Konstelasi politik tanah air mulai menghangat mengingat sebentar lagi akan menyongsong tahun politik 2024. Berbagai manuver, intrik dan ekses politik mulai dipertontonkan oleh elit maupun aktor politik guna mendulang elektoral. Masing-masing dari mereka mulai mencitrakan dan mengesankan diri sebagai bagian dari yang pro rakyat. Mulai dari melekatkan diri pada satu identitas tertentu, santri dan pesantren, agamis, misalnya, atau nasionalis-Pancasila, maupun keberpihakan terhadap rakyat bawah (baca: wong cilik), petani, peternak, nelayan, dan sebagainya.
Pertanyaannya adalah gagasan dan kebijakan macam apa yang akan mereka rumuskan ketika terpilih menjadi pemimpin? Lantas, landasan apa yang digunakan untuk merumuskan sebuah kebijakan yang pro rakyat?. Atau jangan-jangan, mereka hanya berkamuflase untuk memanfaatkan suara rakyat yang terus “dikibulin” demi kepentingan elektoral dan oligarki atau bandar yang membekingi dirinya.
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini penting untuk diajukan dan direnungkan agar rakyat tidak kehilangan akal sehatnya dan tidak mengulang kesalahan dua kali dalam memilih seorang pemimpin. Untuk menjawab itu, ada baiknya kita belajar dari sosok pemimpin dan sahabat terdekat Nabi Saw, Abu Bakar, di dalam memformulasikan sebuah kebijakan politik yang pro rakyat dengan melandaskannya pada Al-Quran dan hadis.
Tafsir Progresif Al-Quran Abu Bakar
Di era sahabat dan pasca kewafatan Nabi Saw, Al-Quran mulai berkembang. Di antara yang berkembang adalah tafsir atas Al-Quran itu sendiri. Dalam hal ini, penafsiran Al-Quran begitu semarak mengingat akan kebutuhan dan tantangan zaman mengingat wilayah umat Islam semakin meluas dan memapankan ajaran Islam. Untuk itu, dibutuhkan tafsir yang progresif terhadap Al-Quran.
Abu Bakar, seorang sahabat terdekat Nabi Saw dipandang sebagai pemimpin cum penafsir yang representatif dalam hal ini. Abu Bakar juga merupakan sahabat pertama yang menggantikan tonggak kepemimpinan politik Nabi Saw pasca kewafatannya yang kemudian menjadi milestone sekaligus entry point apa yang disebut khulafaur rasyidin (kepemimpinan yang diberi petunjuk).
Pasca wafatnya Nabi Saw, pelbagai masalah mulai mengemuka. Hal ini dipicu adanya realitas politik, bahwa kepemimpinan umat Islam pasca Nabi berada dalam persimpangan jalan. Persimpangan tersebut meniscayakan persengketaan politik antara kelompok Muhajirin dan Anshar. Masing-masing kelompok saling mengklaim merasa paling berhak dan layak untuk menggantikan Nabi Saw pasca kemangkatan-Nya.
Pada masa Nabi, Al-Quran telah menjadi common word atau kalimatun sawa (baca: unsur pemersatu) antara kalangan Muhajirin dan Anshar. Akan tetapi, pasca era Nabi, pertarungan dan perebutan kekuasaan telah menjadi fakta baru yang memengaruhi penghayatan umat Islam terhadap Al-Quran. Resepsi masyarakat atas Al-Quran menjadi beragam. Diversitas interpretasi ini, pada gilirannya, mengharuskan umat Islam kembali kepada kaidah, “Aku tinggalkan di antara kalian sebuah pegangan di mana tidak akan sesat selamanya, yakni Al-Quran dan Sunnah”.
Lebih jauh, ada pergeseran posisi Al-Quran di masa Nabi dan pasca Nabi. Bila pada zaman Nabi, Al-Quran digunakan dalam paradigma kerakyatan, keragaman, kesetaraan, dan keadilan, tetapi Quran pasca Nabi telah menjadi pijakan politik untuk memapankan kekuasaan – untuk tidak mengatakan mengkanalisasi kekuasaan.
***
Pada masa sahabat, tafsir Quran merupakan sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan. Abu Bakar ash-Shiddiq, misalnya, sebagai khalifah pertama pasca kemangkatan Nabi memiliki tanggung jawab besar dalam mempertahankan prestasi dan melanjutkan program Nabi serta memperluas wilayah kekuasaan umat Islam sebagai bagian daripada syiar Islam.
Karena itu, tidak ada alternatif lain untuk tidak menafsirkan ulang Al-Quran dalam konteks melapangkan kekuasaan. Kebijakan zakat, misalnya, yang digencarkan Abu Bakar menemukan landasan teologisnya dari Al-Quran. Memang Al-Quran tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa mereka yang tidak membayar zakat wajib dibunuh atau dikriminalisasi. Namun Al-Quran menggarisbawahi bahwa zakat merupakan rukun Islam yang harus dipenuhi dalam rangka menjaga keseimbangan tatanan sosial masyarakat.
Tujuan diperintahkannya berzakat tidak lain adalah untuk menjaga distribusi keadilan agar masyarakat dapat merasakan kesejahteraan sehingga tidak ada disparitas di antara yang kaya dan miskin. Hal ini tentu paradoks dengan sistem ekonomi di Barat yang memfaktakan, bahwa yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Sistem ekonomi Barat tidak berlaku dalam Islam.
Abu Bakar menganut prinsip politik sebagaimana termaktub dalam Al-Quran dan diwariskan oleh Nabi Saw dalam sunnahnya. Karenanya, Abu Bakar merasa perlu agar setiap warganya membayar zakat dalam rangka memenuhi kebutuhan ‘APBN’ negara. Bagi seseorang yang tidak membayar zakat, maka dianggap murtad. Status murtad ini kalau dalam negara modern agaknya bisa disepadankan dengan makar, pembangkang, pemberontak dan semacamnya.
***
Zuhairi Misrawi dalam Al-Quran Kitab Toleransi menyebutkan, kebijakan Abu Bakar tersebut telah menjadikan ayat-ayat Al-Quran sebagai kebijakan politik guna menjaga kedaulatan dan stabilitas kekuasaan umat Islam. Mafhum kiranya Abu Bakar melakukan semacam itu, sebab memang ia dikenal sebagai seorang pemimpin politik sekaligus panglima perang ketimbang seorang ulama. Maka tak heran, tafsir keagamaan yang muncul pada masa kekhalifahan Abu Bakar adalah tafsir keagamaan yang relatif berdekatan dengan kapasitasnya sebagai pemimpin politik.
Karena itu, kebijakan Abu Bakar yang memerangi para pembangkang zakat amatlah penting, tidak semata-mata karena tak menunaikan kewajiban zakat sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran, lebih dari itu, Abu Bakar memandang pemerintahan Islam kala itu betul-betul bertumpu pada zakat untuk menjaga stabilitas fiskal kenegaraan demi pemerataan kesejahteraan dan keadilan untuk seluruh kalangan. Dengan tidak membayar zakat, maka pasti terjadi kesenjangan di antara masyarakat, dan tentu saja hal itu sangat tidak diharapkan oleh Abu Bakar.
Abu Bakar bukanlah tipikal seorang pemimpin yang mementingkan kepentingannya sendiri. Kenegarawanan Abu Bakar telah teruji dalam menyokong dakwah Nabi Muhammad Saw, mulai sokongan dana, moral dan psikologi. Gelar Ash-Shiddiq yang didapatnya lebih dari cukup untuk melegitimasi dirinya sebagai pemimpin yang kapabel.
Lantas poin penting apa dari kebijakan politik Abu Bakar yang memerangi para pembangkang zakat? Adalah Abu Bakar menginginkan redistribusi kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan sumber daya kepada seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Di tangan Abu Bakar, Al-Quran ditafsirkan tidak hanya leksikal-tekstual, melainkan kontekstual-aktual. Kebijakan politik yang ia ambil tetap dalam koridor syariat, tidak melenceng atau menyimpang dari Al-Quran dan Sunnah. Di atas itu semua, Abu Bakar mencontohkan kepada kita akan sikap kenegarawanan. Ia berdiri di atas kepentingan semua golongan. Dedikasinya terhadap umat Islam, bangsa dan negara patut menjadi teladan bagi kita bahwa sosok pemimpin memang harus bersikap demikian.
Editor: Soleh