Perspektif

Membayangkan Senyum Kecil Pak Djazman di Surga Sana

3 Mins read
Oleh: Farhan Aji Dharma*

Tiga tulisan tentang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang “menghebohkan” akhir-akhir ini membuat tidur kontemplasi saya terusik. Ada getaran yang merambat di dalam tubuh saya. Kehebohan ini pun bisa dihubungkan dengan sosok Pak Djazman.

Tulisan-tulisan berkelas itu dibuat oleh tiga sosok yang cukup saya kenal. Sirajuddin Bariqi, kawan ngobrol saya di komplek perkopian bilangan Sorowajan, Bantul. Bung Ode, kawan jauh di mata dekat di hati. Sedangkan Akmal adalah kawan yang sejak lama saya ikuti gebrakan pemikirannya lewat tulisannya di beberapa platform media.

Saya tentu tak punya kapasitas untuk menilai kepakaran mereka dalam menulis. Apalagi militansi mereka sebagai aktivis dan kekuatan mereka sebagaipegiat baca. Namun melihat ragam reaksi yang timbul atas tulisan mereka, saya ingin menyumbangkan satu sudut pandang baru sebagai anak pinggiran di organisasi mahasiswa yang luar biasa ini, IMM.

Isu Klasik Naik Kelas

Ketiga orang ini di mata saya justru tidak sedang ‘bertarung’. Tidak sebagaimana justifikasi umum yang disematkan pada fenomena munculnya tiga tulisan ini. Bagi saya, narasi yang seolah-olah bertabrakan ini adalah cara mereka ‘menaikkan kelas’ isu klasik yang sudah lama hinggap, berputar, dan berhenti di pembicaraan atau diskusi internal masing-masing. Sehingga saya tak perlu membaca ulang teori konflik untuk mengejar narasi mereka. Saya hanya ingin menegaskan jika mereka punya niat yang sangat baik.

Bagi yang belum tau, IMM tidak hanya tumbuh dan berkembang di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) saja. Namun hampir di seluruh perguruan tinggi, IMM mampu menunjukkan eksistensinya. Pada dasarnya, IMM bukan organisasi jago kandang. Mungkin sama seperti organisasi mahasiswa kebanyakan.

Saya yakin, stigma umum yang ada akan mengatakan bahwa IMM hanya akan berkembang di PTM saja dan IMM di luar kampus Muhammadiyah akan kesulitan dalam bergerak.

Baca Juga  Kampus Merdeka: Program Prematur yang Dipaksakan

akan kesulitan dalam bergerak.

Coba baca lagi tiga tulisan ciamik itu baik-baik. Mereka–entah dengan sengaja atau tidak–secara tersirat seolah menegaskan bahwa IMM dapat tegak berdiri dan bertahan di segala cuaca, musim, dan gejolak pendanaan hehe~

Analogi Bersepeda

Hanya saja, seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya soal isu klasik. Narasi-narasi ini justru melahirkan bias. Dalam konteks tiga tulisan itu, bias yang muncul adalah bahwa ketiganya seakan menegaskan bahwa mereka sedang ‘baku hantam’ satu sama lain. Yang mana kemudian mengafirmasi isu klasik perihal eksistensi IMM PTM dan IMM Non-PTM.

Bias itu harus disirnakan. Nah, dalam misi ini saya berusaha menyajikan satu analogi yang (semoga) dapat membantu mengurai sengkarut.

Analogi yang saya gunakan adalah analogi bersepeda. Kita tentu pernah naik sepeda bukan? Jadi semoga analogi ini tak ‘kejauhan’.

Bersepeda adalah salah satu alternatif olahraga yang umum dilakukan oleh orang kebanyakan. Selain menyehatkan, bersepeda adalah olahraga yang menggembirakan. Karena dilakukan di ruang terbuka dan rata-rata dilakukan secara berkelompok.

Sebagai organisasi otonom, IMM adalah alternatif pengabdian dan pergerakan cum perkaderan yang menyehatkan dan menggembirakan. Menyehatkan akal pikir dan menggembirakan jika pola pergerakan yang dilakukan bersifat kolektif. Sampai di sini, saya yakin semuanya akan bersepakat.

Selanjutnya, kita bicara soal medan yang dilalui ketika bersepeda. IMM bagi saya tak pantas bekerja di medan datar. IMM wajib mempunyai spirit kesungguhan dan militansi dalam bergerak yang menuntut kewaspadaan dan kebijaksanaan yang tinggi. Maka saya ambil dua analogi medan buat IMM. Medan menanjak dan menurun.

Dibutuhkan usaha dan tenaga yang berlipat saat kita bersepeda dan berada di jalan yang menanjak. Dalam konteks IMM, terkadang sulitnya memperoleh dana untuk kegiatan, berbenturan kepentingan dengan birokrasi kampus, atau termarjinalkan sebab arogansi organisasi lain memaksa IMM untuk terus mengayuh gerakan dan pantang surut ke belakang.

Baca Juga  Covid-19, dari Bencana Nasional ke Darurat Nasional

Sedangkan di turunan, usaha dan tenaga tidak begitu diforsir. Namun butuh kewaspadaan yang berlipat-lipat dibanding ketika kita bersepeda di jalanan yang menanjak. Pasalnya, dalam turunan, laju sepeda kita yang cepat menuntut olah kemudi yang baik dan cermat. Dalam konteks IMM, kerjasama yang baik dengan pihak kampus, gelombang kader yang tinggi, dan dukungan pendanaan cenderung dapat melenakan.

Senyum Kecil Pak Djazman

Di dalam tulisan Bariqi dan Ode, situasi medan tanjak terasa begitu kental disampaikan sebagai antitesis dari pokok pikiran Akmal dalam tulisannya. Kedua pihak memberi kritikan yang tepat, meskipun tidak bisa dengan mudah dipukul rata. Akmal yang menggambarkan posisi ‘nyaman’ IMM di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ternyata juga tidak dirasakan Ode selama berjuang di Universitas Muhammadiyah Malang.

Sebagai penyeimbang, Bariqi memberi sudut pandang Non-PTM yang melengkapi sketsa atas fenomena tersebut. Yang pada intinya medan tanjak atau turunan itu bersifat relatif. Namun yang perlu ditekankan adalah situasi keduanya menuntut konsekuensi yang berbeda.

Kritikan Akmal tepat sasaran jika melihat latar belakang kondisi pergerakan di kampusnya. Antitesis Ode melengkapi kritikan Akmal bahwa tidak melulu IMM di bawah PTM tidak mampu mandiri dalam perjuangannya. Lalu, Bariqi sebagai kader IMM Non-PTM menyempurnakan narasi konstruktif itu.

Setelah menulis paragraf di atas, saya kok jadi curiga sama mereka. Jangan-jangan mereka memang merencanakan keadaan ini jauh-jauh hari dan membagi kerangka tulisan mereka sesuai latar belakang masing-masing. Dan mereka bertiga berhasil.

Mereka mungkin saat ini sedang ngopi di salah satu warung kopi entah dimana sembari mensyukuri keberhasilan dan menertawakan reaksi-reaksi ‘kebakaran jenggot’ dari pembaca tulisan-tulisan mereka.

Di titik inilah saya juga membayangkan Pak Djazman sedang tersenyum kecil di surga sana sambil bergumam,

Baca Juga  Memelihara Solidaritas Antaragama dengan Pancasila

Terimakasih Mas Akmal, Mas Ode, dan Mas Bariqi. Kalian membuat hati saya sedikit lega.

*) Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kabupaten Sleman

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds