Oleh: MK Ridwan*
Agama dan budaya adalah dua entitas yang saling beriringan. Bahkan keduanya saling beririsan satu sama lain. Meskipun agama bersifat Illahi, tetapi karena fungsinya sebagai penuntun gerak manusia, menjadikannya sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Agar bisa diakses oleh manusia agama kemudian turun membumi dan melebur menjadi satu dengan manusia. Dalam konteks islam, biasa dilakukan proses-proses membudayakan Islam.
Pada sisi yang lain, manusia memiliki kebudayaan sebagai konsekuensi logis bahwa manusia adalah produsen kebudayaan. Konsepsi kebudayaan sebagai cipta, rasa dan karsa manusia teraktualisasi ke dalam tiga wujud.
Pertama, komplek ide-ide, gagasan, nilai, norma, dan aturan-aturan yang disebut “kebudayaan ideal”. Kedua, komplek ativitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat yang disebut “sistem sosial”. Ketiga, benda-benda hasil karya manusia yang disebut “kebudayaan fisik”.
Proses inilah yang kemudian mendekatkan interaksi antara agama dan budaya. Sehingga memisahkan keduanya, bukanlah sesuatu yang mudah dan tanpa soal.
Islam Tidak Lahir di Ruang Hampa
Sebagaimana disepakati bersama, bahwa Islam turun pada abad ke-7 masehi di Jazirah Arab. Kelahiran Islam ini tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dalam ruang dan kondisi yang penuh dengan berbagai sistem dan kebudayaan.
Islam hadir di tengah-tengah masyarakat yang telah memiliki norma-norma, sistem moral dan tradisi kehidupan. Karenanya Islam hadir sebagai sesuatu yang relatif baru. Pada akhirnya, penetrasi Islam ke dalam sistem masyarakat Arab menyebabkan adanya proses adopsi, modifikasi, dan filtrasi terhadap sistem kebudayaan masyarakat.
Dalam konteks inilah, seringkali Islam menyerap unsur-unsur lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajarannya. Hal ini karena di dalam setiap kebudayaan masyarakat sesungguhnya menyimpan nilai-nilai kearifan lokal yang memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai universalitas Islam.
Di sini kita bisa mulai memahami, bahwa ada kosekuensi persinggungan antara Islam dengan budaya Arab. Ekspresi keislaman yang dibangun dari interaksi budaya ketika Islam datang ke Jazirah Arab, adalah Islam identik dengan Arab.
Ini adalah suatu konsekuensi logis yang tidak bisa ditolak. Karena peradaban pertama yang mengekspresikan keislaman adalah peradaban Arab. Tidak heran ketika generasi selanjutnya, menjadikan ekspresi keislaman ala Arab sebagai patokan atau contoh dalam mengekspresikan keislamannya.
Karakter Islam ala Arab
Namun permasalahannya adalah, apabila Islam telah keluar dari Jazirah Arab, lantas nilai-nilai budaya yang telah bercampur dengan nilai-nilai agama harus dipisahkan atau dibiarkan tetap melekat? Sebagian umat Islam masih meyakini bahwa budaya-budaya yang telah ter(Islam)kan merupakan salah satu syariat Islam yang wajib dilaksanakan oleh seorang Muslim melewati batas-batas peradaban.
Persoalannya kemudian adalah pembawaan karakter Islam ala Arab yang dipertahankan masuk dalam dimensi kebudayaan lain akan menyebabkan segregasi dan pertentangan budaya. Islam dengan karakter ini akan kehilangan daya responsif dalam menyikapi kebutuhan dan persoalan lokal kemanusiaan, yang antara satu dengan yang lain berbeda sekaligus beragam.
Dampaknya, Islam akan berwajah kaku dan monoton, serta tidak memiliki solusi alternatif pemecahan masalah bagi suatu kebudayaan tertentu. Yang ada hanyalah pengadilan terhadap realitas kebudayaan lain dengan standar budaya Arab. Pada gilirannya, watak Islam sebagai rahmatan lil alamin akan kehilangan relevansinya dengan realitas kehidupan umat manusia.
Kenyataan ini menjadi argumentasi bahwa menggunakan ekspresi kearaban sebagai ekspresi tunggal dan dianggap paling benar dalam beragama dan berkebudayaan merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima. Apalagi menganggap bahwa budaya lain−yang non-Islam Arab−dikategorikan sebagai budaya jahiliyah.
Strategi Kebudayaan Islam
Dalam merumuskan paradigma kebudayaan Islam, setidaknya dapat diajukan empat argumen yakni, pertama, Tuhan telah memilih bahasa manusia―dalam hal ini bahasa Arab―sebagai kode komunikasi antara Dia dan Muhammad SAW. Kedua, keterlibatan Muhammad sebagai penerima pesan di satu sisi dan sebagai penafsir pada sisi lain ikut menentukan proses sosial pengujaran dan tekstualisasi Al-Quran.
Kenyataan ini didukung bahwa Muhammad bukanlah sebuah CD kosong yang tidak berkepribadian, dan berbudaya. Sehingga ketika menerima wahyu, Muhammad aktif memahami, menyerap dan kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arab. Ketiga, sejak turunnya, Al-Quran telah berdialog dengan realitas; dan keempat, firman itu telah direkam dalam bentuk catatan atau teks.
Paradigma kebudayaan Islam berprinsip bahwa Al-Quran dan Hadis dikonstruksi berdasarkan tradisi yang bersifat partikular dan historis. Dengan demikian, Islam bukanlah agama yang sekali jadi (instant), Islam tidak akan bisa lahir dalam ruang dan lembaran hampa.
Artinya bahwa Islam secara substansial tidak pernah melakukan penolakan dan mengadili realitas sosial-budaya. Justru dengan watak adaptifnya, Islam mampu bergumul dan memberikan solusi kreatif terhadap setiap permasalahan umat manusia.
Hal ini memberikan gambaran bahwasanya Islam senantiasa melakukan agenda perubahan sosial dengan cara melakukan transformasi nilai-nilai kebudayaan ke dalam realitas kemanusiaan. Prinsip dasar kebudayaan yang selalu mengalami perkembangan. Sehingga membudayakan Islam adalah membangun budaya yang berdasar pada nilai-nilai Al-Quran, kemudian disesuaikan dengan konteks sosial kebudayaan penganutnya tanpa menghilangkan identitasnya masing-masing.
Sehingga melalui strategi kebudayaan inilah, Islam akan tampil secara dinamis, toleran dan inklusif terhadap segala tantangan modernitas. Sehingga Islam tidak akan kehilangan relevansinya terhadap segala perkembangan zaman, karena senantiasa didialogkan secara kreatif.
Agenda strategi kebudayaan Islam adalah jalan untuk memberi peluang bagi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap ruang dan waktu yang berbeda. Karenanya strategi kebudayaan Islam diwujudkan dalam bentuk sikap positif, ramah, toleran, bahkan ekletik terhadap budaya lokal. Sehingga Islam tidak terlihat rigid dan monoton, karena Islam melebur menjadi esensi dan substansi budaya itu sendiri. Inilah wujud transformasi Islam rahmatan lil alamin.
Membudayakan Islam
Sebagai ajaran normatif universal yang berasal dari Tuhan, Islam mampu diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia dengan tanpa menghilangkan identitasnya masing-masing. Islam didesain sebagai suatu kebutuhan umat manusia dan bukan untuk menghindari polarisasi diameteral antara agama dan budaya.
Islam selalu berusaha untuk berdampingan dengan realitas kebudayaan tanpa saling mengalahkan dan kehilangan identitas masing-masing. Melainkan mewujud dalam pola nalar religiusitas yang tidak lagi mengambil bentuk yang otentik dan murni dari keduanya. Islam menjadi jembatan bagi manusia dalam memahami fenomena kebudayaannya.
Islam dan budaya bergerak dalam pola saling belajar dan mengambil. Konsekuensinya adalah keharusan untuk mendudukkan Islam hanya sebagai faktor penghubung antara berbagai budaya. Kemudian melayani kesemua budaya itu, menumbuhkan universalitas pandangan baru tanpa tercerabut dari akar kesejarahan masing-masing.
Dalam konteks inilah, Islam yang memiliki kekuatan adaptif, memungkinkannya melakukan regenerasi diri dan terus berdialog dengan realitas kebudayaan manapun. Tanpa harus kehilangan identitasnya.
Ide membudayakan Islam, memberikan penegasan bahwa untuk menjadi seorang Muslim tidak berarti harus menjadi Arab. Menjadi Muslim tidak berarti harus meninggalkan dan menanggalkan semua latar belakang budaya lokal. Dan menjadi Muslim berarti tidak harus kehilangan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme.
Menjadi Muslim artinya menyejarah dalam setiap ruang dan dimensi kehidupan di manapun tempat dan kondisinya. Muslim yang menyejukkan dan Muslim yang memberikan kehidupan bagi setiap lokalitas yang menghidupinya. Wallahu a’lam.
*) MAF MAARIF Institute For Culture and Humanity