan baru seluas ratusan ribu hektare. Dari aspek lingkungan hidup, Â pembukaan lahan yang jamak dilakukan melalui pembakaran, membawa dampak lingkungan yang cukup serius.
Dengan demikian, alih-alih meningkatkan produktivitas pertanian, pembukaan lahan baru justru berpotensi menimbulkan bencana ekologis. Oleh karena itu rencana tersebut patut untuk dipertanyakan kembali.
Selain itu, dari aspek sosial ekonomi, upaya pembukaan lahan yang dilakukan secara besar-besaran seringkali tidak berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan petani lokal. Hal ini terjadi lantaran hanya perusahaan pangan berskala besar yang dilibatkan dalam penggarapan lahan baru tersebut. Maka tak jarang pembukaan lahan baru berujung dengan gesekan sosial.
***
Pada akhirnya, pertanian merupakan persoalan kehidupan. Ia menyangkut hal yang paling esensial dalam hidup. Menerjemahkan pertanian hanya sebatas ruang lingkup ekonomi, dan mengabaikan aspek kearifan lokal sama dengan mendegradasi makna pertanian sebagai produk kebudayaan.
Andai pemerintah mau belajar dari ketahanan pangan profetik ala Nabi Yusuf AS yang membangun ketahanan pangan dengan memberdayakan petani lokal dan memberi perhatian lebih terhadap profesi petani melalui pemberian hak atas tanah. Maka kita optimis dapat membangun ketahanan pangan di tengah wabah Covid-19.
Editor: Nabhan