“Serukanlah ke jalan Tuhanmu (berdakwah) dengan bijak, nasehat yang baik dan berdebatlah dengan mereka, dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih tahu tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya. Allah SWT Maha Mengetahui atas orang-orang mendapatkan petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125).
Ayat di atas memuat sebuah pesan agung, yaitu pentingnya berdakwah dengan cara-cara yang bijak. Dakwah yang merupakan medium untuk mengajak umat pada kebajikan harus memegang pedoman garis-garis yang sejalan dengan kebaikan.
Menurut Imam Al-Qurthubi dalam kitab “Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran”, ayat di atas diturunkan di Mekah atau sebelum Nabi melakukan hijrah ke Madinah, yaitu pada saat terjadi gencatan senjata dengan orang-orang Quraisy. Pada saat itu, Allah SWT menurunkan firman-Nya agar Nabi mengajak orang-orang Quraisy ke jalan-Nya dengan cara yang lemah-lembut tanpa pertumpahan darah dan kekerasan.
Dakwah merupakan misi yang mulia, karena ia menjadi jembatan untuk menciptakan keseimbangan dalam hidup. Maka dari itu, dakwah menempati posisi yang sangat strategis dalam kehidupan ini. Islam berkembang menjadi agama yang mondial, yaitu agama yang mendunia. Hal ini tidak lain karena misi dakwah dilakukan secara persuasif, dari masa ke masa, dari satu tempat ke tempat yang lain.
Pertama, Berdakwah dengan Hikmah (bil-Hikmah)
Hal pertama yang harus diperhatikan dalam berdakwah adalah mengutamakan berdakwah dengan hikmah. Dakwah sebagai cara untuk memahami ajaran Allah SWT yang Maha Luas dan Maha Kaya membutuhkan hikmah.
Para ulama berpandangan, bahwa yang dimaksud dengan al-hikmah adalah dalil-dalil yang digunakan untuk menjelaskan tentang kebenaran Kitab Suci dan menghilangkan keraguan. Imam Az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya Al-Kasysyaf menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan al-hikmah yaitu pendapat yang arif dan menggunakan dalil yang kuat.
Imam Ar-Razi dalam “Mafâtîh Al-Ghayb” juga berpandangan, bahwa hikmah menjadi penting dalam berdakwah karena dua alasan penting, yaitu dalam rangka meneguhkan pemahaman kepada hati para pendengar serta untuk mendebat dan mengalahkan pendapat lawan. Dalam hal ini, hikmah berfungsi sebagai dalil atau bukti yang dapat membentuk keyakinan terhadap suatu hal.
Dalam hal ini, dakwah pada hakikatnya merupakan peran yang semestinya dilakukan oleh mereka yang mempunyai ilmu yang mendalam. Dakwah meniscayakan pemahaman yang luas terhadap khazanah keislaman sekaligus penalaran untuk menguatkan esensi agama. Hal tersebut makin diperkuat, bahwa para ulama terdahulu yang berdakwah, pada umumnya mempunyai karya-karya spektakuler di bidangnya masing-masing. Hampir tidak ada ulama yang tidak mempunyai karya ilmiah.
Berdakwah dengan bermodalkan ilmu dan hikmah, maka peradaban Islam menjadi salah satu peradaban Islam yang adiluhung. Kekuatan Islam ditandai dengan pemikiran-pemikiran kreatif untuk menjawab kemusykilan-kemusykilan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, umat Islam membutuhkan peradaban akal budi untuk dapat melahirkan pemikiran-pemikiran yang membangun peradaban ilmu.
Kedua, Berdakwah dengan Nasehat yang Santun (bi al-maw’idzah al-hasanah)
Bila yang pertama menekankan aspek akal budi dan argumentasi yang kuat, maka pada tahap selanjutnya terletak pada metode penyampaian dalam berdakwah. Hal ini juga perlu digarisbawahi, karena pemikiran yang argumentatif, tapi tidak disampaikan dengan cara yang santun dan elegan, maka akan menimbulkan dampak negatif.
Imam Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-maw’idzah al-hasanah adalah menyampaikan nasehat atau pesan dengan tujuan memberikan manfaat kepada mereka. Dalam hal ini tidak bisa dimungkiri, bahwa dakwah tidak bertujuan untuk memprovokasi umat agar melakukan tindakan-tindakan yang tidak sejalan dengan misi agama. Dakwah bertujuan menciptakan kemaslahatan, terutama dalam hal mengajak umat pada kebaikan, maka metode yang santun amat mutlak diperlukan.
Rasulullah SAW sendiri tatkala berdakwah juga memperhatikan aspek ini. Metode dakwah di Mekah, berbeda dengan metode dakwah di Madinah. Di Mekah beliau berdakwah secara sembunyi-sembunyi, sedangkan di Madinah berdakwah secara terang-terangan.
Begitu pula, materi dakwah yang disampaikan di Mekah adalah materi dakwah yang bersifat universal. Tetapi pada periode terakhir di Madinah, beliau menyampaikan tentang Syariat Islam. Allah berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan bahasa yang digunakan oleh umatnya agar ia dapat menyampaikannya kepada mereka secara terang-menderang.” (QS. Ibrahim: 4).
Rasulullah SAW juga dikenal sebagai nabi yang senantiasa berdakwah dengan mengedepankan kesantunan, sehingga umat-umat lain pun terkagum-kagum atas kesantunannya dalam berdakwah. Beliau berdakwah dengan tindakan dan sikap yang dapat menimbulkan simpati dan empati orang lain. Bahkan, dalam berdakwah, beliau sesekali menggunakan anekdot untuk mencairkan suasana.
Berdakwah dengan cara-cara yang santun dan elegan akan memberikan pelajaran dan keteladanan yang berharga, bahwa ajaran Islam sesungguhnya ajaran yang menyejukkan, yang mengedepankan toleransi.
Ketiga, Debat yang Membangun (wa jâdilhum bi allatî hiya ahsan)
Tradisi debat merupakan tradisi yang hidup sejak awal Islam. Perdebatan merupakan fenomena sosiologis, terutama dalam ranah yang majemuk. Tidak hanya itu, perdebatan di internal Islam sendiri merupakan pemandangan yang pada zamannya telah mengantarkan umat Islam pada singgasana peradaban dunia yang amat membanggakan. Hingga saat ini, peradaban Islam dikenal sebagai peradaban yang sangat kaya, karena warisannya begitu nyata dan memberikan manfaat pada alam semesta.
Perdebatan antara Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, sebagaimana tertuang dalam kitabnya “Tahâfut Al-Falâsifah dan Tahâfut Al-Tahâfut”, telah memberikan sumbangsih yang sangat penting dalam kebangkitan pencerahan di Eropa. Begitu karya besar Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, Al-Qânûn fi At-Thibb, juga telah memberikan manfaat bagi fakultas kedokteran di penjuru Eropa. Semua itu adalah hasil dari tradisi debat ilmiah di kalangan Muslim.
Berbeda dengan dakwah, debat merupakan domain yang rentan pada perpecahan. Apalagi debat teologis dan ideologis, yang didasari pada klaim kebenaran. Pada perdebatan seperti itu, pada umumnya berakhir pada sikap yang berhadap-hadapan. Artinya, titik temu seringkali menjadi barang yang mahal. Dalam debat amat sulit untuk dicapai kata mufakat. Karena itu, dalam rangka menghindari dampak yang sama sekali tidak diinginkan diperlukan sebuah upaya menghindari atau meminimalisir konflik.
***
Di sinilah, Al-Qur’an berpesan agar debat harus konstruktif, dengan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan yang terbaik. Ada pesan yang perlu diperhatikan baik-baik dalam ayat tersebut, bahwa dalam debat harus mempertimbangkan kebaikan. Debat jelas berbeda dengan dakwah. Oleh karena itu, dalam debat harus menggunakan cara-cara yang lebih elegan daripada dakwah.
Menurut Imam Ar-Razi, debat yang konstruktif amat diperlukan karena debat mempunyai karakter untuk menundukkan lawan debat. Debat identik dengan pertarungan dan pergulatan pemikiran yang ingin mempertahankan posisi masing-masing. Inilah perbedaan yang mencolok antara dakwah dan debat.
Atas dasar itu, Imam Az-Zamakhsyari memaknai debat yang kreatif dan inovatif yaitu memilih cara terbaik dalam debat, yang di antara cirinya identik dengan apresiasi terhadap pendapat orang lain, lemah-lembut dan tidak menggunakan kata-kata yang kasar dan tidak pantas, terutama kata-kata yang bisa memancing kemarahan.
***
Prinsip ini menjadi salah satu ajaran yang mestinya dihidupkan kembali. Tidak terkecuali debat dengan orang-orang non-Muslim. Justru Al-Qur’an menganjurkan agar umat Islam berdebat dengan orang-orang non-muslim. Tetapi tidak sembarang debat. Sebab debat yang direkomendasikan Allah adalah debat yang konstruktif. Allah berfirman:
“Janganlah kalian berdebat dengan Ahlul kitâb kecuali dengan cara yang terbaik.” (QS. Al-Ankabut: 46).
Di sinilah, keindahan dari ajaran Islam. Perbedaan pendapat dalam perdebatan merupakan sesuatu yang niscaya. Sikap yang bisa diambil dalam perdebatan yaitu mengakui perbedaan atau menerima pendapat orang lain sebagai kebaikan yang mungkin membawa kemaslahatan.
Pada akhirnya, yang terpenting dalam dakwah adalah sikap rendah hati untuk mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah SWT. Sebab hanya Dialah pemilik kebenaran yang absolut. Allah Maha Tahu atas jalan yang sesat dan jalan yang benar.
Editor: Saleh