Perspektif

Mendadak Jadi Mufasir

2 Mins read

Pengantar

Awal tahun 2000, beberapa jam dalam dua hari saya pernah secara fisik dekat dengan almarhum Syekh Wahbah az-Zuhaili, salah satu mufasir terkemuka. Resminya melalui Dr. HM. Amin Abdullah saya menerima SK tugas untuk menjadi moderator ceramah Syekh az Zuhaili. Sebelum itu, saya bertugas menjemputnya dari Bandara Adi Sucipto dan mengantarkannya ke hotel, menemaninya makan malam menjemputnya dari hotel untuk diantarkan ke Ruangan Rektor yang sudah penuh dengan para pejabat teras IAIN Sunan Kalijaga utamanya Pak Rektor Dr. HM. Atho Mudzhar.

Ceramah yang Memukau

Saat itu, Syekh az Zuhaili menyampaikan ceramah berjudul asy Syariah al Islamiyah Bainas ats Tsawabit wal Mutaghayyirat disampaikan az-Zuhaili dengan sukses. Kesuksesan itu ditandai dengan banyaknya hadirin yang bertanya kepada az-Zuhaili termasuk Pak Rektor sendiri. Ceramah pun diakhiri dengan hamdalah dan tepuk tangan yang meriah. Kemudian Pak Rektor menjamu Syekh az-Zuhaili makan siang dengan menu yang istimewa. Sembari makan siang itu, diskusi Pak Rektor dengan az-Zuhaili dilanjutkan. Mereka berdua mengkritisi pemikiran yang berkembang di dunia Islam utamanya Hasan Hanafi dan Muhammad Syahrur. Kemudian setelah makan siang, saya mendampingi Syekh az-Zuhaili untuk kembali ke hotel.

Setelah shalat dzuhur saya dipanggil Syekh az-Zuhaili, dengan santun dan rendah hati beliau berkata, “Saudara Abdul Wahid, saya berencana istirahat, tapi jika ada pertanyaan yang perlu disampaikan silahkan utarakan saja”.

Lebih Sulit Menulis Fikih daripada Tafsir

Saat itulah, saya bertanya tentang dua kitabnya yang membawa namanya tersohor di lingkungan intelektual Muslim Dunia. ‘Ustaz, menurut antum dari dua kitab al Fiqh al Islami dan Tafsir al Munir, mana yang lebih istimewa’? Syekh az-Zuhaili menjawab: sembari membuka jawaban, beliau dengan senyum berkata, “buat saya keduanya istimewa. Tetapi menulis tafsir lebih mudah, karena saya sudah dapat polanya dari al Fiqh al Islami. Al Fiqh berat ditulis karena itu buku pertama saya yang ditulis dengan berjilid. Kedua, saya harus membuat kalimat yang utuh dalam perspektif perbandingan mazhab berdasar kitab-kitab fikih yang melimpah itu. Untungnya saya masih mengingat di luar ke kalimat-kalimat penting yang akan dijadikan rujukan”. Al Munir saya tulis lebih cepat karena kitab rujukan yang gunakan tidak sebanyak al Fiqh al Islami.

Baca Juga  Khalifah fil Ardl, Khalifatur Rasul, dan Khalifatullah: antara Dua Titik Ekstrem

Membaca Potensi Konferensi Mufassir Muhammadiyah

Keterangan Syekh az-Zuhaili di atas menukik pada satu poin. Menjadi mufassir tidak bisa mendadak. Sebab dugaan saya sebagian besar peserta Konferensi Mufasir Muhammadiyah ini tidak punya latar belakang keilmuan tafsir. Umumnya, para peserta berhusnuzhan bisa menulis tafsir karena sudah meraih jabatan fungsional guru besar, sudah menulis sekian buku dan seterusnya.

Padahal, hasil tulisan tafsir para mufasir dadakan itu akan diformat dalam pola Tafsir al-Tanwir. Hal itu menjadi pekerjaan tidak mudah buat para mufassir dan para penyunting yang boleh jadi akan menambah pekerjaan menjadi penggunting.

Pengalaman menjadi pembahas, saya menemukan seorang guru besar tafsir dengan puluhan buku terkait topik kontemporer yang kewalahan merespon catatan para pembahas. Nampaknya kebiasaan yang bersangkutan menulis topik-topik tafsir secara individual membuatnya kesulitan untuk memformatnya untuk model at-Tanwir.

Catatan Akhir

Menyelesaikan Tafsir at-Tanwir lengkap tiga puluh juz pada usia Majelis Tarjih yang keseratus adalah niatan mulia yang ambisius dan prestisius, karena itu wajib didukung. Tapi yang wajib diingatkan adalah kemungkinan bahan keilmuan menafsir yang dikuasai mufasir itu dalam tingkat yang sangat beragam. Ini menyebabkan pekerjaan ikutan Konferensi Mufasir itu perlu ditangani khusus, yang karenanya menghajatkan sejenis task force atau gugus tugas tersendiri.

Jika tidak, alih-alih deregulasi penulisan Tafsir at-Tanwir itu mempercepat penyelesaian tiga puluh juz, yang terjadi malah menambah waktu karena menumpuknya persoalan ikutan konferensi. Selamat bekerja dan sukses.

Editor: Soleh

Avatar
15 posts

About author
Alumni Angkatan Pertama Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut (1978-1984)
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds