Siapa yang Tergolong Kelompok Minoritas?
Isu tentang kelompok minoritas menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan. Beberapa pembahasan tentang definisi, cakupan, hak, dan status kelompok minoritas hingga saat ini masih menjadi diskusi yang belum menemukan titik temu. Dari segi definisi, beberapa akademisi misalnya seperti yang diungkapkan oleh Frasesco Capotorti, mendefiniskannya sebagai kelompok yang secara jumlah angka lebih rendah ketimbang populasi penduduk yang lain dalam suatu negara. Dari segi karakteristik seperti etnis, agama, atau bahasa, mereka memiliki perbedaan dengan kelompok lain yang secara jumlah lebih dominan.
Namun, jika kita hanya berhenti pada definisi yang menekankan perbedaan angka atau numerik, maka kita tak akan pernah paham apa yang sebenarnya menjadi masalah inti dari isu kelompok minoritas ini. Masalah yang lebih serius yang dialami oleh kelompok minoritas terletak pada “konstruksi sosial” yang mengikat mereka. Wirth (1945) mengatakan bahwa kelompok minoritas, selain secara jumlah inferior, secara sosiologis mereka juga menjadi kelompok yang dikucilkan oleh masyarakat karena memiliki karakteristik budaya atau fisik yang berbeda. Mereka juga mendapat perlakuan berbeda, tidak setara, dan kerapkali menempati posisi subordinat yang tidak menguntungkan di masyarakat.
Jadi, persoalan utama tentang isu kelompok minoritas bukan terletak pada inferioritas mereka dari segi jumlah, namun perlakuan kelompok masyarakat mayoritas yang belum bisa memperlakukan mereka secara adil dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Problem Kelompok Minoritas di Indonesia
Dalam konteks negara Indonesia, kelompok minoritas belum sepenuhnya mendapat perlakuan yang adil, baik dari kelompok masyarakat mayoritas atau dari regulasi resmi negara. Pada bulan September tahun lalu (2022), sempat ramai di media massa aksi penolakan pendirian Gereja HKBP Maranatha di Lingkungan Cikuasa, Kota Cilegon, Banten (Detik.com). Sejumlah kelompok masyarakat yang menamakan diri Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon melakukan aksi damai untuk menolak pendirian gereja dengan cara mendatangi kantor DPRD Cilegon dan bertemu Walikota Kota Cilegon. Atas berbagai pertimbangan, Walikota Cilegon dalam Peratruran Wali Kota atau Surat Keputusan Walikota memerintahkan Kepala Kantor Pertahanan Kota Cilegon untuk mencabut dan membatalkan Surat Sertifikasi Hak Guna Bangunan (SHGB) milik Gereja HKBP Maranatha.
Sebelumnya, pada tahun 2012, terjadi penyerangan brutal kepada penganut Syiah yang berada di Sampang, Madura (Tempo.co). Peristiwa tersebut terjadi saat perayaan lebaran ketupat warga Syiah di Nangkernang, Desa karanggayam, Kecamatan Omben, Sampang. Penyerangan tersebut mengakibatkan satu orang tewas, empat orang lainnya kritis, dan puluhan rumah terbakar. Para warga Syiah pun terpaksa diungsikan oleh aparat akibat kejadian tersebut. Delapan tahun kemudian, yakni pada tahun 2020, pengungsi Syiah tersebut “terpaksa” berbaiat untuk kembali menjadi Sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah). Lebih dari 270 warga Syiah rela dibaiat menjadi Suni dengan harapan dapat pulang kampung kembali(BBC). Namun sayangnya, meskipun sudah dibaiat menjadi Suni, pemerintah setempat masih belum bisa menjamin keamanan mereka saat kembali ke kampung halamannya. Hal tersebut dikarenakan masih terdapat penolakan dari warga Sunni setempat. Langkah pemerintah ini disebut beberapa aktivis perdamaian sebagai sikap yang menunjukkan keberpihakan pada kelompok mayoritas yang dapat menjadi preseden buruk.
***
Selain dua tragedi di atas, masih banyak tragedi lain yang menimpa kelompok-kelompok minoritas di Indonesia, pembaca hanya perlu membuka Google untuk mengetahui segala persekusi dan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok minoritas. Perlakuan tidak adil yang mereka alami tak hanya muncul dari satuan masyarakat sosial setempat, namun juga dari beberapa regulasi resmi negara yang cenderung mendukung hasrat mayoritarianisme. Dalam konteks negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak warganya dalam berkeyakinan dan berpendapat, tentu situasi seperti ini menjadi raport buruk sekaligus PR besar bagi seluruh warga Indonesia, baik warga sipil atau pejabat pejabat pemerintahan.
Bagaimana Sikap Islam Terhadap Kelompok Minoritas?
Indonesia adalah negara dengan mayoritas pemeluk agama Islam tertinggi di dunia. Pada tahun 2022, sebanyak 277,75 juta jiwa mengaku menjadi pemeluk agama Islam, sekitar 87,02% dari keseluruhan total penduduk Indonesia. Baru-baru ini, majalah CEOWORLD dan Global Business Policiy Institute melakukan survei yang mengukur tingkat religiusitas di 148 negara. Melalui 370 ribu masyarakat dunia sebagai partisipan, penelitian ini mengulik perspektif tentang bagaimana agama mempengaruhi sistem budaya, sosial, dan politik dalam negara-negara yang disurvei. Survei ini menempatkan Indonesia sebagai negara ketujuh dengan skor religiusitas 98.7. Artinya, nilai-nilai yang diajarkan agama sangat berdampak pada kehidupan dan pengambilan keputusan warga Indonesia.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah faktor persekusi dan ketidakadilan terhadap kelompok minoritas mendapat legitimasi dari ajaran-ajaran Islam? Apakah Islam punya sikap khusus terhadap kelompok minoritas?
Menurut Najib Burhani dalam book chapter berjudul Islam Indonesia untuk Dunia: Kerja sama Internasional Membumikan Islām Raḥmatan Li al-ʿĀlamīn (INFID: Jakarta, 2022), perlindungan terhadap kelompok minoritas sesungguhnya merupakan bagian dari moralitas Islam paling fundamental. Menurutnya, ajaran moral tersebut dapat ditemukan dalam kitab suci Al-Qur’an, hadis Nabi, legacy kepemimpinan politik Nabi dalam Piagam Madinah, dan ijtihad para ulama kontemporer.
Secara eksplisit, Al-Qur’an memang secara tidak langsung menyebutkan keberpihakannya terhadap kelompok minoritas. Pondasi utama perlindungan minoritas adalah prinsip keadilan yang bisa kita temukan dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an menyebutnya lebih dari 50 kali untuk mengingatkan manusia, baik menggunakan kata `adl (keadilan), ataupun kata yang sinonim dengan itu, yaitu al-qisṭ (adil dalam arti umum), al-wasaṭ (pertengahan), al-mizān (seimbang), al-sawā, atau al-musāwah (persamaan), al-maṡil(setara).
***
Setiap muslim diwajibkan untuk berlaku adil terhadap siapa saja: “Sesungguhnya Allah memerintahkan agar menegakkan keadilan dan berbuat baik…” (Q.S. An-Nahl: 90). Sebaliknya, Allah melarang berbuat tidak adil, dengan alasan apa pun: “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum (kelompok), mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Maidah: 8).
Pada intinya, keadilan terhadap seluruh makhluk hidup tanpa pengecualian adalah fondasi utama ajaran Islam. Jika seseorang mengaku sebagai muslim, hendaknya ia berlaku adil terhadap semuanya, tidak hanya kepada kelompok tertentu. Orang muslim yang baik seharusnya paham bahwa mereka harus membela hak-hak dan keadilan terhadap minoritas, bukan malah mempersekusinya.
Menjadi Anggota Legislatif: Upaya Membela Hak-Hak Minoritas
Problem yang dihadapi kelompok minoritas sebagaimana yang sudah disebutkan di atas lambat laun mendapat perhatian dari para aktivis perdamaian. Banyak suara-suara yang mendukung diberlakukannya keadilan bagi kalangan minoritas baik lewat sebuah kampanye, gerakan, atau melalui konten-konten di beberapa platform media sosial.
Namun, nampaknya perlu upaya “pendorong” yang sangat mungkin lebih efektif untuk mempercepat terwujudnya keadilan bagi kelompok minoritas, yaitu dengan bergabungnya perwakilan kelompok minoritas menjadi anggota legislatif baik di tingkat daerah atau nasional.
Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa kerap kali pembungkaman terhadap minoritas malah memakai tameng undang-undang atau segala jenis peraturan pemerintahan di segala levelnya. Maka, perubahan “radikal” terhadap undang-undang yang kiranya tidak “pro” terhadap lepentingan minoritas lebih memungkinkan dilakukan di kursi legislative.
Kelompok minoritas harus ada yang memberanikan diri untuk berjuang menjadi anggota legislative untuk menyuarakan keresahan atau problem-problem yang mereka hadapi.
*Artikel ini dihasilkan dari hasil kerjasama antara IBTimes.ID & INFID
Editor: Yahya FR