Perspektif

Mencari Wahyu Lailatul Qadar di Indonesia

3 Mins read

Sebelumnya penulis hanya ingin merefleksikan hasil dari bacaan buku karya Abdul Munir Mulkhan “Manusia Al-Qur’an” Jalan Ketiga Religiusitas di Indonesia. Seketika membacanya pada bagian awal di dalam sub bab Seribu Malam Pengorbanan tiba-tiba hati merasa terenyuh. Bagaimana tidak, suasana kehidupan bangsa saat ini seperti yang ditulis Prof. Munir Mulkhan mengalami prakondisi sosial-budaya lailatul qadar.

Lailatul Qadar

Rakyat miskin makin menderita, yang kaya dan berkuasa belum berhenti bermabuk harta dan selingkuh. Masyarakat tidak tahu lagi ke mana mencari sesuap nasi, yang kaya sibuk memilih menu, yang merasa saleh sibuk menghitung pahala surgawi, intelektual bingung berteori, penguasa sibuk menghindari tanggung jawabnya (Manusia Al-Qur’an : 2007).

Paradoks-paradoks kehidupan masyarakat Makkah dahulu sebelum Muhammad menerima wahyu sepertinya tak jauh berbeda dengan yang dialami bangsa Indonesia sekarang. Apalagi ditengah pandemi Covid-19 yang semakin mengglobal dan menyerang hampir ke semua negara dari berbagai belahan dunia.

Masih banyak para elit bangsa yang ugal-ugalan, gegabah, pongah, dan kebijakanya cenderung merugikan rakyat. Banyak juga diantaranya dari beberapa orang yang masih mementingkan perutnya sendiri, meraup keuntungan ditengah kondisi masyarakat yang menjerit kesusahan dan kelaparan.

Keadaan seperti ini persis seperti masa jahiliyah dulu dimana orang sibuk berburu harta, pemimpin mabuk kekuasaan, penegak hukum “ngakali” peradilan, dan rakyat bingung mencari sesuap makanan. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam lailatul qadar.

Memutus Rantai Ketidakadilan

Di saat kondisi sosial masyarakat jahiliyah Makkah semakin paradoks dan jauh dari ketidakadilan, penuh penindasan, konflik, dan kebiadaban, hal ini membuat Muhammad menjadi semakin prihatin. Situasi itu mendorong Muhammad ber-tahannuts (bertapa menyepi, menyendiri) di Gua Hira. Hingga suatu malam Muhammad merasakan kehadiran sosok luar biasa yang tak pernah dikenalnya. Dia mengajak membaca yang tak pernah dibaca Muhammad.

Baca Juga  "TRI RAHAYU", Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang Terlupakan

Tamu malam itu lalu membaca :

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5).

Saat malaikat Jibril menyampaikan wahyu yang pertama, penanda penahbisan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul itu disebut Malam Lailatul Qadr atau Lailah al-Qadr. Ritual di malam yang dipercaya terjadi pada 17 Ramadan itu nilainya lebih baik daripada ibadah selama 1.000 bulan.

Dari sinilah Muhammad Saw memulai revolusi peradaban yang berpangkal pada kesadaran tentang asal-muasal diri manusia. Perangai jahiliyah berubah menjadi cinta kasih, konflik dan fitnah menjadi sillaturrahmi, ketidakadilan dan kebiadaban hiup berdasar hokum public, kekuatan fisik dan pedang diganti etika budi kemuliaan (akhla1- al- karimah). (Manusia Al-Qur’an : 2007)

Lailatul qadar itu seperti yang ditulis oleh Prof. Munir Mulkhan sangat signifikan bagi pembelajaran bangsa ini, apalagi bangsa ini masih belum terbebas dari rantai ketidakadilan, penindasan, KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) masih merajalela dan berbagai persoalan yang merugikan masyarakat banyak.

Wahyu Pembebasan Bangsa

Apalagi ditengah pandemi Covid-19 yang menyerang berbagai aspek kehidupan mulai dari ekonomi, pendidikan, budaya dll. Banyak orang di PHK dari pekerjaanya, pedagang, dan sopir tidak mendapat penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan masih banyak lagi persoalan-persoalan kemanusiaan yang tengah menghadapi krisis seperti sekarang ini.

Pada malam lailatul qadar/Lailah al-Qadr inilah para elite bangsa mulai dari Presiden, Menteri, Wakil Rakyat, Pemimpin Partai, Pemimpin Ormas, dan Pengusaha sekiranya perlu untuk ber-tahannuts,  apabila tidak bisa di gua seperti Nabi dahulu mungkin cukup di rumah karena saat ini moment untuk tidak beribadah di masjid, sekiranya perlu menjawab apa yang salah dan yang sedang terjadi dengan bangsa ini?

Baca Juga  Tahun 'Serba Nyaris' 2019

Dengan hati yang bersih, tulus dan jujur perlu dicari Wahyu Lailatur Qadar Ke-Indonesia-an untuk menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan. Malam Lailah al-Qadr adalah moment yang tepat untuk bertafakur dan bermuhasabah meminta bimbingan dan petunjuk untuk mengentaskan persoalan kemanusiaan ini. Jangan sampai hanya disibukan untuk memikirkan kesalehan pribadi dan menghitung-hitung pahala surgawi tanpa memikirkan dan menjawab permasalahan tanggung jawab manusia terhadap sesamanya.

Dengan datangnya malam Lailah al-Qadr ini tentu menyisihkan harapan besar bagi seluruh rakyat Indonesia. Khususnya untuk pemegang kekuasaan supaya mengeluarkan kebikan-kebijakan yang bisa menjawab persoalan dan tidak menimbulkan konflik. Jangan sampai terjebak lagi dalam kubangan lumpur.

Lailah al-Qadr ini merupakan momentum penemuan wahyu pembebasan bangsa ini dari krisis moral kekuasaan. Saatnya elit dan pemimpi bangsa hadir dan menjawab persoalan ini. Dan kita masyarakat yang dibawah tak lupa juga untuk saling mengulurkan tangan membantu dan menolong sesama tanpa melihat perbedaan.

Karena pengorbanan bagi kepentingan publik dalam situasi krisis tersebut nilainya lebih hebat daripada pengorbanan seribu malam dalam situasi normal (Manusia Al-Qur’an : 2007).

Editor: Nabhan

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds