Buku berjudul Adil Sejak dalam Syahadat karya Muhammad Harish Ishlah (2023), menyajikan empat bagian yang menggiring pembaca menentukan sebuah keberpihakan. Menurut Harish, – sapaan akrabnya – syahadat diartikan sebagai doktrin pembenaran atau pembelaan terhadap kebenaran. Mudahnya, Harish mengkritik ajaran “tidak boleh memihak siapa pun” karena itu bertentangan dengan kesaksian primordial seorang hamba.
Pembaca diajak mengkompromikan amar ma’ruf nahi munkar secara beriringan. Seorang Muslim yang menjalankan amar ma’ruf saja berpotensi meruntuhkan pilar humanisme. Sedangkan Muslim yang hanya memegang nahi munkar cenderung konservatif dan keras. Amar ma’ruf nahi munkar sebagai manifestasi kalimat syahadat itu didasari oleh keresahan terhadap lingkungan sekitar. Keresahan adalah sarana seseorang untuk tergerak melakukan pembebasan.
Memang buku ini tidak mengulas syahadat melalui pandangan tafsir, hadis, fikih, atau wilayah kajian studi agama (Islam) lainnya. Akan tetapi, argumentasi filosofis dan advokasi yang disajikan menarik untuk dibaca generasi Z (Gen-Z). Azaki Khoirudin – dalam pengantarnya – mengutip Cak gagasan Nur, yang menyatakan syahadat sebagai penolakan terhadap tuhan-tuhan palsu.
Apabila problem masyarakat Makkah saat itu menjadikan tuhan-tuhan (selain Allah) sebagai sesembahan, sebagaimana menurut istilah Cak Nur berarti tuhan-tuhan palsu. Maka kehidupan yang serba cepat saat ini menyebabkan banyak terciptanya syahadat-syahadat palsu di kalangan Gen-Z. Syahadat palsu tersebut ialah syahadat yang disalahgunakan.
Penyalahgunaan Syahadat: Usaha Klaim Kebenaran
Terdapat contoh kejadian yang membuat syahadat tersebut disalahgunakan. Yaitu tatkala adzan dzuhur berkumandang, membuyarkan segala obrolan serius tentang arah kebijakan organisasi satu periode ke depan. Wajah dengan kerutan dahi itu tampak diperingatkan untuk menghentikan diskusi dan beranjak mengambil air wudhu. Sontak mereka yang ingin melanjutkan forum menjawab, “shalat nomor dua, karena nomor satu syahadat”.
Tidak salah, jawaban klasik itu lazimnya disandarkan kepada rukun Islam, yang menempatkan hirarki syahadat lebih tinggi dari pada shalat. Mungkin menurutnya, orang yang bersyahadat (beragama Islam) masih bisa selamat dari azab neraka di kemudian hari setelah menjalani hukuman akibat meninggalkan shalat. Secara sederhana, syahadat dianalogikan sebagai fondasi dan shalat adalah tiang.
Meskipun argumentasi di atas masih dapat dibantah, karena dalam bacaan shalat, orang Islam otomatis melantunkan syahadat. Jadi keduanya tidak perlu saling mengungguli (mendahulukan yang satu dan mengakhirkan lainnya). Apabila kasus ini ditinjau dari sudut pandang fikih, hendaknya melihat pembahasan permusyawaratan terlebih dahulu.
Jika pembahasan hampir sampai pada keputusan, hendaknya dilanjutkan. Adapun jika masih menyisakan banyak pembahasan, lebih baik ditunaikan shalat dzuhur tepat di awal waktu. Salah satu kaidah fikih untuk menjawab persoalan ini secara adil, yaitu mā lā yudraku kulluh lā yutraku kulluh (apa yang tidak mampu dikerjakan semuanya, jangan pula ditinggalkan semuanya).
Melanjutkan Cara Pandang Fikih
Seperti itulah paradigma fikih yang mudah menjadi akses jalan keluar atas sebuah pertentangan. Hal demikian disebabkan oleh kelenturan, keterbukaan, dan fleksibiltas dalam penggunaannya. Pada konteks syahadat, buku ini secara filosofis juga memandangnya sebagai titik pengingkaran balik terhadap diri sendiri. Selain membela kebenaran, seorang hamba harus menyadari dan mengakui kesalahannya (objektivisme diri).
Syahadat yang hidup bukanlah yang diucapkan untuk mendeklarasikan bahwa seseorang telah memeluk agama Islam. Bukan pula yang dibela mati-matian untuk kepentingan kebenaran sepihak. Akan tetapi bagaimana orang yang bersyahadat mampu berdiri pada kebenaran yang diyakini, mengakui kebenaran yang ada pada pihak lain, sekaligus menyadari adanya kesalahan di masing-masing klaim kebenaran.
Dengan demikian, seorang Muslim mampu membumikan syahadat. Tugas penting seorang hamba selain melangitkan kebenaran (to the sky), tak lain ialah hidup dalam lingkungan yang bisa jadi ada kebenaran lain. Sehingga mau tidak mau, kita perlu mengambil sebagian kebenaran dari tempat yang mungkin diyakini penuh dengan kesalahan. Itulah syahadat yang membumi (down to earth).
Muhammadiyah Membumikan Syahadat
Menariknya lagi pada bagian terakhir, Harsih mengulas paradigma advokasi Muhammadiyah yang begitu progresif. Salah satunya adalah pembelaaan terhadap mustadh’afin (marjinal) dengan spirit teologi Al-Ma’un. Buah dari ijtihad itu meghasilkan pemberdayaan secara berkelanjutan. Di mana Muhammadiyah memikirkan bagaimana mustadh’afin yang ditolong itu dapat melanjutkan hidupnya.
“..fenomena kemiskinan yang sukar diatasi karena cara yang digunakan kurang tepat dan tidak menyelesaikan kemiskinan dalam jangka panjang tetapi justru membuat orang miskin semakin malas karena hanya mengandalkan pemberian dari orang lain saja.” (hal. 40).
Begitulah kritik yang disampaikan, nampak jelas bahwa Muhammadiyah memberi solusi lebih depan. Masih banyak lagi cara-cara membumikan syahadat di tengah dinamika sosial politik yang memaksa kita berperang atas nama kebenaran. Adil Sejak dalam Syahadat adalah sebuah permulaan refleksi seorang Muslim terhadap syahadatnya.
Identitas Buku
Judul: Adil Sejak dalam Syahadat
Penulis: Muhammad Harish Ishlah
Penerbit: Penerbit Xpresi
Tahun Terbit: 2023
Tebal: 56 Halaman
ISBN: 9786238302031
Editor: Soleh