Amarah kerap kali mengemuka saat pandemi. Hal ini disebabkan dengan adanya persinggungan yang sering kali muncul, memperebutkan sesuatu yang diinginkan, merasa dihinakan oleh orang lain, mendapatkan perlakuan yang tidak disenangi oleh orang lain serta sebab lainnya yang kerap kali menimbulkan kemarahan. Karena itu kita perlu belajar menahan amarah.
Seolah ini menjadi perilaku yang biasa, apalagi di tengah pandemi, bagi masyarakat bawah, marah karena tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah ini menjadi hiasan di tengah kepanikan saat pandemi.
Menahan Amarah
Meskipun tengah melangsungkan puasa, marah memang seolah menjadi sering menghiasi belakangan ini. Ketika mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan ukuran kebenaran yang dimilikinya, padahal apa yang kemudian dia marahkan kepada pihak lain, ini juga belum tentu kebenarannya, karena mungkin terdapat pertimbangan pihak lain yang tidak terjangkau olehnya.
Dengan kemarahan tersebut terkadang timbul kemarahan lain. Sehingga satu sama lain saling menyakiti karena sesuatu yang sebetulnya sangat tidak perlu untuk dijadikan bahan kemarahan. Lebih baik langsung bermaafan-maafan di tempat kejadian, Bukan bersalaman dan bermaafan dengan menunggu lebaran tiba. Memang perlu kita akui bahwa marah merupakan bagian dari kenyataan kemanusiaan yang kita miliki.
Dalam berbagai pembahasan terdapat teori sementara dari sebagian ahli jiwa atau psikolog, bahwa keinginan marah harus disalurkan sebagaimana pada tempatnya. Jika tidak ini akan merusak jiwa karena menahan kemarahan. Diibaratkan dengan air bah, apabila terus dibendung maka lambat laun tembok yang membendung air tersebut akan bobol. Kerusakannyapun akan menjadi semakin parah.[2]
Berbeda dengan pandangan Islam, seorang yang pandai dalam menahan amarah merupakan orang yang menjaga ketakwaan kepada Allah. Dia tidak pernah luput dari perintah yang Allah tetapkan dalam al-Qur’an.
Hal ini disebabkan salah satu ciri takwa adalah orang yang pandai menahan amarah terhadap perlakuan apapun, sekalipun perlakuan tersebut sangatlah pahit. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 133 dan 134 :
“Bergegaslah kamu sekalian menuju kepada surga yang luasnya ialah seluruh langit dan bumi, yang disediakan untuk mereka yang bertakwa. Yaitu mereka yang menderma, baik dalam keadaan senang ataupun susah, dan yang menahan marah serta pemaaf kepada sesama manusia. Allah mencintai mereka yang berbuat kebaikan”
Raih Gelar Takwa
Jadi di antara banyak sifat orang yang bertakwa adalah mampu menahan amarah, orang yang mampu menahan amarah secara otomatis mendapatkan satu ciri dari bentuk ketakwaan terhadap Allah.
Meskipun marah menurut penelitian seperti bendungan, coba kita geser kemarahan menjadi balon yang dipompa dengan gas beracun. Dengan pompaan yang sangat hati-hati sehingga keluar udara kecil dari pori-pori balon, darinya keluar angin yang menyejukan bagi pemompanya.
Selain itu marah dalam perkataan Indonesia atau sering disebut amarah. Sebetulnya ini dipinjam dari bahasa Arab yaitu “Ammarah” yang artinya bersifat memerintah atau mendorong. Jika kita sering lihat dalam literatur kesufian sering dikemukakan dengan nafsu amarah.
Gal ini mengarah kepada al-Qur’an Surat Yusuf ayat 53 pada cerita istri Firaun yang diisukan menyeleweng tergoda dengan Yusuf yang menuturkan, “Aku tidaklah membiarkan lepas nafsuku, karena sesungguhnya nafsu itu pastilah sangat mendorong kepada kejahatan.” Sehingga marah itu disebut dengan marah karena iya mendorong ke arah kejahatan.
Solusi Kemarahan
Dari penjelasan tersebut sebaiknya marah ditahan sedemikian rupa, sehingga keluar kesejukan dalam diri. Di samping terdapat petunjuk Allah, yang memuji seseorang yang dapat menahan amarah dalam kehidupannya, sebagaimana yang dijelaskan di atas, siapa yang tidak menginginkan pujian bagi seorang hamba dari Tuhannya? Tentu tidak akan ada yang menolak. Malah mungkin diperebutkan oleh seorang hamba.
Menahan marah memang bukan perkara yang mudah dilakukan oleh seseorang. Oleh sebab itu nabi mengumpamakan bahwa orang yang dapat menahan dan mengendalikan kemarahan sebagai seorang yang kuat.[3]
Tetapi nabi telah mencontohkan berbagai cara untuk dapat menahan amarah yang hendak memuncak. Pertama, Nabi membaca taawudz ketika hendak marah, sebagaimana al-Quran Surat al-A’raf ayat 200 “Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah, sesungguhnya Dia Maha mendengar dan Maha mengetahui”.
Kedua, jika Nabi mendapatkan perlakuan yang akan menimbulkan kemarahan, nabi lebih memilih diam, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad nomor hadits 239. “Jika diantara kalian marah, diamlah”.
Ketiga, nabi menganjurkan untuk berganti posisi ketika marah. Dalam keadaan berdiri maka duduklah, jika marah nya tidak hilang maka berbaring. Hal ini sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud nomor 4782 yang dishahihkan oleh al-Hafizh Abu Thahir, “Bila salah satu diantara kalian marah saat berdiri maka duduklah, dan jika tidak lenyap pula maka berbaringlah”.
Keempat, nabi mengajurkan mengambil air wudhu sebagaimana hadits dari Atiyah as-Sa’di Radiyallahu anhu, yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud nomor 4784, al-Hafizh Abu Thahir menerangkan sanad hadits tersebut adalah hasan.
Kelima, dianjuarkan untuk mengingat larangan nabi tentang marah, yang terdapat dalam hadits riwayat Imam Bukhori nomor 6116 tentang permintaan wasiat seorang lelaki kepada nabi, dan nabi bersabda “jangan marah”. Permintaan diucapkan itu berulang-ulang, nabi menjawab dengan sabda yang sama. Wallahu A’lam…
Editor: Nabhan