Saat mulai menapaki kehidupan pasca-hijrah, Nabi Muhammad merintis jalan damai dengan sejumlah suku yang terlebih dahulu menghuni Madinah, tak terkecuali dengan suku-suku Yahudi. Sejumlah suku menerima inisiatif itu. Namun kaum Pagan Madinah, tiga suku Yahudi, yaitu Qainuqa, Nadlir, dan Qurayzah; menolak. Mereka memandang keberhasilan Nabi Muhammad dalam membangun masyarakat dan kemapan umat Islam sebagai ancaman.
Bani Qurayzah dan Aliansi Anti Islam
Ketiga suku itu lalu membangun aliansi dengan kaum kafir Quraish di Makkah untuk menghancurkan umat Islam. Menariknya, mereka bergerak sendiri-sendiri. Pada tahun 625 M, Banu Qainuqa melancarkan perlawanan kepada Nabi Muhammad. Pemberontakan itu gagal. Adat Arab saat itu mengharuskan pengusiran bagi suku-suku yang berkhianat. Maka, Banu Qainuqa pun diusir keluar dari Madinah.
Nabi Muhammad kemudian melakukan pendekatan dan hendak menyepakati sebuah perjanjian dengan suku lainnya, Nadlir. Namun, belakangan Nabi mengetahui, Nadlir merencanakan pembunuhan kepadanya. Mereka pun diusir. Namun, dalam pengasingan, Banu Nadlir membangun aliansi dengan Suku Khaybar. Banu Nadlir terbukti lebih berbahaya ketika berada di luar, daripada saat berada di Madinah. Karena rangkaian peristiwa itu, maka pada saat Banu Qurayzah memihak kafir Quraish dalam Perang Khandaq, meminjam bahasa Karen Armstrong, seorang sejarawan dan ahli agama-agama berkebangsaan Inggris, dalam kondisi itu, kaum Muslimin show no mercy (tidak menunjukkan belas kasihan). Sekitar tujuh ratus orang dari Suku Qurayzah dibunuh. Sementara kaum perempuan dan anak-anak dijual sebagai budak.
Jika melihat jumlah korban terbunuh, peristiwa ini mengerikan, dan secara literal akan terlihat sebagai kekejaman umat Islam kepada musuh. Akan tetapi, peristiwa ini harus dilihat dalam konteks dan situasi yang lebih luas. Karena Armstrong dalam Islam: A Short History, memberikan pandangan yang jernih. Ia menganjurkan agar peristiwa itu jangan dinilai dengan standar zaman kita hari ini.
Alasannya, “…the Muslims themselves had just narrowly escaped extermination, and had Muhammad simply exiled the Qurayzah they would have swelled the Jewish opposition in Khaybar and brought another war upon the ummah.” (“…kaum Muslimin sendiri hampir dienyahkan, dan seandainya Muhammad hanya mengusir Banu Qurayzah, mereka akan memperbesar perlawanan Yahudi di Khaibar dan menyulut peperangan lainnya bagi umat Islam”). Menurut Armstrong, hukum tradisional yang berlaku di kalangan masyarakat Arab pada saat itu menyatakan bahwa seorang pemimpin sama sekali tidak diharapkan menampakkan belas kasihan kepada pengkhianat seperti Banu Qurayzah.
Membela Nabi
Lain dari peristiwa di atas, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa serombongan orang Yahudi datang berkunjung kepada Nabi Muhammad. Karena kebencian yang mendalam, mereka mengucapkan: “Assaamu alaika ya Muhammad” atau “racun bagimu wahai Muhammad.” Atas ucapan yang menghina itu, Nabi menjawab: “Alaikum…” atau “Bagi kalian juga.”
Aisyah, istri Nabi, yang tengah berada di sampingnya, marah dengan doa buruk itu dan menjawab: “as-Sam ‘alaikum, wa la’anakumullah wa ghadliba ‘alaikum.” (Celakalah kalian, wahai umat Yahudi. Semoga Allah melaknat dan menimpakan kemarahan kepada kalian semua). Mendengar balasan dari ‘Aisyah, Nabi Muhammad menegur: “Mahlan ya ‘Asiyah, alaiki bi al-rifqi wa iyyaki wa al-‘unf aw al-fuhsy.” (Tenanglah, wahai Aisyah. Tetaplah berperilaku lembut (kepada mereka), tidak usah terbawa emosi dan berkata kotor).
Terhadap sikap Nabi itu, ‘Aisyah sepertinya kurang puas. Ia kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mendengar perkataan buruk mereka kepadamu. Mereka mendoakan hal buruk atasmu.” Rasulullah menjawab: “Iya, aku mendengar. Tetapi biarkanlah Allah yang membalas, dan bukankah sudah aku jawab, wa alaikum, atau untuk kalian juga. Itu sudah cukup.”
Dua peristiwa di atas terjadi dalam situasi yang berbeda. Pada situasi pertama, Nabi dan umat Islam melakukan tindakan keras kepada Banu Qurayzah, karena mereka telah melakukan tindakan yang mengancam eksistensi umat Islam. Situasinya adalah perjuangan hidup mati. Maka, tidak ada pilihan kecuali harus membela diri. Di samping itu, tindakan terhadap Qurayzah juga dimaksudkan sebagai peringatan kepada suku lain agar jangan main-main dengan umat Islam.
Berbeda dengan konteks pertama, situasi kedua menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Nabi Muhammad bersikap lemah-lembut kepada mereka yang menghinanya. Bahkan ketika orang terdekatnya secara emosional terpancing, beliau sama sekali tak terpengaruh oleh ucapan tersebut.
Mengedepankan Akhlak Nabi
Maka, dalam menghadapi aneka fitnah di akhir zaman ini, termasuk di dalamnya adalah hinaan kepada Nabi Muhammad dan umat Islam, sudah seharusnya umat Islam menghadirkan akhlak Nabi dalam membela Nabi. Terlebih pada momen peringatan kelahiran Nabi Muhammad ini, adalah sangat penting untuk menghadirkan teladan akhlak Nabi dalam tindakan dan bukan dalam retorika semata. Merupakan ironi, ketika umat Islam membela Nabi, tetapi justru dengan cara mengingkari akhlak Nabi.
Lalu, hinaan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad oleh sebuah surat kabar di Perancis, masuk ke dalam kategori peristiwa pertama atau kedua? Pemahaman atas hal ini, sepenuhnya terpulang kepada konteks dan kondisi masing-masing individu dan komunitas. Mengapa demikian? Muslim yang berada di Perancis, yang mengalami secara langsung bagaimana pergumulan Islam dalam hubungannya dengan pemerintah dan masyarakat, tentu akan memiliki pengalaman yang berbeda, dengan Muslim yang hidup sebagai mayoritas, dan menjadi penentu atas hampir segala dinamika kehidupan masyarakat. Bagi mereka, sangat mungkin peristiwa Charlie Hebdo dan rentetannya muncul sebagai analogi perang kaum Muslimin dengan Suku Qurayzah.
Sebagai analogi, tentu tidak harus diartikan secara fisik dan literal harus membunuh tujuh ratus orang. Maknanya, dalam konteks itu ada situasi keterdesakan, dan dalam situasi keterdesakan, kaum Muslimin bisa menggunakan pola no mercy tadi. Sekali lagi dengan implementasi yang bersifat analogis dan bukan literal.
Namun, bagi Muslim di belahan bumi yang lain, yang tidak merasakan konteks-konteks pengiring yang menjadikan Muslim berada dalam situasi keterdesakan, tentu pola no mercy tadi tidak bisa iambil sebagai tindakan. Maka, pertanyaan yang perlu dijadikan perenungan bersama adalah apakah bisa penghinaan kepada Nabi Muhammad dalam bentuk karikatur itu disepadankan dengan umpatan “racun bagimu Muhammad” yang dilontarkan oleh kaum Yahudi sebagaimana riwayat di atas? Sekali lagi, pasti tidak ada jawaban tunggal yang semua orang bisa sepakat. Tetapi setidaknya, inilah persepktif dan inspirasi dari warisan akhlak kenabian dalam menghadapi situasi ini.
Namun, di luar soal perbedaan situasi individu maupun masyarakat dalam memahami dan menarik kesimpulan atas peristiwa Perancis itu, ada dua hal penting di sini: membela Nabi adalah wajib, dan menghadirkan akhlak Nabi dalam setiap dimensi kehidupan juga wajib. Sehingga, membela Nabi harus tetap dilakukan dalam kerangka akhlak Nabi. Wallahu a’lam bi al-shawwab.
Editor: Nabhan