Pengantar
Awal tahun 2000, beberapa jam dalam dua hari saya pernah secara fisik dekat dengan almarhum Syekh Wahbah az-Zuhaili, salah satu mufasir terkemuka. Resminya melalui Dr. HM. Amin Abdullah saya menerima SK tugas untuk menjadi moderator ceramah Syekh az Zuhaili. Sebelum itu, saya bertugas menjemputnya dari Bandara Adi Sucipto dan mengantarkannya ke hotel, menemaninya makan malam menjemputnya dari hotel untuk diantarkan ke Ruangan Rektor yang sudah penuh dengan para pejabat teras IAIN Sunan Kalijaga utamanya Pak Rektor Dr. HM. Atho Mudzhar.
Ceramah yang Memukau
Saat itu, Syekh az Zuhaili menyampaikan ceramah berjudul asy Syariah al Islamiyah Bainas ats Tsawabit wal Mutaghayyirat disampaikan az-Zuhaili dengan sukses. Kesuksesan itu ditandai dengan banyaknya hadirin yang bertanya kepada az-Zuhaili termasuk Pak Rektor sendiri. Ceramah pun diakhiri dengan hamdalah dan tepuk tangan yang meriah. Kemudian Pak Rektor menjamu Syekh az-Zuhaili makan siang dengan menu yang istimewa. Sembari makan siang itu, diskusi Pak Rektor dengan az-Zuhaili dilanjutkan. Mereka berdua mengkritisi pemikiran yang berkembang di dunia Islam utamanya Hasan Hanafi dan Muhammad Syahrur. Kemudian setelah makan siang, saya mendampingi Syekh az-Zuhaili untuk kembali ke hotel.
Setelah shalat dzuhur saya dipanggil Syekh az-Zuhaili, dengan santun dan rendah hati beliau berkata, “Saudara Abdul Wahid, saya berencana istirahat, tapi jika ada pertanyaan yang perlu disampaikan silahkan utarakan saja”.
Lebih Sulit Menulis Fikih daripada Tafsir
Saat itulah, saya bertanya tentang dua kitabnya yang membawa namanya tersohor di lingkungan intelektual Muslim Dunia. ‘Ustaz, menurut antum dari dua kitab al Fiqh al Islami dan Tafsir al Munir, mana yang lebih istimewa’? Syekh az-Zuhaili menjawab: sembari membuka jawaban, beliau dengan senyum berkata, “buat saya keduanya istimewa. Tetapi menulis tafsir lebih mudah, karena saya sudah dapat polanya dari al Fiqh al Islami. Al Fiqh berat ditulis karena itu buku pertama saya yang ditulis dengan berjilid. Kedua, saya harus membuat kalimat yang utuh dalam perspektif perbandingan mazhab berdasar kitab-kitab fikih yang melimpah itu. Untungnya saya masih mengingat di luar ke kalimat-kalimat penting yang akan dijadikan rujukan”. Al Munir saya tulis lebih cepat karena kitab rujukan yang gunakan tidak sebanyak al Fiqh al Islami.
Membaca Potensi Konferensi Mufassir Muhammadiyah
Keterangan Syekh az-Zuhaili di atas menukik pada satu poin. Menjadi mufassir tidak bisa mendadak. Sebab dugaan saya sebagian besar peserta Konferensi Mufasir Muhammadiyah ini tidak punya latar belakang keilmuan tafsir. Umumnya, para peserta berhusnuzhan bisa menulis tafsir karena sudah meraih jabatan fungsional guru besar, sudah menulis sekian buku dan seterusnya.
Padahal, hasil tulisan tafsir para mufasir dadakan itu akan diformat dalam pola Tafsir al-Tanwir. Hal itu menjadi pekerjaan tidak mudah buat para mufassir dan para penyunting yang boleh jadi akan menambah pekerjaan menjadi penggunting.
Pengalaman menjadi pembahas, saya menemukan seorang guru besar tafsir dengan puluhan buku terkait topik kontemporer yang kewalahan merespon catatan para pembahas. Nampaknya kebiasaan yang bersangkutan menulis topik-topik tafsir secara individual membuatnya kesulitan untuk memformatnya untuk model at-Tanwir.
Catatan Akhir
Menyelesaikan Tafsir at-Tanwir lengkap tiga puluh juz pada usia Majelis Tarjih yang keseratus adalah niatan mulia yang ambisius dan prestisius, karena itu wajib didukung. Tapi yang wajib diingatkan adalah kemungkinan bahan keilmuan menafsir yang dikuasai mufasir itu dalam tingkat yang sangat beragam. Ini menyebabkan pekerjaan ikutan Konferensi Mufasir itu perlu ditangani khusus, yang karenanya menghajatkan sejenis task force atau gugus tugas tersendiri.
Jika tidak, alih-alih deregulasi penulisan Tafsir at-Tanwir itu mempercepat penyelesaian tiga puluh juz, yang terjadi malah menambah waktu karena menumpuknya persoalan ikutan konferensi. Selamat bekerja dan sukses.
Editor: Soleh