Awal tahun 2020 ini, kekuasaan apapun tidak dapat mengantisipasi, menangkal, ataupun menghentikan berbagai macam tragedi umat manusia. Berbagai bencana alam terjadi, seperti: banjir (Indonesia), gempa bumi (Jepang dan Peru), kebakaran dan badai (Australia), dan yang paling akhir muncul ialah berjangkitnya virus Corona. Semua ini mengingatkan kembali posisi manusia yang begitu rentan (powerless).
Lalu, sebagian manusia mengekspresikan ketidakberdayaan ini dengan istilah-istilah: ini takdir Allah, ini bencana alam, ini ujian Allah, ini musibah manusia, tragedi, azab Tuhan, laknat Tuhan, balasan Tuhan, dan sebagainya. Ekspresi ini bisa bersumber dari individu, kelompok, komunitas atau negara. Padahal, semua itu olah manusia sendiri, tidak ada urusannya dengan non-manusia.
Misalnya, bencana banjir di Indonesia bisa jadi azab Tuhan atau ujian bagi sebagian penganut agama, musibah atas kesalahan alam atau bisa jadi karma seorang pemimpin; kebakaran di Australia dapat dipahami sebagai bencana besar umat manusia yang mengacuhkan pemanasan global atau dapat juga dipahami sebagai azab terhadap negara Australia. Terakhir adalah penyebaran virus Corona yang sampai Minggu ini memadati media-media. Reaksi manusia sungguh beragam: ada yang menafsirkan virus ini sebagai tragedi penuh duka mendalam atau memahaminya dengan meme lucu-lucu di media sosial.
Makna
Manusia adalah makhluk penafsir demi mencari makna. Manusia tidaklah monolitik sebagai ahli penghafalan atau pintar logika, jago matematika, dan algoritma, terus apa? Apa maknanya jika pandai matematika, tapi terjadi kekacauan alam dan derita umat manusia? Apa maknanya kaya materi dengan manusia mayoritas di muka bumi ini menderita? Apa maknanya kaya dan pintar, tapi tidak dapat mengendalikan kerusakan alam?
Pada akhirnya, hidup itu subjektif dengan terus memaknai realitas. Setiap manusia itu memiliki kemauannya sendiri yang tergantung pada bentukan makna hidup sejak dari kecil hingga sekarang dengan berdialektika bersama realitas yang dihadapinya. Subjektivitas manusia dalam mencari makna dalam hidup selalu berubah-ubah, karena kondisi manusia selalu dalam keresahan, ketidakpastian, kesulitan, dan penuh keluh. Manusia adalah makhluk penuh kegelisahan dan ketakutan karena perangkap abstraksi idealnya.
Bagi manusia yang sudah merasa yakin akan hidupnya, mereka merasa hidup itu untuk dijalani, diterima dan dihadapi saja. Hidup tidak perlu terlalu banyak visi-misi, gak neko neko, ngono ya ngono ning ojo ngono. Obsesi akan visi-misi dan rasionalitas justru memunculkan ketakutan, keresahan, penyesalan, dan perandaian.
Pengendalian manusia akan alam dari unsur kegelisahan, ketakutan, dan kebimbangan dengan sumber imaji akal rasionalnya justru memenjarakan manusia kepada penguasaan alam yang tak terkendalikan.
Padahal, jika masuk ke ruang makna, semua hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi justru banyak terjadi. Oleh sebab itu, ekspektasi perlu diganti dengan makna dan hasilnya kebijaksanaan dalam hidup bersama alam.
Harapan ideal dalam pikiran kita tidaklah utama. Menelusuri makna di balik kejadian-kejadian, tanda-tanda alam, dan banyak simbol, lalu merefleksikannya dengan pola-pola masa lalu adalah hal yang utama. Di sinilah manusia berefleksi, berkontemplasi, dan berpikir dalam konteks memaknai hidup. Ruang dan waktu bergerak dalam persimpangan demi tujuan pencarian makna hidup dengan hasil kebijaksanaan dalam menyikapi tantangan hidup.
Memaknai Hidup dalam (Fenomenologi) Islam
Dalam Islam, makna hidup diserahkan oleh manusia bersama batin (rasa) dan akalnya. Dalam surat Al-Baqarah: 30, ada dua hal yang penting, yakni penyerahan tanggung jawab kepada manusia dalam mengelola alam dan di sisi lainnya dari manusia, yakni perusakan atas alam. Teks ayat ini tidak memiliki konteks khusus, tapi universal tentang bagaimana manusia bersama batin dan akalanya mengatur sendiri alam semesta ini.
Resikonya, jika manusia salah urus, maka alam akan rusak. Kerusakan alam adalah kerusakan diri sendiri yang secara inheren sebagai bagian dari alam. Saya bukan mau ndalil, tapi hanya ingin mengekspresikan makna fenomenologis saya atas makna hidup saya atas apa yang ditorehkan di al-Quran. Salahkanlah diri manusia, bukan dilempar ke alam (yang non-manusia) dan Tuhan.
Sepertinya, kurang pas dan tidak relevan kerusakan alam dilempar, dikabrokkan, ditujukan kepada azab Tuhan, ujian Allah atau kesalahan alam. Simpan saja untuk diri sendiri subjektivitas makna ini.
Bagi saya, manusia merusak dirinya sendiri, tidak ada urusannya dengan azab Tuhan atau ujian Allah. Ketika manusia merusak dirinya sendiri faktanya manusia terasing dari dirinya. Keterasingan itu seolah-olah manusia bukan alam itu sendiri; manusia terpisah, berjarak dari alam.
Contoh kecil saja, dalam diri kita begitu banyak sumber alam seperti bakteri kecil-kecil untuk metabolisme tubuh, air, dan tubuh kita yang akan kembali ke tanah. Dua hal ini saja dimaknai bahwa manusia itu bagian besar dari ekosistem semesta alam.
Begitu banyak surah yang menceritakan tentang alam agar manusia bertanggung jawab atasnya. Di antaranya, “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imran: 191) dan “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka” (QS. Al An’aa:11).
Saya tidak akan menjabarkan semuanya, beberapa yang terkait dengan surat dan ayat di atas di antaranya QS. Qaf: 38, QS. Al-An’aam:73, QS. Al-A’raaf: 54, QS. At-Taubah: 36, dan QS. Al-Anbiyaa: 30. Makna dari semua itu adalah, manusia diberi hak penuh (kuasa). Jika ada kekacauan atasnya, maka manusialah yang harus kembali bertanggung jawab, bukan yang lain. Kesadaran kita adalah cermin bahwa kita adalah alam itu sendiri. Nyadar gak sih?
Saya ingin mengutip langsung pendapat intelektual Islam Timur-Barat, Prof. Tariq Ramadan dalam “Islamic Reform” (2009, 236-237) tentang bagaimana seharusnya orang Islam dengan alam (dirinya sendiri):
“The Prophet did not simply command us to respect the ritual and say the formula “Bismillah, Allahu Akbar!” ([I begin with] In the name of God, God is the greatest!) with which animals could be killed for food. He required animals to be treated in the best possible way and spared needless suffering. As a man had immobilized his beast and was sharpening his knife in front of it, the Prophet intervened to say: “Do you want to make it die twice? Why didn’t you sharpen your knife [away from the animal’s view] before immobilizing it?” Muhammad had asked everyone to do their best to master their range of skills: for a man whose task was to slaughter animals, this clearly consisted of respecting the lives of the animals, their food, their dignity as living beings, and sacrificing them only for his needs, while sparing them unnecessary suffering. The formula accompanying the sacrifice was only to be understood as the ultimate formula that, in effect, attested that the animal had been treated in the light of Islamic teachings during its lifetime. This formula was certainly not sufficient to prove that those teachings were respected: an animal slaughtered correctly according to Islamic ritual but ill-treated during its lifetime therefore remained, in the light of the Islamic principles transmitted by the Messenger, an anomaly and a betrayal of the message. The Prophet had threatened: “He who kills a sparrow or any bigger animal without right will have to account for it to God on Judgment Day.” The Prophet thus taught that the animal’s right to be respected, to be spared suffering and given the food it needed, to be well treated, was not negotiable. It was part of human beings’ duties and was to be understood as one of the conditions of spiritual elevation.
Saya simpulkan kutipan panjang di atas walaupun spesifik tentang bagaimana manusia memperlakukan binatang, tapi prinsipnya bahwa dalam keberserahan diri kepada Tuhan (ber-Islam), manusia tidak hanya komat-kamit mengucapkan“Bismillah” dan sebagainya, tapi makna menghormati alam.
Saya ingin kaitkan dengan ritual shalat. Ritual shalat tidak ala kadarnya jengkang-jengking saja, tapi dalam ritual itu ada penyelarasan antara pengendalian akalnya yang liar dan batinnya yang tenang yang terlihat dari implementasi hidup manusia bersama alam: “…Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar” (QS. Al ‘Ankabuut: 45). Tuhan memberi fasilitas shalat kepada manusia agar manusia salah satunya bijak hidup bersama alam, bukan malah melempar kepada Allah sendiri sebagai azab atau ujian dari-Nya. Simpan saja makna itu untuk diri sendiri.
Editor: Yahya FR