Review

Menemani Minoritas: Paradigma Islam Membela Mustadh’afin

5 Mins read

Fenomena mengenai adanya konflik mayoritas dan minoritas memang menjadi sebuah ironi yang masih terjadi di negeri ini. Di tengah iklim demokrasi dengan asas Pancasila, masih ada kelompok yang menganggap golongannya yang berkuasa dan mendominasi. Akibatnya, ada beberapa kelompok masyarakat yang terdikotomi baik oleh kepentingan etnis maupun agama. Namun, perkara mayoritas dan minoritas bukanlah semata persoalan jumlah statistik di suatu daerah atau negara. Minoritas, menurut Ahmad Najib Burhani, yang merupakan tokoh muda Muhammadiyah dan peneliti senior LIPI, dalam konteks gerakan Muhammadiyah bisa diartikan sebagai kelompok yang tertindas atau kaum yang lemah (mustadh’afiin).

Dalam gelaran diskusi dan bedah buku Menemani Minoritas: Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan kepada yang Lemah karya Ahmad Najib Burhani yang digelar oleh Pusdikham UHAMKA, Kamis (14/2/2019), diskusi mengenai paradigma hingga praktik “menemani” minoritas itu dikupas. Peran untuk menemani minoritas—membela minoritas—sebenarnya, menurut Najib Burhani, sudah dilakukan sejak lama oleh Muhammadiyah. “Secara teologis, dalam muhammadiyah sudah dikenal istilah mustadh’afiin, kelompok yang lemah dan dilemahkan, orang tertindas,” katanya, Kamis (14/2/2019).

Bedah buku Menemani Minoritas dihadiri oleh lima orang pembedah, di antaranya Maneger Nasution (Direktur Pusdikham UHAMKA), Martin Lukito (Akademisi STT Jakarta), Siti Ruhaini Dzuhayatin (Staf Khusus Presiden, Mln H Abdul Basith (Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia), dan KH Husein Muhammad (Pengasuh Ponpes Darut Tauhid Cirebon). Kelima pembedah tersebut memberikan sudut pandang yang berbeda dalam memandang fenomena minoritas.

Mengapa Menemani Minoritas?

“Siapa minoritas? Kenapa harus menemani minoritas? Apa landasan teologis mesti melakukan itu? Mengapa melakukan pembelaan?” tanya Najib Burhani mengawali pemaparannya. Menemani, kata Najib, berbeda maknanya dengan membela, menemani artinya tidak ada pretensi dan arogansi, melainkan menjadi teman untuk berjuang bersama. Jadi, kata dia, kata membela itu ada yang mengatakan memiliki pretensi dan arogansi, seolah-olah kelompok minoritas itu tidak memiliki daya.

Najib juga berpendapat bahwa peneliti maupun profesi apa pun perlu terlibat dalam berbagai fenomena sosial. “Tidak boleh berhenti sebagai peneliti. Dia harus bergerak. Ini yang menggerakkan saya untuk menjadi peneliti yang meneliti dan menemani minoritas,” katanya.

Baca Juga  Benang Kusut Argumen Khilafah

Berkaitan dengan definisi minoritas, selama ini minoritas dipahami sebagai kelompok yang secara angka stratistik lebih rendah atau lebih sedikit jumlahnya dibandingkan penduduk yang lain. “Namun, bagi akademisi, minoritas adalah secara objektif menempati posisi yang tidak menguntungkan di dalam masyarakat,” kata Najib Burhani.

Maka, bisa kita pahami bahwa makna minoritas yaitu kelompok atau kaum yang lemah. Dalam terminologi Islam dikenal istilah dhuafa dan mustadh’afin. Seperti dikatakan KH Husein Muhammad dalam pemaparannya bahwa membela minoritas adalah misi profetik atau misi kenabian. Maka, setiap penganut ajaran Islam harus menjadi penyelamat dan penolong bagi kaum yang lemah atau mustadhafin untuk menjalankan misi tersebut.

Dalam Konteks Negara

Di dalam konsep bernegara seperti yang kita alami saat ini, fenomena diskriminasi dan pemarginalan terhadap kaum minoritas terus terjadi. Menurut Najib, dalam konteks negara mestinya dikotomi mayoritas dan minoritas dihilangkan. Penyebutan minoritas sebagai fenomena dan fakta sosial memang tak bisa dihindari, namun sebagai upaya agar tidak ada kelompok yang terpindahkan tempatnya karena penganiayaan, persekusi, dan sebagainya hal itu mesti dihilangkan.

Hal ini menurut Siti Ruhaini Dzuhayatin merupakan fenomena pergeseran dari etnoreligiusentrisme ke nation state. Masyarakat dengan pandangan etnoreligiusentrisme berbasis pada komunitas agama dan etnis, sehingga masyarakat terpolarisasi berdasarkan kelompok keyakinan dan etnis. Sementara dalam konsep nation state tidak ada penyebutan mayoritas dan minoritas. Sebab, hal itu secara langsung ataupun tidak akan berimplikasi pada hadirnya kelompok yang merasa unggul, merasa berkuasa, dan juga ada kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Sehingga menimbulkan diskriminasi sosial.

Sedangkan Martin Lukito berpendapat bahwa di dalam negara demokrasi harus ada kelompok mayoritas. Di sini, Martin mendefinisikan mayoritas sebagai pemegang kekuasaan dan minoritas sebagai masyarakat yang diatur oleh pemegang kekuasaan. Menurut Martin, dialog antara mayoritas dan minoritas itu amatlah penting. Hal itu untuk menciptakan harmonisasi dalam bernegara. Dia juga mengatakan bahwa dalam pemaknaan minoritas yang jamak di Indonesia, kelompok yang dikatakan minoritas harus menerapkan konsep “minoritas tahu diri”. Dia juga memberikan saran agar menjernihkan kembali PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penistaan Agama yang menurutnya masih bias.

Baca Juga  Bagaimana Al-Qur'an dan Filsafat Merespon Fenomena Bunuh Diri?

Peran Muhammadiyah 

Wakil Rektor UHAMKA Bunyamin dalam pidato pengantar menyampaikan, sebenarnya Muhammadiyah memiliki beberapa dokumen penting terkait dengan hidup berdampingan, bermasyarakat, dan bertetangga dengan sesama. Salah satunya, terdapat dalam Pedoman Hidup Islam Warga Muhammadyah (PHIWM). “Islam mengajarkan agar setiap Muslim menjalin persaudaraan antarsesama,” ujarnya.

Setiap warga Muhammadiyah, menurut Bunyamin, harus menunjukkan sikap Islami kepada siapa pun, termasuk kepada kelompok yang berbeda keyakinan. Bahkan, Islam mengajarkan penganutnya untuk berbuat baik dan bersikap adil terhadap orang lain, baik muslim maupun berbeda keyakinan. “Saya tegaskan, Muhammadiyah sebagai persyarikatan organisasi Islam terbesar di Indonesia, sudah cukup membingkai anggotanya dengan keputusan dan aturan agar warga Muhammadiyah untuk bersikap baik terhadap tetangga dengan tetap mengangkat akidah sebagai basis yang tidak tergoyahkan,” kata Bunyamin menutup pidatonya.

Dalam Alquran surah An-Nisa ayat 75 disebutkan bahwa “Dan mengapa kamu tidak meu berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang berdoa: ‘Ya Allah Tuhan kamu, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu’.”

Jika ditarik makna kaum yang lemah dalam ayat tersebut maka yang dilakukan adalah pembelaan terhadap minoritas secara politik (kekuasaan). Minoritas atau mustadhafin menjadi misi dakwah dan gerakan Islam. Muhammadiyah, kata Najib, sejak awal sudah melakukan itu semua, yakni mengentaskan kemiskinan dan menolong orang dari ketertindasan. Muhammadiyah juga menganjurkan kepada seluruh institusi untuk menjadi pelindung terhadap kelompok minoritas yang tertindas.

Senada, Martin Lukito juga mengakui bahwa perlunya ormas Islam mengembangkan teologi kemajemukan. Islam Bekemajuan (Muhammadiyah) dan Islam Nusantara (NU), kata Martin, merupakan konsep keislaman yang iklusif dan menerima kemajemukan. Sehingga bisa hidup berdampingan menemani kelompok minoritas. Muhammadiyah memiliki konsep ijtihad dalam gerakannya. Martin mengatakan, kecerahan ada pada ijtihad yang inklusif.

Baca Juga  Riset: Meluruskan Tafsir Al-Wala wal Bara’ untuk Pendidikan Islam Anti-Kekerasan

Maneger Nasution, direktur Pusdikham UHAMKA, juga menambahkan bahwa pentingnya menafsirkan agama secara progresif. Seperti apa yang dilakukan Kiai Dahlan yang begitu revolusioner menafsirkan surah al-Maun menjadi gerakan sosial, sekolah-sekolah, gerakan kesehatan, dan sebagainya. Hingga kini penafsiran progresif itu terus berlangsung. Sehingga ajaran agama selalu kontekstual dan mengikuti perkembangan zaman. Itulah karakteristik pola pikir berkemajuan.

Dalam menemani minoritas, Muhammadiyah memang sudah terbukti dengan memiliki amal usaha seperti kampus dan lembaga pendidikan di daerah-daerah minoritasa Muslim, seperti Bali dan Papua. Tentu saja hal tersebut menjadi fenomena menarik, bahkan kemudian memunculkan istilah “Kristen Muhammadiyah” di Indonesia Timur, di mana kampus-kampus dan amal usaha mayoritas diisi oleh penganut Kristen.

Nalar Moderat

Dalam rangka membangun hidup harmoni di dalam kehidupan masyarakat yang majemuk diperlukan aktivasi nalar moderat atau wasathiyah. KH Husein Muhammad mengatakan, yang harus kita kembangkan adalah nalar moderat. Pertama, nalar moderat adalah nalar yang memberi ruang bagi orang lain untuk berbeda pendapat. Kedua, nalar moderat menghargai keyakinan dan pandangan hidup. Ketiga, tidak mengabsolutkan kebenaran sendiri sambil menyalahkan pendapat orang lain. Keempat, tidak membenarkan kekerasan atas nama apa pun.

“Kelima nalar moderat menolak pemaknaan tunggal atas suatu teks, sebab setiap kalimat mengandung makna untuk ditafsirkan secara beragam. Keenam, nalar moderat selalu terbuka untuk kritik konstruktif. Dan terakhir, selalu mencari pandangan yang adil dan maslahat bagi kehidupan bersama,” ujarnya.

Hal itu, didasari pada pandangan bahwa pembebasan merupakan salah satu fungsi dari beragama. Misi agama, kata Husein, adalah pembebasan terhadap manusia dari berbagai penderitaan. Agama hadir sesungguhnya untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Maka itulah alasan mengapa Islam diturunkan sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Memperjuangkan kemanusiaan, kesetaraan hak asasi manusia, merupakan implementasi ajaran Islam. KH Husein menegaskan, kesetaraan adalah konsekuensi paling logis terhadap kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

5 posts

About author
Sekretaris DPP IMM 2018-2021 & Penulis Buku IMM Autentik
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds