Kaum muda Muhammadiyah saat ini tengah berdiri di persimpangan sejarah. Di satu sisi terbelit kebesaran sejarah masa lampau, di sisi lain dituntut untuk mengambil alih beban masa depan, baik di ranah persyarikatan hingga kehidupan umat dan persyarikatan.
Dalam kondisi demikian, penting untuk melempar soal, kemana gerangan arah yang akan dituju oleh kaum muda Muhammadiyah?
Kaum Muda Muhammadiyah
Pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan adalah tauladan paling jelas dari karakter pembaharu seorang kaum muda. Ia benar-benar mengisi masa mudanya dengan tindakan-tindakan yang revolusioner. Dalam usianya yang ke-21 tahun ia menikah dengan Siti Walidah, beberapa bulan kemudian menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya (Kyai Suja’, 2010).
Pada usia 28 tahun ia telah menggantikan jabatan KH. Abubakar Khatib Amin masjid besar Yogyakarta. Pada tahun 1902, dalam usianya yang ke-34 tahun, Dahlan melakukan perjalanan hajinya yang kedua sembari mempelajari pemikiran pembaharuan Islam. Pada usia 40 tahun bergabung dengan organisiasi pergerakan Boedi Oetomo yang diprakarsasi Wahidin Soediro Hoesodo, empat tahun kemudian pada usianya yang ke 44 tahun, ia sudah mendirikan organisasi Muhammadiyah (Mu’arif, 2020).
Karakter revolusioner Ahmad Dahlan berbiak dan menular kepada muridnya yang di kemudian hari menjadi tokoh penting dalam dinamika perjalanan kebangsaan. Murid yang mencolok tersebut seperti Fakhruddin, RH. Hadjid, Ki Bagus Hadikusumo, Ahmad Badawi dan lainnya. Fakhruddin adalah tokoh yang gigih memperjuangkan kemerdekaan sehingga dirinya demikian disegani oleh kolonial Belanda. Kyai Hadjid dikenal sebagai sosok penyambung spirit dakwah gurunya, Ahmad Dahlan. Sementara Ki Bagus Hadikusumo terkenang dalam sejarah sebagai tokoh kunci dalam perumusan Piagam Jakarta pada tahun 1945. Sementara Ahmad Badawi menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah di penghujung masa pemerintahan Soekarno (Nashir, 2016).
Para tokoh tersebut adalah cermin kaum muda Muhammadiyah yang revolusioner, mereka kritis, bervisi jangka panjang, berani mengambil resiko dan memiliki empati juga kepekaan sosial yang tinggi. Sebuah kepribadian yang masa itu sulit untuk diperankan oleh generasi muda sezamannya.
Kini, setidaknya dalam satu dekade terakhir, eksistensi kaum muda Muhammadiyah tampak masih menonjol dalam dinamika perkembangan bangsa. Sebagian di antaranya bergulat merawat masyarakat di akar rumput, sebagian lainnya menjalankan peran-peran vital dalam sektor publik. Eksistensi kaum muda Muhammadiyah saat ini patut disyukuri. Kendati demikian, mereka tak boleh abai untuk mengukur peluang dan ancaman yang selalu menghantui eksistensi mereka.
Ancaman dan Peluang
Di antara semangat juang yang menyala di dada, kaum muda Muhammadiyah juga tak bisa abai dengan kompleksitas ancaman yang kini menghampiri eksistensi organisasi. Ancaman tersebut berupa faktor eksternal yang berpotensi merugikan serta memperlambat kemajuan mereka. Ancaman tersebut meliputi:
Pertama, penetrasi digital yang tak terkendali. Memasuki abad millenium dengan invasi teknologi digital yang demikian massif, saat ini, kaum muda Muhammadiyah tengah berhadapan dengan ancaman teknologi, sebutlah masalah cyberbullying, kecanduan gaming, penyebaran hoax, hingga kejahatan siber.
Kedua, kaum muda Muhammadiyah tengah berhadapan dengan ancaraman krisis iklim yang telah merampas dan merenggut hak-hak generasi muda untuk memiliki hidup layak di masa mendatang. Kaum muda Muhammadiyah dalam hal ini terimbas secara langsung maupun tidak langsung, mulai dari persoalan potensi bencana alam, degradasi lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati yang secara langsung juga berdampak pada perampasan akses terhadap pendidikan dan kesehatan.
Petaka iklim di masa mendatang akan melahirkan wabah penyakit, toksisitas ekologi, dan ancaman kesehatan di masa yang akan datang (Budianto, 2023). Generasi muda di banyak negara sekarang telah merasakan kekhawatiran dampak krisis iklim sekaligus mengambil langkah-langkah preventif. Kaum muda Muhammadiyah seyogianya memiliki kesadaran tentang petaka dan ancaman krisis iklim di masa mendatang.
Ketiga, ancaman ketisakstabilan ekonomi. Ketidstabilan ekonomi berdampak secara langsung terhadap generasi muda. Secara langsung ketidakstabilan tersebut melahirkan pengangguran yang meningkat, penurunan akses pendidikan bahkan pada situasi tertentu melahirkan tekanan psikologis yang memicu stress dan kecemasan.
Kondisi diperparah dengan gaya hidup generasi muda yang menikmati hidup dengan membelanjakan dananya untuk barang-barang mewah. Situasi ini yang kemudian melahirkan fenomena judi dan pinjaman online yang belakangan marak menimpa generasi muda. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa setidaknya nilai penyaluran fintech lending atau pinjaman online di Indonesia mencapai Rp. 20,53 Trilliun pada Agustus 2023. Dari jumlah tersebut, 60% pengguna di antaranya berasal dari kalangab muda (millenial dan Z) yang berusia kisaran 19-34 tahun.
Keempat, ancaman kesehatan mental. Depresi dan bunuh diri sebagai bagian dari krisis mental kini telah menjadi ancaman bagi generasi muda modern. Secara global, dalam data Word Health Organization pada tahun 2024 menyebut bunuh diri telah menjadi penyebab kematian terbesar ketiga di dunia dan menimpa usia muda dalam rentang usia 15-29 tahun.
Sementara, di Indonesia dalam hasil survey tahun 2022, Indonesia-National Adolescent Mental Helath menyebut sebanyak 15, 5 juta (34,9%) remaja Indonesia mengalami masalah mental. Krisis dan masalah mental tersebut efek samping dari tekanan hidup yang kian besar, problema kematangan otak, dan mental serta tsunami informasi yang mengganggu generasi muda.
Kendati dihantui ragam macam ancaman eksternal, kaum muda Muhammadiyah saat ini memiliki modal dan peluang untuk menata masa depan. Teknologi dan dunia digital saat ini membuka peluang besar bagi kaum muda Muhammadiyah untuk terlibat dalam agenda pembangunan bangsa dan dunia. Dunia digital membuka keran bagi kaum muda Muhammadiyah untuk terlibat dalam sektor ekonomi, politik, dan budaya.
Refleksi Akhir
Menata masa depan kaum muda Muhammadiyah harus berjalan seiring dengan pemahaman atas ancaman dan peluang masa depan. Sehingga demikian, arah kaderisasi dan gerakannya tak berjalan secara sporadis dan serampangan.
Sebaliknya, arah langkah masa depan bisa dibangun dengan tertata. Kaum muda Muhammadiyah hari ini harus mampu mengendalikan jalannya sejarah, terlibat mempengaruhi dinamika zaman. Semua itu tentu dengan tetap beriman pada jati diri dan nilai-nilai luhur yang diwariskan pada pendahulu di Muhammadiyah.
Editor: Soleh