Surakarta sudah sejak lama menjadi kota yang penting, baik secara ekonomi, sosial, agama atau politik. Paling tidak kita bisa mulai lacak ketika kedudukan Belanda. Pada masa kedudukan ini, wilayah Semarang-Solo (Vorstenlanden), menjadi bagian dari jalur perdaganan. Hasil bumi setidaknya harus melewati Vorstenlanden menuju palabuhan Semarang. Untuk mepermudah mengangkut hasil bumi, pemerintah Kolonial membangung jalur kereta api, terekam dalam buku Spoor Masa Kolonial: Dinamika Sosial Ekonomi Masyarakat Varstenlanden 1864-1930 (2013).
Kegiatan ekonomi hanya dijalankan oleh investor dan pemerintah kolonial. Keterpusatan ini kemudian memunculkan konflik antara ploretar (kaum romo) dan borjuis sebagai pemilik modal. Konflik ini juga mempengaruhi dinamika politik. Hal ini juga disampaikan oleh Prof. Syamsul Bakri dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta pada Selasa (28/09/2021) lalu. Pidato berjudul Pergerakan di Jantung Voertenlanden (Sejarah Sosial Masyarakat Surakarta Era Kolonial) ini mengungkap dinamika sejarah Surakarta, termasuk dinamika keagamaan kala itu.
Dinamika Politik
Prof. Syamsul Bakri menjelaskan abad 20 sebagai babak baru bagi masyarakat bumiputra, sekaligus menjadi tantangan berat karena menghadapi kapitalisme modern.
“Awal abad ke-20 adalah zaman baru yang disebut sebagai zaman pergerakan. Istilah pergerakan ini meliputi segala macam aksi-aksi yang dilakukan oleh bumiputra menuju perbaikan hidup untuk bangsa Indonesia. Pergerakan terjadi karena masyarakat bumiputra merasakan ketidakpuasan atas kondisi keterjajahan, baik oleh imperialisme tua (zaman Oost Indische Compagnie) maupun imperialisme baru yaitu sesudahnya timbulnya kapitalisme modern pada perempat pertama abad ke-19 M.”
Kapitalisme modern mewujud pada dominiasi investor asing dan pemerintah kolonial dalam sektor ekonomi. Para pedagang pribumi yang juga bersaing dengan pedangan Tionghoa, mendirikan perkumpulan, “pedagang batik Surakarta, Samanhoedi (1868-1956), untuk mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) sebagai sebuah koperasi atau perkumpulan pedagang batik pribumi yang bersaing dengan pedagang keturunan Tionghoa. Pada tahun 1912 SDI berubah namanya menjadi Sarekat Islam,” tulis Prof. Syamsul.
Sarekat Islam di Surakarta
Serakat Dagang Islam (SDI) yang didirikan di Surakarta ini di kemudian hari berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI). Dengan Tjokrominoto berperan sebagai motornya, SI kemudain menjadi organisasi poltik paling populer kertika itu. “Organisasi ini memiliki peran yang sangat vital dalam kebangkitan kaum pribumi. Tujuan didirikannya SI bukan hanya supaya kaum pribumi menjadi muslim yang taat, tetapi juga agar kaum bumiputra derajatnya terangkat”
SI bahkan bisa mendapat dukungan dari semua kalangan bumiputra, hal ini menurut Prof. Syamsul karena memiliki basis keagamaan dan kerakyatan yang kuat, “maka tidak mengherankan jika kemudian SI diikuti oleh rakyat dari berbagai elemen, kaum saudagar, buruh, kaum ulama, jurnalis dan aktivis pergerakan,” imbuhnya.
Namun SI akhirnya mengalami gejolak dari dalam. Sebagai organisasi yang menampung banyak kalangan, bahkan lintas ideologi, juga seiring masuknya paham Marxis-Leninis ke Hindai Belanda, membuat SI turut terpolarisasi. Nasihin dalam Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945 (2012) merekam polarisasi itu terjadi pada tahun 1921, ketika kongers Si beralangsung setelah sempat gagal.
Kongres berlangsung alot, masing-masing pihak saling mepertahankan ideologi pergerakan. Darsono dan kawan-kawan, sebagai perwakilan dari Si Semarang mepertahankan Komunisme. Di lain pihak, tokoh sentral SI seperti Tjokroaminoto dan Agus Salim tetap menginginkan Islam sebagai dasar organisasi dan ideologi guna mencapai cita kemerdekaan Indonesia.
Dari kongres itu, mucul istilah SI Merah dan SI Putih. SI Merah yang dimotori Darsono dan Semaun, menganggap Islam Politik terlalu lembek terhadap penindasan dan perjuangan kaum romo, para bumiputra yang miskin. Mereka punya keyakinan melalui paham Komunisme, perjuangan menjadi lebih kongkret ke arah pembebasan terhadap Kolonialisme Belanda.
Komunisme Islam
Prof. Syamsul Bakri dalam bukunya Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1942 mengambarkan gejolak yang sama di Surakarta. Muncul tokoh seperti Haji Misbach yang memiiki paham Komunisme Islam. Jauh sebelum kongres SI 1921, Haji Misbach sudah lebih dulu mendirikan Medan Moeslimin,
“Dalam kondisi kemunduran SI, pada tahun 1915 muncul aktifitas sosial, politik, ekonomi dan pendidikan yang dimotori oleh para pedagang batik dan guru ngaji di Surakarta. Dalam konteks inilah Misbach dan Hisamzaijnie menerbitkan majalah Medan Moeslimin,” tulis Prof. Syamsul dalam naskah pidato guru besar.
Bersama dua media lain seperti, Islam Bergerak dan Ra’jat Bergerak, Medan Moeslimin menjadi penopang gerakan Komunisme Islam di Surakarta. “Ketiga surat kabar ini menjadi media informasi dan propaganda kaum komunis putihan di Surakarta. Islam bergerak dan Ra’jat Bergerak lebih banyak menyuguhkan berita tentang kejadian-kejadian di dunia pergerakan, sedangkan Medan Moeslimin, sejak tahun 1923, lebih banyak didominasi tulisan artikel-artikel tentang Islam, kondisi Hindia, dan komunisme. Media-media massa tersebut mampu mengusik ketenangan Surakarta dan menjadikannya bergerak secara dinamis,” tulis Prof. Syamsul (hl. 303).
“Puncak kobaran api pergerakan di Surakarta terjadi antara tahun 1918-1926. Tahun-tahun tersebut Surakarta menjadi kota paling bergerak di Indonesia,” imbuhnya.
Reporter: Dhima Wahyu Sejati
Editor: Yahya FR