Perspektif

Urgent, Inilah Etika Politik yang Diajarkan Al-Qur’an!

3 Mins read

Apakah di dalam Al-Qur’an ada konsep etika politik? Jawabannya; tidak ada, kalau yang dicari adalah denotasi semisal al-akhlaq as-siyasi atau sejenisnya. Tetapi kalau yang dicari adalah konsep yang kontekstual untuk diterapkan di ranah perpolitikan, dapat dijamin pasti ada. Al-Qur’an memuat banyak nilai-nilai universal, yang bisa dikontekstualisasikan sepanjang zaman. 

Tulisan ini hendak mendaras ajaran Al-Qur’an 5:58 tentang etika politik yang ideal bagi umat manusia modern, tak terkecuali masyarakat Indonesia kontemporer.

Apa itu Etika Politik?

Sebelum masuk pada etika politik dalam Al-Qur’an, ada baiknya meninjau apa itu etika politik sesuai kedisiplinan modern. Menurut Thompson (2013), etika politik merujuk pada tindakan atau agen politik yang erat kaitannya dengan nilai moral (baik-buruk). Etika tersebut ada untuk penyelenggaraan politik yang harmonis di dalam masyarakat. Itu tujuan baik yang tidak mungkin ditentang Al-Qur’an.

Al-Qur’an mengajarkan cara hidup (tindakan) sekaligus cara menjadi lakon kehidupan (agen). Tidak hanya urusan akhirat, Al-Qur’an juga mengajarkan nilai untuk kehidupan dunia, termasuk dunia politik. Walaupun tidak secara eksplisit menyebut moral politik, Al-Qur’an menawarkan sepaket nilai yang berdimensi moral politik. 

Dalam An-Nisa: 58, setidaknya ada tiga konsep pokok, yaitu “amanah”, “ahli”, dan “adil” sebagai pondasi keharmonisan bagi kondisi perpolitikan. Sejauh sebuah masyarakat menginginkan kondisi politik yang baik dan stabil, tiga konsep etis ini tidak bisa ditawar lagi. Semuanya harus ada dalam kepaduan yang solid; diterapkan secara horizontal dan vertikal. Kondisi politik tidak akan stabil dan penderitaan masyarakat menjadi niscaya, ketika hilang saja satu konsep dari ketiganya.

Amanah: antara Rakyat dan (Calon) Pemimpin

Amanah (kepercayaan) adalah titipan. Dalam masyarakat demokrasi, rakyat adalah pemegang kekuasaan sedangkan pejabat yang memimpin hanyalah agen yang dititipi tugas untuk menyelesaikan masalah hidup rakyat. Logikanya, hubungan kepercayaan ini akan berhasil jika tidak ada hal yang bertolak belakang dengan kesepakatan rakyat dan penguasa.

Baca Juga  Hujan Itu Rahmat atau Sunnatullah?

Pemimpin mungkin mengkhianati rakyat, tetapi tidak sebaliknya. Rakyat hanya bisa mengkhianati diri mereka sendiri dengan sengaja mempercayakan kepemimpinan kepada pengkhianat. Misalnya, ini yang paling parah, menentukan pilihan kepada pemimpin yang mau menyuap amplop saat kampanye. Atau, memilih pemimpin asal-asalan bukan berdasar kompetensi, tapi berdasarkan hal primordial, seperti suku, ras, atau agama tertentu.

Yang dapat rakyat lakukan supaya mendapatkan pemimpin amanah ialah bersikap kritis dalam menjatuhkan pilihan di kotak suara. Parameter yang Allah berikan dalam Al-Qur’an sangat jelas; berikan amanat kepada yang berhak (ahlinya). 

Ahli: Pokoknya Ahli!

Ahli dapat berarti “memahami betul” dan “sungguh mahir”. Ia yang memahami betul masalah rakyat, yang sungguh mahir memerankan amanah politik, adalah pemimpin yang ahli. Cara mengetahui keahlian calon pemimpin paling mudah ialah menilik rekam jejaknya bukan kampanye politiknya.

Problem salah pilih pemimpin, dewasa ini, biang keladinya hampir-hampir hanya ada dua: kalau tidak politik uang (money politics) ya politik identitas (identity politics). Dua hal tersebut selalu dimainkan di masa kampanye.

Harga yang harus dibayar sangatlah mahal bila memilih pemimpin tanpa memerhatikan keahlian yang dimilikinya. Misalnya berdasarkan amplop kampanye. Jabatan dari hasil menyuap pemilih, besar kemungkinan akan dimanfaatkan untuk menerima suap di kemudian hari. Kalau pejabat membuat kebijakan berdasarkan siapa yang menyuap, hasil kebijakannya hanya akan menguntungkan pihak segelintir, tidak akan menciptakan keadilan.

Mementingkan hal primordial dibanding rekam jejak dan integritas calon pemimpin juga merupakan hal problematis. Pada dasarnya, identitas yang universal, seperti nasionalisme, lebih penting daripada identitas partikular seperti suku, agama, dan ras. Jadi, apabila keahlian hanya dimiliki oleh satu orang di antara beberapa calon, maka sesuai parameter yang diberikan Al-Qur’an, satu orang itulah yang layak dipilih meskipun ia hanya berbagi identitas universal dengan para pemilih yang beragam identitas. 

Baca Juga  HUT RI ke-76: Rajut Kebhinekaan, Tinggalkan Pertikaian

Kewajiban memasrahkan amanah politik hanya kepada calon yang memiliki keahlian memimpin adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam hal ini tidak boleh sembarangan, harus kritis! Apalagi, akhir-akhir ini, kombinasi politik uang dan politik identitas seringkali dimainkan oleh para politisi yang hanya ingin menang pertarungan elektoral tetapi minim greget menyelesaikan masalah sosial. 

Adil: Melawan Status Quo

Tujuan adanya keadilan adalah terciptanya distribusi kekuasaan yang merata. Kekuasan (ekonomi atau politik) yang terpusat pada segelintir orang akan menghasilkan ketimpangan dan penderitaan bagi sebagian masyarakat. Bila pada sebuah masyarakat masih ada kasus kemiskinan dan kesulitan hidup, kebodohan, itu pertanda bahwa keadilan belum ditegakkan.

Muasal ketidakadilan adalah pemimpin yang tidak ahli membuat hukum dan kebijakan. Pemimpin yang zalim, di era modern, dipilih-dipelihara bahkan dijunjung sendiri oleh rakyat yang tidak kritis. Ketidakkritisan rakyat bisa berasal dari kebodohan sendiri, atau karena saking canggihnya penguasa merekayasa keadaan; seolah-olah tidak terjadi apa-apa padahal sistem sebenarnya tidaklah adil.

Sistem yang tidak adil, jika tidak dikritisi, akan menciptakan status quo yang akan selalu dipertahankan penguasa. Status quo tersebut biasanya memiliki ciri melanggengkan kemiskinan, penderitaan, dan kebodohan di dalam masyarakat; supaya kekuasaan tetap di tangan yang kaya, yang sejahtera dan yang pintar. Gak bahaya ta? Bahaya lah!

Etika Politik dalam Al-Qur’an

Etika politik dalam An-Nisa’ 58 setali tiga uang dengan etika politik dalam disiplin political science, hendak menciptakan tatanan politik yang harmonis. Tapi yang perlu digaris bawahi; etika politik An-Nisa:58 mensyaratkan nalar kritis. Nalar yang benar-benar amanah, ahli dan adil. Tidak mudah terlena oleh bujuk rayu politisi mulafid. Tidak gampang termakan politik uang dan politik identitas. Kritis terhadap penguasa yang hanya ingin melanggengkan status quo. 

Baca Juga  Lagu “Aisyiyah Istri Rasulullah” dan Tantangan Dakwah dalam Budaya Alay

Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

*Artikel ini dihasilkan berkat kerjasama antara IBTimes.ID & INFID

Editor: Yahya FR

Muhammad Ulil Abshor
2 posts

About author
Warga NU, Sarjana Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir | Mahasiswa S2 di Faculty of Islamic Studies, Universitas Islam Internasional Indonesia
Articles
Related posts
Perspektif

Serangan Iran ke Israel Bisa Menghapus Sentimen Sunni-Syiah

4 Mins read
Jelang penghujung tahun 2022 lalu, media dihebohkan dengan kasus kematian Mahsa Amini, gadis belia 22 tahun di Iran. Pro-Kontra muncul terkait aturan…
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *