Genderang pemilu 2024 belum dimulai. Tetapi riuh dan gemuruh partai politik sudah terasa. Kemunculan nama pasangan calon presiden Anies Baswedan menambah suhu politik menjelang 2024 makin menguat.
Ada banyak harapan dititipkan di pundak para elit dan calon pemimpin bangsa kita untuk tidak lagi membawa politik identitas. Namun demikian, kita bisa melihat hawa dan tensi politik yang tinggi membuat beberapa kelompok saling membentur-benturkan politik identitas.
Umat Islam sebagai umat terbesar di dunia sekali lagi hanya akan menjadi bulan-bulanan partai politik dan kepentingan politik sesaat bila tidak cerdas. Sifat politik tidaklah sama dengan sifat dakwah.
Dakwah itu memelihara dan menjaga Islam, tetapi politik tidak selalu demikian. Umat Islam memang harus cerdas berpolitik, tetapi tidak selalu dengan jalan politik praktis. Apakah politik praktis diharamkan? Tentu tidak.
Prinsip-prinsip dakwah yang cerdas, moderat, dan high politic sudah sering diwacanakan dan dipraktikkan di organisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah memilih jalan politik yang moderat, tidak partisan dan tidak condong pada satu partai politik tertentu. Pilihan dan kedewasaan Muhammadiyah sudah ditempa oleh zaman dan sejarah.
Kiai Dahlan sendiri pernah dibujuk oleh Kiai Haji Agus Salim untuk masuk ke dalam politik praktis dan mendirikan partai. Tapi dijawab dengan elegan oleh Kiai Ahmad Dahlan bahwa Muhammadiyah memilih jalan dakwah keumatan.
Penolakan Kiai Dahlan tidak memutus hubungan Kiai Dahlan untuk berhubungan dengan para pejuang yang terjun di bidang politik. Kiai Dahlan tetap berhubungan, berkomunikasi, dan juga menjaga interaksi dengan para tokoh politik.
Kisah Kiai Dahlan yang menaklukkan Haji Fachrodin layak disuguhkan kepada publik. Kiai Dahlan dengan dakwahnya yang mencerahkan, elegan serta tanpa mencela membuat kita mahfum bahwa Kiai tidak anti politik. Kiai menyuguhkan lapangan dakwah yang lebih luas dan visi yang panjang. Haji Fachrodin yang kala itu beraliran kiri dan menjadi komunis akhirnya bisa ditaklukkan menjadi penggerak di Muhammadiyah.
Ngeli Ning Ora Keli
Orang Jawa mengenal peribahasa Ngeli Ning Ora Keli yang dimaknai “Hidup itu seperti mengikuti aliran air, mengikuti arus tapi tidak terseret arus atau hanyut”. Dalam berorganisasi, berdakwah, Muhammadiyah pun memiliki dan mengamalkan konsep ini.
Muhammadiyah harus bisa mengikuti arus zaman yang dinamis dan maju. Namun Muhammadiyah juga tidak hanyut dengan arus zaman yang populer, permukaan, dan nir substansi.
Prinsip Muhammadiyah yang luwes, lentur, tetapi tidak lembek ini dipraktikkan juga saat Muhammadiyah berurusan dengan politik. Pak AR Fachrudin memberikan contoh kepada warga Muhammadiyah dan umat Islam di Indonesia bagaimana menyikapi politik praktis.
Relasi Pak AR dan Istana
Pak AR tidak anti terhadap Istana atau pemerintah. Justru Pak AR juga sangat konsisten menjaga prinsip dan jarak dekat dengan Istana saat harus menentukan sikap yang jelas antara dakwah dan politik praktis.
Pada tahun 1971, ketika itu datang Pak Sujono AJ, Walikota Yogyakarta. Beliau mengatakan bahwa ditugasi langsung dari Istana untuk meminta Pak AR agar menjadi anggota DPR.
Karena pada waktu itu Pak AR baru saja menjadi ketua PP Muhammadiyah, tawaran itu ditolaknya dengan halus. Alasan Pak AR kalau tawaran itu diterima, nanti bisa menimbulkan yang bukan-bukan (Zailani, 2021).
Penolakan Pak AR itu juga dikisahkan oleh anak Pak AR, Pak Sukriyanto AR yang menulis Biografi Pak AR.
“Tolong sampaikan kepada pemerintah terima kasih atas maksud baiknya yang akan memberi kehormatan agar saya menjadi anggota DPR RI. Tetapi karena saya baru saja ditetapkan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, maka sampaikan permohonan maaf kepada beliau-beliau, bahwa saya tidak bersedia. Saya ingin menekuni dulu tugas yang diamanatkan Muhammadiyah kepada saya.” (AR, Sukriyanto, 2021).
Pasca penolakan Pak AR, Muhammadiyah tetap berada posisi yang elegan dan anggun. Dengan penolakan itu, Muhammadiyah justru menjadi organisasi yang elegan dan tidak haus kuasa. Sikap Pak AR sendiri menunjukkan konsistensi dari pengejawantahan cara berpolitik ala Muhammadiyah.
Dalam periode kepemimpinan Pak Harto, hubungan Pak AR dengan Pak Harto tidak merenggang tetapi semakin dekat. Kedekatan Pak AR didasari bahwa Muhammadiyah dari awal bukanlah organisasi yang anti pemerintah, tetapi bukan berarti tidak boleh kritis terhadap pemerintah.
Pak AR mengenali Pak Harto lebih dekat dengan mempelajari apa bacaan, sifat dan karakter Pak Harto. Ini penting agar Pak AR bisa luwes dan lentur saat dakwah dan mengingatkan pemimpinnya saat itu.
Pak AR juga sering diundang di istana untuk diajak rapat dan nongkrong membahas aneka persoalan bangsa. Hubungan Pak AR dengan Pak Harto ini digambarkan oleh Pak Tarmezi Taher.
“Soeharto mempunyai dua sahabat yang sangat membuatnya terkesan, yakni Kiai As’ad dan Pak AR. Kapan saja keduanya hendak bertemu, langsung diterimanya. Tanggal 4 Februari lalu, Soeharto cerita kepada saya, pribadi Pak AR sangat sederhana. Cara bicaranya dan tawadu’nya.” (AR, Sukriyanto, 2017:73).
Cara Pak AR memahami betul bagaimana prinsip Jawa yang berbunyi digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake (memiliki kesaktian tanpa ilmu, menyerang tanpa bala pasukan, dan menang tanpa merendahkan). Pak AR selalu memakai bahasa krama inggil kepada Pak Harto, sehingga Pak Harto terkesan akan kerendahhatian dan ketawadu’an Pak AR.
Sikap Pak AR yang tawadu’, rendah hati, dan juga konsistensinya ini yang membuat Muhammadiyah tetap cantik meski keluar masuk Istana. Pak AR menampilkan sosok Kiai umat yang zuhud seperti digambarkan oleh Cak Nun.
“Allah mencerminkan diri pada nama orang tua terkasih kita ini, pada perilakunya yang amat bersahaja, pada cinta kasih sosialnya yang meluber, pada kepemimpinannya yang sepuh, pada pilihan zuhudnya, pada kesegaran penuturannya yang penuh ketulusan.”
Pak AR telah memberi teladan kita bahwa dakwah itu memang harus mengakar ke akar rumput, tetapi juga menghujam ke jantung kekuasaan, Istana. Jangan sampai kita hanya meneladani Pak AR hanya pada jualan bensin eceran, tetapi lupa pada sikap ketegasan, keluwesan dan high politic-nya yang tinggi saat memimpin Muhammadiyah.
Editor: Yusuf