“Saya termasuk orang yang tidak diperbolehkan untuk mengunjungi tempat-tempat publik seperti pusat perbelanjaan mall dan masjid. Karena usia saya yang sudah sepuh”, ungkap seorang jamaah selepas menunaikan shalat Jumat pada pekan lalu. “Saya sangat berterimakasih karena difasilitasi untuk melakukan ibadah shalat jumat ini secara online dari rumah”, tegasnya.
Pernyataan apresiatif itu disampaikan oleh seorang warga senior yang untuk pertama kalinya mengikuti ibadah shalat jumat online melalui perangkat Zoom. Sejak awal bulan Juni, sudah enam kali shalat jumat online diselenggarakan. Diimami oleh Kyai Wawan Gunawan Abdul Wahid, seorang ulama Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang dikenal sangat progresif itu. Sebelumnya Kyai Wawan telah menjadi Imam dan memberikan khutbah dalam rangkaian ibadah Shalat ‘Idul Fitri 1 Syawwal 1441 H pada akhir bulan Mei 2020 yang lalu.
Jumatan Online
Shalat jumat online merupakan salah satu ijtihad Kyai Wawan. Karena jujur saja, saya belum mendapatkan informasi lain tentang adanya ulama yang mempromosikan ibadah ini dilakukan secara online melalui perangkat-perangkat online, yang didasarkan pada kedaruratan situasi pandemi COVID-19.
Tentu pelaksanaan shalat jum’at online ini bukanlah sesuatu yang diada-adakan tanpa dasar argumentasi yang jelas. Dalam hal ini Kyai Wawan telah memberikan ulasan yang bernas mengenai dasar dan argumentasi pelaksanaan Jumatan online ini melalui rangkaian tulisan yang ia buat di kanal Ibtimes ini.
Meskipun demikian, perlu disampaikan sedikit di sini bahwa salah satu argumentasi yang dipakai oleh Kyai Wawan dalam pelaksanaan jumatan online ini adalah adanya qiyas terhadap fatwa bolehnya mengikuti rangkaian ibadah shalat jumat di rumah melalui saluran radio yang difatwakan oleh seorang ulama asal Maroko yang bernama Imam Abu al-Faydh Ahmad bin Muhammad bin al-Shadiq.
Ia menjelaskan secara cukup jelas fatwanya melalui sebuah kitab berjudul al-Iqna’bi Shihhat Shalat al-Jum’ah fi al-Manzil Khalf al-Midzya’. Dengan menggunakan pendekatan maqashid syariah, Abu al-Faydh menjelaskan bahwa tujuan utama disyariatkannya shalat Jumat adalah untuk mendengarkan khutbah dan nasehat yang terkandung di dalamnya. Dan bila tujuan itu telah terpenuhi, maka pelaksanaan shalat Jumat dapat dikatakan sah. Walaupun dikerjakan di rumah dan melalui perantaraan radio sekalipun.
Tulisan ini tidak ditujukan untuk menghadirkan kembali argumentasi yang telah dibangun oleh Kyai Wawan itu. Namun lebih dari itu, tulisan ini ingin mencoba mengukuhkan bahwa melalui jumatan online, ada pesan yang ingin disampaikan bahwa agama dan praktek keagamaan yang perlu dihadirkan dalam konteks yang serba darurat ini adalah yang mampu memberikan jawaban bagi kebutuhan umat manusia dan bagi visi kemanusiaan universal.
Sehingga di masa depan, keberadaan agama ini masih terus relevan mengikuti berbagai perubahan zaman. Dan hal itu dimungkinkan diwujudkan melalui ijtihad fiqhiyyah yang memegang prinsip kelenturan dengan menyesuaikan pada konteks yang selalu berubah dan berkembang.
Maqashid Syariah sebagai Prinsip
Memang sudah sepatutnya agama hadir di tengah-tengah manusia dengan membawa kemudahan, kenyamanan, dan keamanan bagi setiap individu pemeluknya. Sebagaimana Allah menegaskan dalam Surat Al-Baqarah 185, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu (dalam menjalankan agama ini)”.
Di tengah kondisi pandemik COVID-19 ini, manusia diliputi bukan hanya oleh ketakutan atas virus yang mengancam kematian itu. Namun juga yang lebih ditakutkan adalah oleh rasa keterancaman akan ketidakpastian penyebaran virus ini yang bisa merenggut nyawa siapa saja.
Di sinilah letak pentingnya agama memberikan solusi bagi persoalan ini. Dalam Islam, kita mengenal bahwa para ulama telah merumuskan satu panduan bahwa praktek beragama itu memiliki tujuan-tujuan yang didasarkan pada persoalan-persoalan urgen dan prioritas. Mereka menyebutnya sebagai tujuan syariat atau agama ini hadir, yakni Maqashid Syariah.
Para ulama bersepakat, ada lima hal yang niscaya (dharuri) yang harus dijaga sebagai tujuan dari agama atau syariat ini diturunkan, yakni jiwa (nyawa), agama, keturunan, harta (ekonomi), dan akal. Kelimanya disebut sebagai sebuah keniscayaan karena upaya keras untuk menjaganya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dan pelaksanaan semua aktivitas beragama harus berpedoman pada kelima hal yang niscaya tersebut. Maka tidak boleh ada satupun aktivitas (termasuk aktivitas ibadah) yang dapat mencederai kelima hal tersebut. Karena syariat sebagai sarana justru harus mampu meraih tujuan-tujuan ini.
***
Dalam konteks pandemi Covid-19 ini, kita dilarang untuk melakukan serangkaian aktivitas yang dapat menyebabkan terjadinya penyebaran virus yang berakibat pada kematian. Termasuk dalam hal ini adalah yang terkait dengan urusan ibadah. Sudah sejak awal ormas-ormas Islam melalui otoritas keagamaan di dalamnya seperti Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Forum Bahtsul Masail PBNU dan Komisi Fatwa MUI telah memberikan tuntunan berbadah di masa pandemi COVID-19 ini.
Mereka telah menganjurkan untuk tidak menyelenggarakan ibadah berjamaah yang melibatkan kerumunan para jamaah dalam satu tempat. Di Saudi Arabia, otoritas Kerajaan pada beberapa bulan yang lalu telah menutup Masjidil Haram dari berbagai aktivitas ibadah. Terutama shalat berjamaah dan ibadah umroh.
Kegiatan Ibadah haji tahun ini juga dibatasi hanya diberlakukan bagi warga setempat dan warga luar yang kebetulan sedang berada di wilayah Saudi. Mereka secara tegas melarang warga muslim dunia di luar Saudi untuk melakukan ibadah haji ke tanah suci Mekkah dan Madinah. Otomatis semua negara di dunia tidak bisa mengirimkan jamaahnya untuk ibadah haji tahun ini, termasuk jamaah haji Indonesia.
Semua larangan ini dilakukan karena untuk satu tujuan. Dalam rangka memelihara eksistensi umat manusia atau dalam bahasa Maqashid, untuk memelihara jiwa (li hifzh al-nafs) dan kehidupan. Maka dengan demikian, dari kelima hal yang niscaya untuk dijaga dalam konsep Maqashid Syariah itu, seolah memelihara jiwa/kehidupan merupakan hal utama yang harus diprioritaskan di atas empat hal lainnya.
Dinamika Pendapat Ulama
Dalam konteks Maqashid Syariah, dari kelima hal yang niscaya (dharuri) harus dilindungi di atas, memang para ulama ushul fiqih cukup dinamis dalam melihat mana yang harus diprioritaskan diantara kelima hal tersebut. Mereka berbeda pendapat dalam melihat urutan prioritas dari kelima prinsip Tujuan Syariat ini.
Imam al-Ghazali (w. 505 H) merunut prinsip Maqashid sebagai berikut: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Ini sepertinya menjadi rumusan konvensional dalam keadaan tidak terjadi kedaruratan yang mempertentangkan antara satu prinsip dengan prinsip yang lain. Pandangan Al-Ghazali ini di kemudian hari diikuti oleh Saifuddin al-Amidi (w. 631 H), Ibn al-Hajib (w. 646 H), Taj al-Din al-Subki (w. 771 H) dan Al-Syatibi (w. 790 H).
Namun yang cukup menarik, ada beberapa ulama terkemuka yang memprioritaskan prinsip perlindungan jiwa, harta benda (ekonomi), nasab, dan akal dibandingkan perlindungan agama. Diantara mereka ini adalah Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), al-Baydhawi (w. 685 H), al-Qarafi (w. 684 H), Ibn Taymiyah (w. 728 H) dan al-Zarkasyi (w. 794 H).
Sebagaimana disampaikan oleh Imam al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Bahr al-Muhith, rumusan urutannya menjadi: perlindungan jiwa, harta, keturunan, agama, dan akal. Prinsip mengutamakan perlindungan jiwa manusia dan hartabendanya tidak lain karena dalam kondisi darurat, dimana terjadi pertentangan antara prinsip-prinsip kemaslahatan yang bersifat duniawi dan prinsip keagamaan. Maka prinsip kemaslahatan duniawi harus diutamakan.
Para ulama ini beralasan karena kepentingan kamaslahatan dunia, yakni keberlangsungan hidup manusia adalah hak manusia yang didasarkan pada prinsip “tuntutan mendesak” (mudhayaqah) untuk segera ditunaikan. Sedangkan urusan ibadah yang menjadi hak Allah didasarkan pada prinsip kelonggaran (musahalah) dan pengampunan (musamahah). Karena Allah tidak akan merugi karena hak-Nya hilang. Dengan kata lain berdasarkan prinsip ini, jiwa manusia haruslah diutamakan untuk dilindungi dibandingkan urusan ibadah kepada Allah.
Menjaga Keberlangsungan Kehidupan dan Menjaga Praktik Agama Melalui Jumatan Online
Namun demikian, sebetulnya dengan mengutamakan prinsip “hifzh al-Nafs”, maka dengan sendirinya akan juga menjaga prinsip-prinsip lain yang juga sama pentingnya. Termasuk menjaga kelestarian agama itu sendiri. Dalam hal ini, Imam al-Syatibi dalam Muwafaqat-nya memberikan semacam sintesis, bahwa kelima tujuan yang dharuri itu sama-sama pentingnya untuk dijaga bersama.
Bagi al-Syatibi tanpa dijalankannya agama, kehidupan ini akan kehilangan keteraturan. Namun demikian, tanpa manusia yang dijamin untuk tetap hidup, maka tidak akan ada yang akan menjaga dan memelihara keberlangsungan agama. Oleh karena itu upaya untuk mengusahakan agar tujuan-tujuan yang niscaya ini tetap hadir adalah sebuah kemestian.
Maka dalam suasana ketidakpastian pandemi Covid-19 ini, menjaga keberlangsungan kehidupan dan semampu mungkin tetap mempertahankan praktek beragama adalah sesuatu yang tidak mustahil untuk dilakukan bersama. Tentu dengan melakukan semacam inovasi-inovasi “ijtihad” keberagamaan dalam koridor argumentasi yang jelas baik secara naqli maupun aqli.
Praktik jumatan online melalui perangkat Zoom yang diinisiasi oleh Kyai Wawan adalah sebentuk ijtihad yang dilakukan dalam rangka tetap mempertahankan pelaksanaan ibadah jumat di tengah Pandemi Covid-19. Namun juga memberikan satu kepastian dan kenyamanan bahwa prinsip pemeliharaan jiwa dan kehidupan tetap dapat terpenuhi dengan baik. Wallahu a’lam bi muradih.
Editor: Yusuf R Y