Imam Al-Qurtubi dan Karyanya
Imam Al-Qurtubi adalah salah satu mufassir (penafsir) Al-Qur’an yang terkenal. Beliau sangat terkenal melalui karyanya sebuah kitab Tafsir Al-Qur’an yang sering kita kenal dengan kitab yang judulnya adalah al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin li maa Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqan atau yang lebih populer dengan nama Tafsir Al-Qurtubi.
Ancaman Bagi Mereka yang Menafsirkan Al-Qur’an dengan Pendapat Sendiri
Beliau dalam pengantar kitab tafsirnya menulis satu bab khusus yang membahas ancaman bagi orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat sendiri.
Pertama, menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan pendapat dan hawa nafsurnya sendiri. Ini sangatlah berbahaya. Karena dengan demikian, Al-Qur’an tidak lagi dianggap sebagai petunjuk kehidupan dan sumber inspirasi. Melainkan hanya sebagai penguat untuk menjustifikasi dan melegitimasi tujuannya.
Munculnya Penafsir Bermodal Cocokologi
Belakangan ini, sedang marak orang-orang yang memaksakan suatu dalil untuk membenarkan tindakannya atau istilah yang biasa dikenal yaitu “cocokologi” khususnya berkaitan dengan kepentingan pribadi, politik, maupun organisasi tertentu.
Kebanyakan di zaman sekarang, orang-orang sebelum menafsirkan Al-Qur’an sudah lebih dahulu mempunyai tafsirannya sendiri. Sehingga ketika menafsirkan kitabullah, ia mencoba untuk menyamakan tafsirannya dengan maskud ayat.
Imam Al-Qurtubi memberikan contoh, seperti orang yang menyerukan untuk berusaha ber-mujahadah mengalahkan hati yang keras. Orang itu mengutip firman Allah:
“Pergilah kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.” (Qs. An-Naazi’at [79]: 17)
Kemudian dia menunjuk ke arah hatinya. Dia memberikan isyarat bahwa yang dimaksud adalah Fir’aun. Jenis seperti ini terkadang digunakan oleh beberapa juru nasihat untuk tujuan-tujuan yang benar. Yaitu dalam rangka untuk memperindah ucapan dan agar yang mendengar menjadi senang. Padahal, hal seperti itu dilarang, karena berarti menganalogikan dengan bahasa.
Itu adalah salah satu dari dua jenis larangan penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat sendiri.
Tergesa-gesa dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Kedua, tergesa-gesa menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan zahir bahasa Arabnya tanpa menampakkan pendengaran (hadis) dan penukilan hal-hal yang berkaitan dengan ke-gharib-an (keasingan) dalam Al-Qur’an dan lafaz-lafaz yang tidak jelas dan telah tergantikan. Juga tidak memperhatikan bentuk kalimat yang telah diringkas, dihapus, disembunyikan, dikedepankan, dan diakhirkan.
Imam Al-Qurtubi menjelaskan jenis penafsiran yang juga dilarang yaitu hanya melihat makna ayat dari aspek bahasa Arab tanpa melihat riwayat tentang makna yang tidak jelas (gharaib) dan lafaz yang samar, ambigu, tersembunyi dan lainnya.
Bahasa Al-Qur’an itu sastranya amat tinggi. Sehingga tidak semua orang bisa untuk memahaminya. Bahkan orang Arab sekalipun belum tentu bisa karena diperlukan ilmu khusus dan kajian untuk mengerti bahasa Al-Qur’an. Terkadang, kita sebagai orang Indonesia untuk memahami prosa dalam bahasa kita sendiri saja sering kesulitan meski kita mengerti bahasa Indonesia.
Imam Al-Qurtubi mengingatkan kita dalam kitabnya:
“Sesiapa yang tidak paham mengenai kaidah penafsiran dan hanya memahami berdasarkan aspek bahasa Arab semata sering kali keliru dan bergabung bersama barisan mereka yang menafsirkan Qur’an dengan opininya semata.”
Salah satu syarat untuk bisa memahami dan menafsirkan Al-Qur’an tentu harus menguasai bahasa Arab. Namun, itu saja tidak cukup kita juga harus belajar ilmu-ilmu lainnya.
Lebih Berhati-hati dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Sebagaimana yang telah penulis terangkan diatas bahwa setidaknya ada dua hal yang dilarang dalam menafsirkan Al-Qur’an menurut Imam Al-Qurtubi dalam pengantar kitab tafsirnya. Dari penjelasannya, kita harus lebih berhati-hati dalam menafsirkan Al-Qur’an. Jangan sampai kita menafsirkannya untuk kepentingan pribadi, hawa nafsu maupun lainnya.
Meminjam istilahnya Gus Nadirsyah Hosen, kita harus “kosong” sebelum memahami Al-Qur’an dan kita harus berisi sebelum memahami Al-Qur’an. Maksudnya apa?
Artinya, kosongkan diri kita dari berbagai kepentingan, hawa nafsu, ataupun sekedar upaya mencari-cari pembenaran atas opini kita serta jika kita tidak mempunyai ilmu yang memadai, kita berpotensi besar untuk keliru memahami Al-Qur’an.
Paham satu ilmu saja tidak akan cukup. Paham bahasa Arab saja tidak akan cukup. Apalagi kalau tidak mengerti bahasa Arab sama sekali.
Editor: Rozy