Perspektif

Menaruh Kagum Pada Iran

3 Mins read

Oleh: Muhamad Bukhari Muslim

Iran sejak dulunya telah dikenal sebagai tempat beradanya peradaban dan imperium besar. Sebut saja peradaban dan imperium Persia. Mereka dikenal akan keunggulannya di bidang sastra, arsitektur dan pemerintahan. Konon, sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Umar bin Khattab ketika menjabat sebagai khalifah banyak mengadopsi dari sistem Persia.

Meskipun baru analisa sementara, tetapi hal ini sudah cukup memberikan gambaran kepada kita bahwa Iran betul-betul telah mengalami peradaban yang gemilang. Bahkan terus berlanjut hingga sekarang

Iran, negeri yang dikenal sebagai negeri 1001 Mullah ini, adalah negeri dengan segudang pretasi dan kebudayaan. Budaya mereka betul-betul mengakar pada diri bangsanya. Mengggunakan analisis Nurcholis Madjid, Iran adalah satu-satunya negeri Islam yang tidak terkena Arabisasi pasca tersebarnya Islam. 

Mereka tetap komit dan teguh pada kebudayaannya. Ini semua karna adanya rasa percaya diri dari mereka terhadap kebudayaannya. Mereka tidak ingin kebudayaannya digerus dan digantikan oleh budaya luar. Indonesia semoga bisa mencontohi Iran dalam hal ini.

Ketika Islam mencapai puncak peradabannya pada zaman Harun al-Rasyid dan Al-Makmun, Iran juga ikut menjadi saksi sejarah dan banyak memberikan kontribusi. Iran pernah menjadi ibu kota pemerintahan dan melahirkan banyak pemikir-pemikir yang hebat dan cemerlang. Di antaranya ialah: Al-Ghazali, Ibnu Sina, dan Nashiruddin at-Thusi. 

Bahkan sekarang ini, ketika negara-negara muslim lain mengalami ke-mandeg-an dalam melahirkan dan memproduksi filsuf-filsuf, Iran masih konsisten dan tetap eksis. Di antara produknya ialah: Suhrawardi dengan pemikiran isyraqiyah-nya, Mulla Sadra dengan hikmah muta’alliyah-nya dan Murtadha Mutahhari dengan tawaran falsafatuna-nya.

Perkembangan Iran Masa Kini

Beberapa minggu kemarin fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah mengadakan seminar internasional dengan mengusung tema, “Peran Universitas dan Cendekiawan Dalam Membangun Peradaban Baru Islam”. Pembicara yang diundang cukup berkelas: Prof. Dr. Azyumardi Azra, Cendekiawan Muslim Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah. Di samping beliau, pembicara yang juga diundang adalah pembicara yang istimewa, yaitu Ayatullah Prof. Dr. Ali Reza A’rafi, Filsuf Iran yang saat ini juga menjabat sebagai Rektor Universitas Internasional al-Musatafa, Qum, Iran (yang mengagumkan dari beliau ini, ketika CV beliau dibacakan oleh moderator, kemarin beliau baru saja merampungkan penulisan buku ‘Fikih Tarbiyah’-nya yang berjumlah 30 jilid).    

Baca Juga  How To Handle Every TECHNOLOGY Challenge With Ease Using These Tips

Pembicara pertama, Prof. Azra, mengatakan bahwa peran universitas sangat penting dalam membangun peradaban baru Islam. Setelahnya beliau juga mengatakan, kenapa Islam yang sempat berjaya enam abad lamanya, setelah terjatuh tidak pernah bangkit lagi. Hal ini, katanya, karena umat Islam tersandung oleh dua hal; pertama, masih saja berlarut-larut pada konflik-konflik yang belum selesai-selesai. Kedua, terjebak pada cara berpikir yang konservatif. Misalnya, masih banyak dari umat Islam yang mengharamkan filsafat. Ini sungguh kendala. Karna filsafat adalah syarat mutlak bagi tegaknya sebuah peradaban. 

Kemudian pembicara kedua, Ayatullah A’rafi, beliau mengajukan pertanyaan yang kemudian beliau jawab sendiri. Pertanyaannya, apakah Islam menyediakan seluruh teori-teori sosial dan humaniora? Beliau menjawab tidak. Tapi yang harus diingat ialah bahwa Islam melalui al-Quran sangat mendorong dan memberikan spirit pada umatnya agar giat dalam mencari ilmu pengetahuan. Sehingga darinya umat Islam bisa menjadi penemu teori.

Setelah keduanya usai menjelaskan, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Kebetulan saat itu saya juga bertanya. Saya mengatakan bahwa jika umat Islam ingin membangun peradaban baru, di sana masih terdapat dua kendala: yakni cara berpikir yang ekslusif (tertutup) dan sikap yang terlalu apologetik (pembelaan). 

Contoh ekslusifnya adalah masih banyak dari umat Islam yang mengharamkan filsafat atau cara berpikir rasional. Ini sungguh kendala. Karna bagaimana pun, kalau kita ingin membangun peradaban, jika akal sendiri masih kita kekang, dilarang dan haramkan. Sementara sikap apologetik, itu terlihat dari kita yang suka mengklaim-klaim atas penemuan Barat dengan pernyataan, “Ini sudah disebutkan oleh al-Quran jauh sebelum Barat menemukannya.” Sikap yang sungguh kekanak-kanakan dan tidak dewasa. 

Kepada Ayatullah A’rafi, saya bertanya bagaimana cara mencerahkan orang-orang seperti itu? Jawaban dan informasi yang beliau sungguh menggembirakan.

Baca Juga  Masjid Harus Menjadi Tempat Ibadah yang Inklusif dan Ramah Penyandang Disabilitas

Beliau mengatakan bahwa Iran alhamdulillah telah keluar dari ekslusifisme meskipun mendapatkan embargo dan pengucilan dari dunia (terutama Amerika). Iran hari ini telah mencapai perkembangan ilmu pengetahuan yang cukup pesat. Integrasi antara Islam dan ilmu pengetahuan benar-benar dijadikan fokus utama. 

Peradaban Iran bukan hanya berkembang di bidang ilmu teologi, filsafat dan sastra, tapi juga di bidang ilmu pengetahuan lainnya. Bahkan kata beliau, saat ini Iran telah membuka 600 prodi untuk melakukan integrasi di atas. 

Saat ini ilmu yang cukup berkembang di sana adalah ilmu humaniora. Prof. Azyumardi Azra pun menambahkan, ketika beliau berada di Jepang, ia menemukan banyak anak-anak Iran yang sedang belajar ilmu kedokteran dan ilmu nuklir.

Iran, sebagaimana pengakuan Ayatullah A’rafi, dalam standar jurnal internasional, ditempatkan pada posisi pertama di antara jajaran negara Islam, sementara di dunia menempati posisi ketujuh. Bahkan, beliau juga mengatakan bahwa anak muda Iran sudah ada yang membuat nuklir (tentunya tidak digunakan untuk kejahatan).

Prestasi yang sungguh luar biasa dan mengagumkan. Indonesia dan juga negara Islam lainnya diharapkan dapat menjadikannya sebagai pacuan dan motivasi. Agar kemudian, seperti harapan Ayatullah A’rafi, antar sesama negara Islam dapat membuat sebuah pasar besar ekonomi dan juga pasar ilmu pengetahuan sendiri.

.

*Kabid RPK. IMM Komisariat Ushuluddin, Cabang Ciputat

.

Editor: Yahya FR
Avatar
21 posts

About author
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Ciputat
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds