Review

Moderasi Indonesia (2) Moderasi Keagamaan Haedar Nashir dan Yusuf al-Qaradhawi

6 Mins read

Apa yang ditawarkan Haedar  Nashir dalam pidato pengukuhan guru besarnya, tidak hanya Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan. Akan tetapi model moderasi keagamaan juga mendapat perhatian, bahkan bisa dikatakan bidang keagamaan inilah yang menjadi starting point Haedar untuk masuk pada urgensi gagasan moderasinya karena melihat salah kaprahnya pemahaman radikalisme agama yang berkembang di masyarakat. 

Haedar menawarkan gagasan moderasi keagamaan dengan mula-mula melihat karakteristik masyarakat Indonesia paling mendasar, yaitu masyarakat yang bertuhan dan beragama. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat relijius. Dalam bahasa Haedar “agama telah menyatu serta menjadi urat-nadi dan jantung dalam kehidupan masyarakat atau bangsa Indonesia”. Konsekuensinya, menurut Haedar, “siapa yang menjauhkan agama dari kehidupan bangsa Indonesia sama dengan mengingkari jatidiri keindonesiaan. Akan menjadi sesuatu yang radikal dalam arti ekstrem manakala agama dan umat beragama dinisbikan, dipinggirkan, dan dianggap sebagai sumber masalah dalam kehidupan keindonesiaan”. 

***

Dalam konteks Islam Indonesia secara khusus, Haedar sangat optimis bahwa umat Islam Indonesia jauh lebih mudah untuk bergerak ke arah moderasi karena “watak dan ruang sosiologis dari masyarakat dan umat Islam di Kepulauan ini yang potensial moderat”. Haedar memberikan gambaran Muhammadiyah dan NU sebagai dua kekuatan besar moderat Islam di Indonesia. Menurutnya, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini selama ini telah mengawal moderasi Islam dengan sangat baik. Bahkan, lanjut Haedar, “Muhammadiyah paling konsisten menyuarakan moderasi dalam menghadapi radikalisasi atau radikalisme serta melakukan kritik terhadap deradikalisasi”. 

Hanya saja, Haedar tidak menjelaskan lebih lanjut tentang bagaimana menjadi Islam yang moderat secara lebih rinci. Hal ini wajar dan dapat dimaklumi, karena sesungguhnya pidato pengukuhan guru besarnya ini merupakan satu refleksi yang sifatnya sosiologis alih-alih normatif. Karena itulah menurut penulis, gagasan moderasi keagamaan Haedar ini akan lebih sempurna manakala kita padukan dengan gagasan moderasi yang sifatnya lebih praktis-normatif. Dalam hal inilah gagasan moderasi keagamaan dari seorang sarjana Muslim kenamaan asal Mesir, Yusuf al-Qaradhawi patut untuk dipertimbangkan.

Moderasi Keagamaan Yusuf al-Qaradhawi

Gagasan moderasi keagamaan (baca: Islam) al-Qaradhawi ini sesungguhnya berangkat dari titik poin yang mirip dengan apa yang telah dijelaskan Haedar, yaitu adanya kecenderungan radikalisme, baik kanan maupun kiri. Dua radikalisme tersebut dijelaskan secara rinci oleh al-Qaradhawi dalam bukunya Dirasah fi Fiqh Maqashid al-Syariah baina al-Maqashid al-Kulliyyah wa al-Nushush al-Juz’iyyah (Kairo: Dar al-Syuruq, 2008). 

Dalam istilah al-Qaradhawi keduanya disebut sebagai al-mu’aththilah al-judud(neo-liberalisme) dan al-zhahiriyyah al-judud(neo-literalisme). Dua kecenderungan radikalisme yang menutupi ruh Islam ini menurut al-Qaradhawi berangkat dari pemahaman teks keagamaan yang sama-sama radikal; yang satu terjebak pada liberalisme, sementara yang lain terkungkung dalam literalisme. Karena itulah untuk melakukan moderasi pada dua kecenderungan radikal tersebut, al-Qaradhawi menawarkan metode pemahaman teks keagamaan yang moderat, dan kelompok yang mengimplementasikan metode tersebut ia sebut sebagai al-madrasahal-wasathiyyah (mazhab moderat). 

Baca Juga  Maradona, Bola, dan Agama

Metode Pemahaman Teks Keagamaan Wasatiah 

Al-madrasah al-wasathiyyahmenurut Yusuf al-Qaradhawi memiliki karakteristik dan prinsip. Ada enam karakteristik yang melekat pada mazhab moderat ini. Karakteristik pertama, adalah meyakini adanya hikmah di balik syariat serta kandungannya untuk kemaslahatan makhluk (al-iman bihikmati al-syari’ah wa tadhammuniha li mashalih al-khalq). Syariah Islam yang diturunkan oleh Allah memiliki tujuan yang mulia, yaitu mewujudkan kemaslahatan dan memberi manfaat bagi makhluk. Tidak mungkin ada syariat yang justru membahayakan atau menyusahkan makhluk. Tugas utama mujtahid pada gilirannya adalah menggali dan menemukan hikmah syariah yang terkandung atau tersembunyi di balik teks keagaman. 

Karakteristik yang kedua, ialah selalu menginterkoneksikan antara satu nash/hukum dengan nash/hukum yang lainnya (komprehensif) (rabth al-nushush al-syari’ah wa ahkamiha ba’dhuha bi ba’dhin). Seseorang yang ingin memahami syariah Islam dengan baik, menurut al-Qaradhawi, harus mengetahui hakikat dan kedudukan syariah sebelumnya. Di antara yang penting untuk dipahami adalah bahwa syariah itu adalah suatu bangunan yang terintegrasi dan komprehensif, tidak parsial dan terpecah-pecah. Karena itu, al-Qaradhawi memberi saran jika perlu kita bisa sedikit mengabaikan klasifikasi yang telah dibuat oleh para ulama klasik dan kontemporer tentang syariah yang dibagi secara rigidmenjadi ibadah, muamalah, jinayah, dakwah, politik, jihad, dan lain sebagainya. Semua itu sesungguhnya saling berkaitan satu sama lain – dan tidak bisa diceraiberaikan secara kaku.

Karakteristik ketiga, adalah bersikap moderat (pertengahan) pada setiap perkara agama dan dunia (al-nazhrah al-mu’tadilah li kulli umur al-din wa al-dunya). Umat yang moderat adalah yang mampu bersikap seimbang antara agama dan dunia, antara ibadah, akidah dan muamalah, antara urusan manusia dengan urusan alam semesta, antara perkara individu dengan urusan kelompok, dan seterusnya. 

***

Karakterisitk keempat, adalah selalu mengkorelasikan nash-nash agama dengan realita-realita yang kongkrit dan kontemporer (washlu al-nushush biwaqi’ al-hayah wa waqi’ al-‘ashr). Syariah Islam tidak muncul dan hidup di menara gading, yang tidak menyentuh realitas kehidupan manusia. Syariah diturunkan Allah bukan untuk abai pada kemusykilan dan lupa pada hajat hidup manusia. Sebaliknya, syariah justru hidup bersama manusia, berinteraksi langsung dengan hajat setiap individu, keluarga, dan genrekelompok yang lebih besar. Adalah kewajiban setiap mujtahid untuk dapat menkorelasikan dan menggunakan wahyu agama untuk menyapa persoalan dan realita yang dihadapi manusia. 

Karakteristik yang kelima, ialah selalu mengedepankan yang termudah dan mengambil yang termudah (tabniy khath al-taisir wa al-akhdz bi al-aysar ‘ala al-nas). Ciri syariah adalah taisir(kemudahan). Mujtahid yang menggali produk hukum dari nash-nash keagamaan sudah seharusnya mengambil kemungkinan pendapat yang paling mudah. Pun bagi umat secara umum, jika mendapati dua pendapat atau lebih yang sama-sama valid dan kuat, maka ambillah yang termudah. 

Baca Juga  Bagaimana Masa Depan Kaum Muda Muslim di Indonesia?

Terakhir, karakteristik yang keenam adalah, memiliki sifat keterbukaan (inklusifisme), bersedia dialog, dan toleran dengan agama lain atau kelompok yang berbeda pendapat (al-infitah ‘ala al-‘alam wa al-hiwar wa al-tasamuh). Syariah Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Sebagai demikian, pemeluknya harus bersifat terbuka, bersedia dialog secara konstruktif, dan tentu juga harus toleran pada kelompok yang berbeda pendapat juga kepada agama lain yang memiliki keyakinan berbeda. Untuk mewujudkan syariah Islam yang penuh rahmat, umat Islam harus menerima dan meyakini eksistensi ukhuwah basyariyyah yang harus diletakkan sebagai dasar di atas batas-batas yang ada.

Lima Prinsip Madzhab Moderat

Di samping enam karakteristik tersebut, al-madrasah al-wasathiyyah (mazhab moderat) menurut Yusuf al-Qaradhawi juga memiliki lima prinsip atau metode dalam memahami teks keagamaan. Prinsip pertama, adalah mencari tujuan nash/maksud nash sebelum mengeluarkan pendapat atau menetapkan suatu hukum (al-bahts ‘an maqshad al-nash qabla ishdar al-hukm). Menggali tujuan dari perintah atau larangan yang ditetapkan dalam teks keagamaan adalah hal niscaya bagi seorang mujtahid. 

Adalah suatu kemustahilan ketika suatu perintah atau larangan, apalagi itu datangnya dari Allah dan Rasulullah, tidak memiliki maksud atau tujuan tertentu. Hal tersebut tidak akan bisa dilakukan kecuali setelah melakukan analisis dan refleksi mendalam terhadap nash-nash yang ada. Beberapa contoh disebutkan oleh al-Qaradhawi untuk menggambarkan bagaimana suatu teks keagamaan perlu digali maqasid-nya. Salah satunya adalah hadis-hadis tentang perintah memelihara jenggot.

Prinsip kedua, adalah memahami nash sesuai dengan konteks dan sebab turunnya (asbab al-nuzul / asbab al-wurud) (fahm al-nash fi dhau’i asbabihi wa mulabasatihi). Pembacaan teks keagamaan di bawah naungan konteks dan latar belakang turunnya adalah suatu keharusan dalam rangka memahami maksud syariah. Pembacaan semacam ini bertujuan untuk mengetahui apakah suatu teks keagaman tersebut memiliki motif tertentu atau tidak. Karena terkadang suatu ketentuan hukum itu ada yang berlaku selamanya, namun ada kalanya berlaku temporer sesuai dengan ada atau tidak adanya ‘illat(kausa hukum/ratio legis). Kasus yang dapat dijadikan contoh dalam konteks prinsip kedua ini adalah larangan bagi perempuan yang pergi tanpa mahram. 

***

Prinsip ketiga, adalah membedakan antara maqashid(tujuan-tujuan) yang bersifat tetap (konstan) dengan metode/sarana/cara yang bersifat fleksibel (berubah-ubah) (al-tamyiz baina al-maqashid al-tsabitah wa al-wasa’il al-mutaghayyarah). Kualifikasi penting yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid adalah mampu membedakan mana yang menjadi tujuan dan mana yang merupakan cara atau metode untuk mencapai tujuan tersebut. Kegagalan dalam melihat dan membedakan kedua hal tersebut akan berakibat pada jatuhnya pemahaman ke dalam salah satu kutub radikal seperti dijelaskan di muka. Contoh yang sangat relevan untuk menggambarkan prinsip ketiga ini adalah hadis-hadis tentang perintah rukyat hilal untuk menentukan awal bulan.

Baca Juga  Risalah Kemanusiaan dan Ilmu Islam: Sebuah Resensi

Prinsip keempat, ialah seimbang antara wilayah yang tsawabit(tetap dan tidak bisa diijtihadi) dan mutaghayyar(berubah-ubah dan bisa diijtihadi) (al-mula’amah baina al-tsawabit wa al-mutaghayyarat). Untuk dapat dikategorikan sebagai al-madrasah al-wasathiyyah, mujtahid atau umat Islam harus mampu menyelaraskan mana yang wilayah tsawabit, tetap, tidak bisa berubah dan tidak ada ruang ijtihad di dalamnya dengan ranah yang sifatnya mutaghayyar, dapat berubah, fleksibel dan terdapat ruang ijtihad baginya. 

***

Dalam pandangan al-Qaradhawi, ada enam yang termasuk dalam wilayah tsawabit: (1) akidah dasar [al-‘aqa’id al-asasiyyah], yaitu iman kepada Allah, malaikat, kitab, Rasul, hari akhir, dan qadha-qadhar; (2) rukun Islam [arkan al-Islam al-‘amaliyyah]; (3) pokok-pokok akhlak [ummahat al-fadha’il al-akhlaqiyyah], seperti keadilan, kejujuran, amanah, dan lain sebagainya; (4) hal-hal haram eksplisit (al-zhahirah) yang bersifat qath’i [ummahat al-muharramat al-qath’iyyah al-zhahirah], seperti zina, minum khamar, dan lain-lain; (5) hal-hal haram implisit (al-bathinah) yang bersifat qath’i, seperti somobong, hasad, riya, dan lain-lain; dan (6) pokok-pokok hukum syariah yang qath’i tentang makan-minum, berpakaian-berhiasa, jual-beli, nikah, talak, waris, wasiat, dan lain sebagainya. Selain enam hal ini, menurut al-Qaradhawi sifatnya dapat berubah, fleksibel, dan masuk dalam kategori al-mutaghayyarat

Prinsip kelima, adalah membedakan antara makna ibadah dan muamalah (al-tamyiz fi al-iltifat ila al-ma’ani baina al-‘ibadat wa al-mu’amalat). Kualifikasi lain yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mujtahid atau umat Islam adalah membedakan mana yang termasuk ranah ibadah dan mana yang merupakan wilayah muamalah. Kemampuan dalam membedakan dua hal ini akan menghasilkan keharmonian dalam beragama. Selain itu, pemahaman yang mendalam akan dua hal tersebut akan mengantarkan seseorang pada penggunaan akal secara proporsional. Tidak akan jatuh pada radikalisme kanan, maupun kiri. Sebagai contoh, ketika seseorang paham mana ranah ibadah dan mana muamalah, ia tidak akan mempertanyakan mengapa dalam berwudhu anggota yang harus disucikan adalah wajah, tangan, kepala, dan kaki – dan bukan yang lain. 

Penutup

Moderasi adalah karakteristik utama bangsa Indonesia dan agama Islam. Dalam konteks keindonesiaan, radikalisme yang telah salah kaprah dipahami oleh sebagian besar masyarakat, mengakibatkan persoalan serius. Haedar Nashir sebagai seorang yang pakar dalam bidang sosiologi dan memiliki faham kebangsaan yang mendalam mendudukkannya dalam ruang moderasi secara proporsional. Gagasan Moderasi Indonesia dan Keindonesian yang ia tawarkan menarik ke tengah segala macam bentuk radikalisme, baik dalam ranah politik, sosial, ekonomi, bahkan agama. Khusus dalam bidang agama, gagasan moderasinya tampak lebih sempurna ketika dipadupadankan dengan gagasan moderasi Yusuf al-Qaradhawi, yang lebih bersifat praktis-normatif.   

Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *