Tidak ada kaum muslimin yang tidak pernah mendengar nama ‘Imam Nawawi’. Bagaimana tidak? Rasanya tidak ada satu rumah kaum muslimin pun yang tidak memiliki kitab yang ditulisnya, ‘RidyâdhusShâlihîn’, sebagai kitab pegangan keluarga muslim untuk panduan seputar etika sehari-hari.
Kitab hadis ‘al-`Arbain’-nya, sudah dihafal oleh tidak terhitung banyaknya pelajar muslim selama berabad-abad.
Imam Nawawi
Yahya bin Syaraf bin Hasan al-Nawawi, lahir pada tahun 631 H di kota Nawa, Suriah. Pada tahun 649 H beliau pindah ke Damaskus. Beliau ‘mondok’ di Madrasah al-Rawahiyah untuk melanjutkan perjalanan keilmuannya setelah sebelumnya menyelesaikan hafalan al-Quran. (al-Bidâyah wa al-Nihâyah 17/540 & Tadzkiratu’l Huffâzh 4/1470).
Sisa hidup selanjutnya, sampai beliau wafat pada usia 45 tahun (676 H ), adalah kisah-kisah soal militansi belajar, produktifitas karya dan heroisme membela kebenaran.
Bisa dibilang, karya-karya Imam Nawawi adalah masterpiece atau adikarya dalam berbagai bidang keilmuan. Dalam bidang hadis, beliau menulis Syarah Shahih Muslim yang terkenal. Perlu diketahui, men-syarah kitab hadis tidak hanya soal memaknai maksud kata atau kalimat dari sebuah teks hadis kemudian menyimpulkan hukum dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Lebih dari itu, khusus Shahih Muslim misalnya, memahami Mukadimah-nya saja sudah menuntut kematangan dalam berbagai cabang ilmu mustolah hadis. Karena melalui Mukadimah tersebut, Imam Muslim (261 H) memaparkan kaidah-kaidah periwayatan hadis yang nanti menjadi bibit ilmu mustolah hadis. Ini jauh sebelum al-Ramahurmuzi (360 H) menulis ‘Al-Muhaddits al-Fâshil’ yang dianggap sebagai kitab ilmu mustolah hadis pertama.
Mensyarah sahih muslim berarti memecahkan persolan yang terdapat dalam sanadnya, mengurai kerumitan bahasa matannya, sampai mendiskusikan perbedaan para ulama dalam menyimpulkan hukum dari hadisnya.
Imam Nawawi sebelum membuka syarahnya menyebutkan sanad beliau sendiri yang belajar sampai khatam dan meriwayatkan Shahih Muslim dari guru beliau, Syekh Abu Ishaq Ibrahim bin Umar al-Wasithi dari para guru beliau bersambung kepada Imam Muslim. Sanad ini memiliki dua keunikan: Pertama, sanad ini terdiri dari ulama daerah Nishapur, bersambung kepada Imam Muslim yang juga berasal dari Nishapur juga. Kedua, para ulama tersebut dikenal panjang umurnya (di atas 100 tahun). (Syarah Muqaddimah Shahih Muslim 1/6-7).
Karya-karya
Selain karya syarah hadis, Imam Nawawi juga punya karya dalam bidang ilmu mustolah hadis yaitu ‘Al-Taqrîb wa al-Taysîr’, sebuah ringkasan dari karya beliau sendiri ‘Irsyâd Thullâbi’l Haqâ’iq’ yang merupakan ringkasan dari ‘Muqaddimah’ karya Ibnu al-Shalah (643 H), kitab induk dari berbagai kitab ilmu mustolah hadis yang ditulis setelahnya.
Kitab ‘Al-Taqrîb’ ini nantinya akan disyarah oleh Jalaluddin al-Suyuthi (911 H). Masih digunakan sampai saat ini sebagai buku ajar ilmu mustolah hadis di berbagai universitas di dunia Islam. Termasuk Universitas al-Azhar, Mesir.
Sementara dalam bidang fikih, Imam Nawawi dikenal sebagai salah satu tokoh yang memainkan peran sentral dalam perkembangan madzhab Syafi`i. Hal ini dilakukan melalui proyek ‘Tanqîhu’l Madzhab’ menyempurnakan pekerjaan Imam Rafi`i (623 H).
Proyek ini adalah proyek seleksi terhadap berbagai pendapat fuqaha Syafi`iyah yang mengembangkan ilmu fikih menurut ushul dan kaidah-kaidah istinbath/penyimpulan hukum dari Imam Syafi`i. Mengingat semakin tersebarnya ulama syafi`iyah ke berbagai wilayah Islam beserta produktifitas karya fikih mereka, maka sudah menjadi keniscayaan untuk menyeleksi pendapat mana saja yang lahir dan sesuai dengan kaidah istinbath hukum yang dulu digariskan oleh Imam Syafi`i. (Al-Madkhal ilâ Madzhabi’l Imâm al-Syâfi`i hal. 355)
Hasil dari proyek ‘al-Tanqîh’ tersebut kemudian dituangkan melalui dua buku; 1) Kitab ‘Raudhat al-Thâlibîn’ yang merupakan ringkasan dari kitab ‘(Fath) al-`Azîz’ karya Imam Rafi`i. 2) Kitab ‘Minhâj al-Thâlibîn’ yang merupakan ringkasan dari kitab ‘al-Muharrar’ karya Imam Rafi`i. (Al-Fawâ’id al-Makkiyyah hal. 120).
Selain itu, Imam Nawawi juga menulis berbagai kitab fikih lain seperti ensiklopedi fikih berjudul ‘al-Majmû`’ yang merupakan syarah dari ‘al-Muhadzdzab’ karya al-Syirazi. Hanya saja, Imam Nawawi meninggal terlebih dahulu ketika penulisannya baru sampai pembahasan riba.
Dalam bidang bahasa dan biografi, Imam Nawawi menulis ‘Tahdzîbu’l Asmâ’ wa al-Lughât’. Dalam bidang akhlak menulis ‘Bustânu’l `Arifîn’. Dalam bidang ilmu al-Quran menulis ‘Al-Tibyân’ dan berbagai karya lainnya yang menunjukkan produktifitas Imam Nawawi.
Kepribadian Imam Nawawi
Tajuddin al-Subki (771 H) melalui ‘al-Thabaqât’-nya (8/395) menyanjung Imam Nawawi sebagai seorang al-`Allamah (sangat alim), Muhyiddin, Syaikhul Islam dan berbagai sifat positif lainnya. Termasuk soal kezuhudan, qanaah, pengikut salaf ahlus sunnah wal jamaah, sabar dalam ketaatan, mengoptimalkan waktu untuk ketaatan, ensiklopedis dan sebagainya.
Imam Nawawi dikenal sebagai ulama yang sangat wara’ (menjauhi syubhat karena takut terjatuh kepada yang haram). Hal ini sampai ditunjukkan oleh sikap tidak mau makan buah-buah yang tumbuh dari tanah Damaskus, karena takut tercampur harta wakaf.
Beliau tidak pernah makan dari gajinya sepeserpun selama menjabat sebagai rektor Universitas Hadis al-Asyrafiyyah. Selain itu hampir tidak pernah mau menerima pemberian orang lain. Kehidupan sehari-harinya ditopang oleh kiriman dari usaha pertanian yang dikelola oleh ayahnya.
Imam Nawawi terkenal sebagai ulama yang tidak gentar ber-amar ma’ruf nahi munkar kepada para penguasa dalam pembelaan terhadap rakyat sampai soal pelanggaran ajaran agama. Sampai Zhahir Baybars, salah seorang Sultan Mamalik pun mengaku gentar terhadap beliau (Tadzkiratu’l Huffâzh 4/1473).
Perjalanan Keilmuan
Ibnu al-Athar, murid al-Nawawi, meriwayatkan sendiri cerita bagaimana gurunya dulu belajar:
“Saya (al-Nawawi), setiap hari belajar 12 jam pelajaran (Imam Nawawi hanya menyebutkan 11-pen); dua jam pertama belajar kitab ‘al-Wasîth’ (kitab fikih karya Imam Ghazali-pen), kemudian masing-masing satu jam pelajaran belajar ‘al-Muhadzdzab’ (kitab fikih karya Imam Syirazi), al-Jam`u baina al-Shahîhain (hadis), Shahih Muslim (hadis), al-Luma` karya Ibnu Jinni (ilmu kaidah bahasa Arab), Ishlâhu’l Mantiq (ilmu bahasa), ilmu sharf, ilmu usul fikih, biografi rawi hadis dan terakhir, ilmu ushuluddin/akidah”.
Kesemua itu, tidak hanya dilakukan dengan duduk-dengar di hadapan ulama. Al-Dzahabi (748 H) menukil dari Ibnu al-Athar bahwa cara belajar al-Nawawi adalah:
أنه كان يقرأ كل يوم اثني عشر درسًا على مشايخه شرحًا وتصحيحًا
Artinya: “Beliau belajar kepada para guru beliau baik dengan mendengarkan penjelasan mereka maupun menyetorkan hasil garapan/pemahaman beliau kepada mereka”.
Belum ditambah belajar mandiri yang al-Nawawi tekuni sendiri:
وكنت أعلق جميع ما يتعلق بها من شرح مشكل ووضوح عبارة وضبط لغة وبارك الله تعالى في وقتي
Artinya: “Saya memberikan komentar kepada setiap hal yang berkait dengan pelajaran-pelajaran tersebut. Baik berupa penjelasan terhadap sesuatu yang masih musykil, penjelasan paparan dan pendalaman/koreksi kebahasaan. Allah pun Memberkahi waktu saya”.
Maka al-Nawawi muda adalah pelajar militan yang mandiri dan aktif. Coba bayangkan, misalnya setiap jam pelajaran membutuhkan waktu 1×60 menit. Apabila misalnya dimulai setelah subuh, misalnya jam 6.00 pagi. Al-Nawawi baru menyelesaikan semua sesi berguru pada pukul 18.00 atau jam 19.00 malam (mempertimbangkan perpindahan dari satu tempat belajar ke tempat belajar yang lain dan melaksanakan salat). Itupun kalau dilakukan hampir non-stop! Bahkan masih harus ditambah dengan belajar mandiri!
Umat Islam dan Pandemi
Ketika al-Nawawi berusia 25 tahun (656 H) sebenarnya dunia Islam sedang terkena ‘pandemi’, yaitu gempuran cucu-cucu Genghis Khan dari Mongolia yang waktu itu sedang semangat-semangatnya mewabahi dunia dengan kehancuran untuk perluasan wilayah. Baghdad, yang terkenal kejayaan dan kemegahannya sebagai ibukota kekhilafahan umat Islam waktu itu pun runtuh. Berbanding terbalik dengan meningginya gunungan tubuh manusia yang harus menjadi tumbalnya.
Lebih menyeramkan lagi, empat tahun sebelumnya (652 H) muncul api di dataran Hijaz. Api yang menerangi punuk-punuk unta di Bashrah (Irak) inilah dan dianggap sebagai salah satu tanda kiamat. Setidaknya, demikian yang diceritakan Ibnu Katsir dan sejarawan lainnya (al-Bidâyah wa al-Nihâyah 17/328).
Maka siapapun yang hidup pada masa itu, rasanya layak untuk menduga bahwa ‘ini kiamat’ dan ‘ini merupakan akhir zaman’.
Bagaimana dengan Imam Nawawi?
Respon Imam Nawawi (yang berdomisili di Damaskus) melihat fenomena akhir zaman di depan mata pun tidak dengan ketakutan atau secara spartan datang ke Baghdad melawan tentara Mongol. Imam Nawawi sadar betul bahwa beliau adalah seorang ilmuwan/ulama. Maka pengorbanannya untuk agama ini disalurkan lewat jalur keilmuan.
Gerakan keilmuan yang menjadi pilihan Imam Nawawi pun tidak dilakukan dengan membuka kajian-kajian ‘akhir zaman’ yang isinya lebih banyak jauh dari spirit kemajuan. Sebaliknya, Imam Nawawi justru secara militan mengambil garapan proyek berat Tanqîhu’l Madzhab, mensyarah hadis, mengajar dan mengkader ulama serta berbagai proyek intelektual lainnya yang ternyata manfaatnya masih lestari hingga sekarang.
Maka etos Imam Nawawi akan selalu menjadi pilihan ideal kita, bahkan di tengah pandemi sekalipun. Tentang mengedepankan sikap produktif sebagai seorang muslim dalam peran apapun di kehidupan kita.
Editor: Nabhan