Perspektif

Redefinisi Kepintaran di Era Disrupsi

4 Mins read

Dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), para teknokrat dengan basis akademisi masih mengisi jabatan posisi penting. Hal ini, salah satunya. bisa dilihat dengan kehadiran Boediono sebagai Wakil Presiden menemani SBY di periode kedua pemerintahannya.

Dengan kemampuannya sebagai seorang ekonom, Boediono dianggap mampu untuk mendampingi SBY membawa Indonesia menjadi lebih baik. Diangkatnya beliau ini sebenarnya mengindikasikan kecakapan di bidang tertentu. Basis akademik menjadi tolak ukur yang penting di tengah relasi kuasa antar partai politik yang rebutan jatah posisi strategis. Tentu menjadi bagian dari pamrih yang telah mendukung dalam kampanye maupun penguatan koalisi partai politik.

Namun, Jokowi memiliki cara pandang yang berbeda dengan SBY. Dengan latar belakang sebagai pedagang, ia memiliki semacam kekaguman kepada pedagang lain yang bisa menghasilkan uang dengan cepat sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan. Dipilihnya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam periode kedua ini mengindikasikan hal tersebut. Memang, harus diakui, latar belakang pendidikan dan profesi serta kecenderungan politik, harus dilihat dalam konteks ini. Namun, cara Jokowi memilih Nadiem sebenarnya memiliki irisan dengan struktur sosial dan ekonomi yang berubah seiring dengan kehadiran teknologi digital.

Definisi Kepintaran

Dalam konteks ini, penjelasan Amien Mudzakir (2020) mengenai kepintaran dan bagaimana cara negara melalui pemerintahannya melihat menjadi penting didiskusikan lebih detail. Menurutnya, kehadiran teknologi media membuat orang kemudian mendefinisikan ulang apa yang disebut dengan kepintaran. Di sini, spirit zaman sangat melekat dalam mendefinisikan apa yang disebut dengan pintar.

Orang bisa disebut pintar bukan karena ia benar-benar pintar, melainkan adanya struktur sosial yang memungkinkan menempatkannya sebagai orang pintar. Dalam masyarakat pra-modern, di mana kemampuan magis bisa menyembuhkan orang membuat dukun-dukun bisa dianggap sebagai orang pintar. Saat mengalami persoalan, baik keuangan ataupun sakit, tidak sedikit anggota masyarakat akan pergi ke orang pintar ini. Dengan ramuan ajaib dan doa, seketika orang yang datang itu akan sembuh. Meskipun harus diakui, sugesti dalam diri mengapa orang ingin sembuh dan juga interaksi dari orang pintar itu memiliki pertautan kuat membangun semacam sensivitas penyembuh.

Baca Juga  Anomali Wajah Politik-Agama

Tumbuhnya teknologi cetak dan menguatnya profesi dalam bidang tertentu di tengah pertumbuhan pembangunan yang digerakkan oleh rezim Orde Baru secara despotik di bawah Soeharto membuat definisi kepintaran sebelumnya mengalami perubahan di mata masyarakat. Di sini, media cetak yang berbasis majalah dan koran dengan kehadiran kolom opini sekaligus juga kehadiran penerbit yang mewariskan imajinasi kebangsaan sebelumnya di era proses kemerdekaan kemudian menjadi oase masyarakat untuk melihat diri mereka dan negara secara lebih jernih dan baik.

Orang-orang yang menulis kolom di media seperti Kompas dan Tempo serta menerbitkan buku-buku kemudian dianggap sebagai orang pintar. Kepintaran berasal dari dua profesi, mereka sebagai intelektual publik. Termasuk di dalamnya adalah wartawan dan intelektual publik dan akademisi yang berada di kampus-kampus Indonesia. Tulisan-tulisan mereka yang kritis tidak hanya mencerahkan bagi para pembaca, melainkan juga membikin gerah kekuasaan. Mengakibatkan majalah Tempo dan Detik pada tahun 1994 kemudian mengalami pembredelan.

Redefinisi

Pertumbuhan internet melalui surat elektronik dan milis terkait dengan tindakan korupsi yang dilakukan oleh rezim Soeharto di luar negeri memang menjadi amunisi melalui selebaran informasi untuk menjatuhkan rezim Orde Baru pada tahun 1998 melalui gerakan mahasiswa. Namun, akses informasi melalui media cetak masih menjadi saluran utama masyarakat Indonesia mengetahui apa yang terjadi di Indonesia dan dunia di tengah massifnya pertumbuhan televisi swasta di Indonesia sejak tahun 1990-an.

Namun, medium kolom sebagai eskpresi demokrasi dan kebebasan berpendapat masih menjadi ruang sejumlah intelektual publik dan akademisi Indonesia. Orang disebut dengan pintar kemudian apabila ia telah menulis opini di halaman 6 harian Kompas. Bahkan, melalui karir kepenulisan dengan aktif menulis di halaman tersebut memungkinkan seseorang untuk masuk ke dalam istana presiden, karena dianggap sebagai orang pintar yang wajib didengarkan oleh pemerintah Indonesia. Apalagi, halaman 6 tersebut kemudian menjadi semacam suara harus didengarkan oleh setiap periode pemerintahan yang berkuasa pasca rezim Orde Baru.

Baca Juga  Perlukah Ustadz Pengajian Diboikot Karena Perbedaan Pendapat?

Namun, tumbuhnya platform digital melalui media sosial dan situs semacam blog kemudian menggeser struktur sosial atas akses informasi yang dikonsumsi oleh masyarakat. Kehadiran media cetak semakin tergusur. Kehadiran media baru memunculkan agensi-agensi yang tumbuh di luar otoritas lama sebelumnya melalui media sosial. Legitimasi dan otoritas itu muncul dari seberapa banyak pengikut yang dimilikinya dan seberapa provokatif orang itu mengeluarkan pendapatnya.

Agensi ini yang disebut dengan penggaung (buzzers) dengan pengikut (followers) di atas ratusan ribu. Struktur sosial ini berdampak terhadap tergerusnya legitimasi intelektual publik dan akademisi. Namun, karena penggaung ini hanya sekadar memainkan dan menggiring opini publik, mereka hanya digunakan dan dibayar dalam momentum politik tertentu.

Fosil Peradaban

Pembaruan teknologi digital melalui revolusi 4.0 dengan kehadiran digital ekonomi, artificial intellegence, big data, dan robotic melahirkan fenomena inovasi disrupsi, salah satunya adalah kemunculan para start-up melalui produknya dalam cangkang Apple Appstore dan Google Play Store. Para star-up inilah yang menghadirkan pendapatan ekonomi yang menjanjikan melalui perusahaan digital yang mereka buat. Dalam struktur sosial semacam inilah kemudian Jokowi mengangkat anak-anak muda milenial sebagai Staf Khusus Presiden.

Stafsus milenial dan Mendikbud Nadiem Makarim dianggap sebagai figur orang-orang pintar yang dianggap dapat membawa Indonesia menjadi lebih baik ke arah masa depan. Alih-alih dari keluarga yang tumbuh dari kebanyakan masyarakat Indonesia, mereka memiliki perusahaan digital ini dari keluarga kelas menengah atas. Mereka sudah memiliki modal uang yang cukup dalam memulai pertarungan di era disrupsi teknologi ini untuk menguasai basis ekonomi di tengah struktur sosial yang berubah.

Kehadiran anak-anak muda ini tentu saja menggusur orang-orang yang dianggap pintar sebelumnya dan merambah akumulasi kapital yang lebih kuat dari sebelumnya. Sementara itu, mereka yang tidak dikategorikan pintar lagi di tengah spirit zaman semacam ini, masih terus meyakini jalan-jalan kebenaran melalui menulis buku, jurnal internasional, hadir dalam forum-forum diskusi, dan melakukan advokasi atas nama pembelaan mereka yang terpinggirkan.

Baca Juga  Kuliah Umum UIN Salatiga Bahas “Moderasi Beragama di Era Artificial Intelligence (AI)”

Mereka masih bersaing secara keras untuk mendapatkan keran kucuran ekonomi yang semakin kecil untuk bertahan hidup atas dunia yang diyakini dapat menyelamatkan keluarga, komunitas, dan masyarakatnya di tengah industri kapitalisme digital yang telah menganggapnya sebagai fosil peradaban.

Editor: Nabhan

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds