Mencermati pola perkembangan keberagamaan umat Islam di Indonesia mutakhir, kondisinya sungguh menggelisahkan. Jika dahulu, tepatnya pada masa Orde Baru, Times dan Newsweek menyebut Muslim di negeri ini ibarat “wajah yang dipenuhi dengan senyuman” (Muslim with a smiling face), tetapi kini sebutan yang dibangga-banggakan itu tampaknya memudar.
Potret Islam Indonesia yang dahulu penuh dengan keramahan, toleran dan moderat itu menjadi kabur. Seiring dengan perilaku sebagian Muslim yang suka mengolok-olok apabila terjadi perbedaan pandangan. Serta lebih mendahulukan ancaman dibanding memilih jalan dialog. Fenomena tersebut menjadi indikasi kuat yang menggerus watak moderatisme Islam di negeri ini.
Lunturnya Moderatisme Islam
Lunturnya moderatisme Islam di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini, paling tidak disebabkan oleh dua hal;
Pertama, iklim politik yang serba terbuka seperti sekarang ini memberikan tempat bagi kelompok Islam skripturalis/literalis. Mereka keluar dari “kantong-kantong persembunyiannya,” yang kemudian mendesiminasikan corak pemikirannya yang khas: kaku, tertutup dan literatif dalam memahami teks keagamaan.
Kenyataan ini dapat dicermati melalui maraknya ujaran kebencian di media sosial (Merlyna Lim, 2017). Olok-olok bernadakan etnis, agama, keyakinan, kelompok dan pandangan tertentu masih sering dijumpai hari ini. Berbagai narasi yang dikonversi untuk mendukung salah satu pandangan kelompok tertentu dengan menafikan kelompok yang lain, belakangan ini mudah sekali kita temukan.
Berbagai fakta yang demikian ini membelalakkan mata kita semua mengenai arah laku keberagamaan yang begitu mudah dimainkan emosinya, sensitif dan mudah marah.
Bahkan, berbagai narasi bodong (hoax) sengaja dibuat dan disebarkan untuk tujuan memperuncing masalah. William R. Liddle (1996), melihat gejala ini sebagai bangkitnya kelompok Islam skripturalis di era demokrasi deliberatif.
Kedua, periode modern yang ditandai dengan kemajuan sektor industri, oleh banyak sarjana Barat, secara otomatis akan meminggirkan umat Muslim. Tetapi kenyataan yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Negara-negara Islam (termasuk yang mayoritas penduduknya Muslim) tidak mengalami kemunduran dengan kemajuan yang dialami Barat, melainkan memunculkan kelompok Islam dengan varian yang baru. Kelompok dengan varian yang baru tersebut adalah umat Islam yang menghadirkan simbol-simbol agama ke ruang publik.
Tak ayal, fenomena komodifikasi agama begitu mewarnai dalam perkembangan laku keberagamaan umat Islam. Wujudnya, seperti yang kita lihat layaknya perbankan syariah, fashion syariah atau properti syariah. Sementara, kelompok Muslim dengan varian yang baru tersebut memanfaatkan berbagai atribut keagamaan demi kepentingan politik.
Dengan mencermati pola keberagamaan yang seperti itu, wajar bila kondisi keumatan saat ini tampak menggelisahkan. Dari sini, upaya menghadirkan simbol-simbol Islam ke ruang publik memperlihatkan adanya pergesaran corak pergerakan ke arah konservatisme Islam (conservative turn).
Konservatisme Islam inilah yang penulis maksud sebagai gerakan varian Islam baru. Mereka hadir dengan lebih mementingkan penampilan luar agama daripada menunaikan esensinya. Kemunculan mereka menolak agenda-agenda besar yang mendorong terciptanya sipil Islam dan Islam pluralis.
Muhammadiyah dan NU
Muhammadiyah dan NU, sebagai organisasi masyarakat Islam mainstream dan moderat, perlu bekerja keras memoderasi perilaku dan pemikiran keagamaan umat Islam di Indonesia. Caranya, sebagaimana yang sudah banyak disuarakan, tetap terus mempromosikan nilai-nilai perdamaian, keramahan, toleransi dan kerukunan sebagaimana yang terkandung dalam ajaran Islam.
Berbagai gejala konservatisme Islam ini kiranya perlu mendapat perhatian serius dari seluruh pihak. Sebab, intensifikasi pemikiran dan gerakannya bisa mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Olok-olok berbau etnis, agama dan golongan tertentu yang marak di berbagai saluran media sosial belakangan ini dan beredarnya berbagai narasi kebencian adalah sejumlah fakta tak terbantahkan, di mana dampak negatif perkembangan konservatisme keagamaan itu muncul ke permukaan.
Sebab itu, sebelum ujaran kebencian yang marak di dunia maya meluber ke dunia nyata dan berubah menjadi konflik komunal, primordial dan keagamaan. Pemerintah melalui ormas-ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU perlu menggelorakan kembali semangat kebhinekaan dan moderatisme Islam. Dengan begitu, potret keberagamaan kita tidak tampil secara buas, tetapi kembali ke awal yang hadir dengan wajah penuh keramahan.
Dengan menjaga terwujudnya pola keberagamaan yang moderat, toleran, dan nirkekerasan, kehidupan umat Islam yang bersanding dengan pemeluk agama-agama lain di Indonesia, bisa menjadi teladan sekaligus model bagi pembangunan perdamaian di berbagai negara Muslim lainnya.
Editor: Dhima Wahyu Sejati