Perspektif

Literasi Digital: Baca Dulu Sebelum Komentar!

3 Mins read

Hujatan, hujatan, dan hujatan. Begitulah respons yang diberikan oleh netizen +62, terutama dari kalangan yang seagama dengan penulis artikel berjudul Halal dan Haram: Apakah Daging Babi Bisa Halal?. Banyak yang menganggap apa yang ditulis telah melanggar perintah Tuhan. Padahal, jika kita membaca konten yang dituliskan secara hati-hati, ada 3 poin yang saya tangkap yang coba disampaikan oleh penulis.

Ketiga poin itu antara lain mendorong umat Islam agar lebih peka terhadap sains, beragama secara rasional bukan semata-mata dogmatis, dan memiliki sikap kehati-hatian terhadap perkembangan teknologi. Namun, poin-poin tersebut seringkali tidak tertangkap, hanya babinya saja yang malah ditangkap.

Begitulah jika netizen muslim terjebak pada fenomena “emosi lebih cepat daripada refleksi”. Sehingga, yang muncul malah salah kaprah, dan hal ini bukan untuk kali ini saja terjadi. Sebelumnya pun sudah sangat sering tulisan-tulisan dari IBTimes disalahartikan, saya termasuk yang mengikuti hujatan-hujatan netizen di laman media sosialnya IBTimes.

Kondisi salah kaprah ini kalau kita tarik dalam satu tarikan napas, terangkum dalam kata sakti “sudah menyalahi aturan Tuhan” dengan segala label yang mengikutinya. Namun, biasanya akan dilalui dengan prakondisi keraguan terhadap kemuhammadiyahan para penulisnya. Wajar saja, karena IBTimes identik dengan kemuhammadiyahan.

Minimnya Literasi Digital di Kalangan Netizen Muslim

Tapi bagi saya, hal yang semacam ini sangat tidak pantas dipertontonkan oleh netizen muslim, yang di dalam kitabnya diajarkan untuk tabayun (konfirmasi) dan iqra (baca) terlebih dahulu. Namun, saya juga tidak mau sepenuhnya menyalahkan mereka. Apalagi jika kondisi literasi digital di kalangan netizen muslim masihlah sangat rendah. Sehingga mereka seringkali terjebak pada judul yang sensasional dan emosional yang kita buat, tanpa memahami konten. Atau kalau pun memahami konten tersebut, mereka gagal untuk memahaminya secara utuh.

Baca Juga  Pelatihan Menulis Esai bagi Angkatan Muda Muhammadiyah

Kita juga harus mengakui, jika literasi digital yang hari ini kita bangun cenderung mengajarkan formalitas pengetahuan yang kejar tayang, bukan sampai pada level pemikiran kritis dan refleksi yang matang. Sehingga, apa pun konten yang mereka lihat tetap dipahami secara dangkal, bukan dengan sikap yang hati-hati, meskipun konten itu pada dasarnya baik.

Kadang-kadang, sikap ketidaktahuan dengan apa yang mereka baca ini, dibenarkan sebagai perbedaan pendapat. Tapi bagi saya, perbedaan pendapat yang benar harus diimbangi dengan argumen yang logis, bukan emosional, apalagi sampai mengarah pada penghakiman.

Membangun Literasi Digital yang Progresif

Gejala reaktif daripada logis di era digital ini pernah diungkapkan oleh salah satu ilmuwan sosial bernama Anne P. Mintz, dalam bukunya Web of Deceit: Missinformation and Manipulation in the Age of Social Media yang berpendapat bahwa era digital bukan hanya memudahkan seseorang menerima informasi, tetapi membuat dan mengubah informasi yang asli menjadi hal yang berlainan dari aslinya, juga mengubah cara publik dalam membacanya.

Pembacaan publik yang sangat bergantung pada reaksi cepat, seringkali terjebak pada penarikan kesimpulan yang cepat pula. Tentu saja hal ini akan minim proses verifikasi. Apalagi nalar logis, jika ini dibiarkan makan fenomena, akan menjadi ancaman yang jelas dan nyata bagi masyarakat dan komunitas.

Apalagi kalau kita lihat fenomena yang seringkali menstigma IBTimes banyak datang dari lompatan-lompatan pemahaman yang setengah-setengahnya ini. Oleh karena itu, dibutuhkan literasi digital yang lebih progresif.

Literasi Informasi, Kompetensi Kunci Abad 21

Terkait literasi digital, jika kita mengutip perkataan dari Alan Bundy dalam bukunya berjudul Information Literacy: The Key Competency for the 21st Century ditegaskan bahwa literasi informasi adalah kompetensi kunci abad 21. Karena tanpa sejumlah besar warga negara yang kompeten atau dalam hal ini umat Islam dalam memahami informasi yang berlimpah, maka masyarakat Islam akan gagal menghasilkan pengetahuan baru yang cukup serta gagal menangani masalah-masalah di dunia
modern.

Baca Juga  Guru adalah Navigator Pendidikan

Oleh karena itu, literasi digital jangan hanya terjebak pada formalitas semata, bak sinetron kejar tayang. Gerakan literasi digital harus diarahkan pada upaya-upaya yang sistematis untuk menghasilkan manusia-manusia modern yang memiliki penalaran kritis, reflektif, dan juga invotif. Sehingga, apa pun pendapat yang muncul akan dibalas juga dengan pendapat bukan dengan hinaan apalagi fitnah.

Literasi digital harus terus-menerus digelorakan sebagai semangat zaman yang ikhlas tanpa tersekat pada momentum. Sehingga, goal yang dituju pun menjadi jelas dan tidak melulu bergantung pada perintah atasan. Karena literasi digital ini bukanlah pilihan, tapi keharusan yang harus dimasifkan di kalangan netizen muslim.

Kiranya dari sinilah netizen muslim akan mampu membumikan perbedaan pendapat yang ilmiah yang mendepankan “tulisan lawan tulisan” atau “ide lawan dengan ide“. Begitulah perbedaan pendapat yang harus terbangun di kalangan netizen Islam. Karena Islam sendiri mengajarkan perbedaan pendapat yang didasarkan pada hikmah, bukan pada hal-hal dangkal yang mengarah pada kecurigaan, penghakiman, bahkan upaya-upaya bullying online lainnya.

Editor: Lely N

Avatar
8 posts

About author
Mantan Pengurus Divisi Kajian dan Penelitian PPI Dunia dan RPK PC IMM Malaysia
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *