Review

Memotret Ragam Ekspresi Kesalehan Perempuan di Ruang Digital

3 Mins read

Teknologi telah membuka keran informasi selebar-lebarnya. Media sosial adalah salah satu contoh dimana berbagai informasi dapat ditemukan dengan begitu mudah, tanpa ribet tanpa repot, asal punya kuota internet, kamu bisa akses sepuasnya sesukamu.

Seiring terbuka lebarnya keran informasi itu, wacana keagamaan juga ikut mewarnai ruang digital. Salah satunya adalah tentang ragamnya wacana keagamaan dan keperempuanan yang hadir di media sosial kita akhir-akhir ini.

Maria Fauzi dalam bukunya Muslimah Bukan Agen Moral mengajak kita untuk menggali dan mengkaji atas berbagai wacana keagamaan dan kesalehan perempuan di ruang digital itu.

***

Berbicara tentang ragam wacana kesalehan perempuan di ruang digital, tentu tidak lepas dari para pemain yang terus mengaungkan wacana atau narasi keagamaan dan keperempuanan tersebut. Sebut saja para ustadz, dai atau influencer dakwah yang baru muncul seiring hadirnya media sosial.

 “Kemunculan influencer dakwah muda tak lagi dapat dibendung. Mereka menjadi aktor baru dalam membentuk wacana keagamaan bagi Muslim milenial dan Gen Z. Dalam konteks Indonesia, mikroselebritas dakwah ini memiliki peran penting dalam perkembangan gaya hidup serta wacana di ruang publik Indonesia” (2023, hal 1).

Jika dipotret secara sekilas, kehidupan muslim pedesaan dan muslim perkotaan tentulah berbeda. Misalnya dalam gaya hidup sehari-hari Muslim di perkotaan, Muslim perkotaaan dan gaya hidup modern berjalan secara berdampingan. Agama dan modernitas mereka pakai secara sekaligus menjadi gaya hidup guna melahirkan masyarakat modern yang islami. Simpelnya, jikalau pun mereka mengikuti gaya hidup modern, individu dirinya harus tetap islami.

Bisa kita saksikan saat ini, para ustadz, dai atau penceramah populer berdakwah kemana-mana pakai mobil mewah bermerek. Kemudian di belakangnya dikawal ramai-ramai oleh jamaahnya menggunakan sepeda motor.

Baca Juga  Baca Buku ini Dulu, Sebelum Memahami Mazhab Syafi'i

Bisa kita lihat di media sosial para influencer dakwah atau penceramah populer dipenuhi dengan gaya hidup mewah yang mempertontonkan merek-merek baju, celana, mobil ternama dan lain sebagainya.

Dari fenomena itu, lahirlah warna baru dalam ekspresi religiusitas masyarakat Muslim hari ini. Ditambah dukungan dari ruang digital yang sangat memadai. Ruang digital saat ini telah menjadi wadah bagi umat beragama untuk mengeksplorasi, berinteraksi, berekspresi dan memperdalam pemahaman mereka tentang ajaran agama.

Maria Fauzi menuliskan, “Pluralitas ini dapat memperkaya diskusi keagamaan, juga menawarkan risiko tersesatnya seseorang dalam pemahaman yang salah bahkan ekstrem.”

***

Maria Fauzi mencoba mengkaji dan menggali berbagai wacana keagamaan dan keperempuanan di ruang digital. Misalnya, tentang hijab dan pakaian yang sering kali disangkutpautkan dengan religiusitas dan moral seorang perempuan.

Banyak narasi yang menyebut bahwa perempuan yang tidak mengenakan hijab hanya membuat dosanya tambah banyak dan itu akan diturunkan kepada anak-anaknya nanti. Begitupun dengan baju atau pakaian perempuan, yang tidak sesuai dengan syariat agama. Mereka akan dicap sebagai perempuan yang tak punya beradab, tidak memiliki sopan santun, dan bahkan dinilai merusak moral generasi bangsa.

Narasi-narasi seperti itu bertebaran di media sosial dakwah dan ruang digital yang lainnya. Nampaknya hijab atau jilbab hari ini dijadikan parameter religiusitas dan moral seorang perempuan.

“Hijab sering diasosiasikan dengan standar moral dan religiusitas perempuan muslim”… (Maria Fauzi, 2023).

Perempuan tentu bukanlah satu-satunya agen moral, yang itu hanyalah persepsi yang berangkat dari sebagian masyarakat yang cenderung menyudutkan dan mempersempit ekspresi keberagamaan seorang perempuan.

Padahal setiap perempuan punya pengalaman beragama berbeda, dan dari pengalaman yang berbeda itulah mereka memiliki ragam wajah dan ekspresi keberagamaan tersendiri. Sehingga perbedaan itu bukanlah untuk menghakimi, melainkan untuk saling memahami satu dengan yang lainnya.

Baca Juga  1984: Buku Favorit Tokoh Dunia yang Meramal tentang Totalitarianisme

Maria Fauzi juga memotret bagaimana wajah kesalehan digital seringkali membuat kaum perempuan terasa disudutkan. Seperti munculnya persepsi mengenai perempuan sebagai satu-satunya agen moral.

“Perempuan dianggap sebagai agen moral dan kesalehan keluarga serta masyarakat yang tercermin dari dirinya dan keluarganya. Ini adalah tugas yang terlalu berat. Bayangkan saja jika dalam suatu keluarga terdapat anggota yang menyalahi norma sosial agama masyarakat setempat, ibu selalu saja jadi pelaku utama yang bolak balik disalahkan karena tidak bisa mendidik anak dengan baik atau dianggap tidak becus mengurus anggota keluarga” (2023, 41).

Betapa banyak para ustadz, dai, atau penceramah populer yang menyebut bahwa sebaik-baik perempuan adalah mereka yang berdiam diri di rumah dan mengurus anak dan keluarga saja. Mereka tak perlu repot bekerja, sebab bekerja dan mencari nafkah itu urusan seorang suami. Tirakatnya perempuan atau istri itu cukup di rumah saja, bukan masjid, langgar atau bahkan bekerja ruang publik.

Begitulah wajah ideal perempuan saleh di ruang digital yang lahir dari ceramah atau dakwah para ustadz di media sosial. Seharusnya di ruang digital, tidak perlunya ada doktrin untuk melakukan domestikasi pada perempuan atas nama kesalehan. Sebab laki-laki dan perempuan punya kesempatan yang sama, tak ada pembeda. Yang membedakan keduanya hanyalah tingkat ketakwaannya kepada Allah Swt semata.

Buku Muslimah Bukan Agen Moral yang ditulis oleh Maria Fauzi juga menghadirkan banyak hal dan perspektif yang baru lagi menyegarkan mengenai perempuan dan kesalehan; mulai dari fenomena hijrah, gaya hidup islami muslim perkotaan, lahirnya para ustadz muda, hadirnya pendakwah modern dan para influencer bahkan mikroselebritas juga ikut mewarnai wacana-wacana keagamaan dan keperempuanan di ruang digital. Buku yang menarik, selamat membaca!!

Baca Juga  Belajar Filsafat itu Tidak Akan Pernah Selesai!

Judul Buku: Muslimah Bukan Agen Moral

Penulis: Maria Fauzi

Penerbit: Bentang Pustaka

Tahun Terbit: 2023

Tebal: 149

ISBN: 978-623-186-188-7

Related posts
Review

Kumandang Dakwah Sang Pembaharu dari Paciran: Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi

3 Mins read
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid) sekaligus pemurnian akidah Islam. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan telah menancapkan pakem kokoh…
Review

Memahami Teks, Menyadari Konteks: Review Buku Interaksi Islam Karya Mun'im Sirry

5 Mins read
Buku ini, Interaksi Islam, karya terbaru Prof. Mun’im Sirry, mengusung tiga tema besar: Pertama, penelusuran aktivitas relasi antaragama di masa awal Islam,…
Review

Belajar Kehidupan dari Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo

4 Mins read
“Membaca karya Kuntowijoyo ini pembaca akan merasakan bagaimana sensasi imajinasi yang membuat pikiran merasa tidak nyaman.” (Buku Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo)…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds