Saya memulai tulisan ini dengan sebuah cerita. Alkisah, sebelum saya berangkat PhD, seorang teman baik bertanya mengapa saya tidak memilih kampus besar semacam Oxford, Harvard, MIT, ANU, dll. Bukankah kalau saya memilih kampus itu akan lebih mendapatkan “nama” – terutama jika saya mau mendaftar dosen?
Pertanyaannya menarik dan penting terutama karena saya belum memulai karier akademik. Bagi saya jawabannya sudah jelas: mungkin profil saya tidak cukup untuk masuk ke universitas mentereng itu. Tapi juga ada satu alasan lain yang saya utarakan. Kebetulan supervisor yang setuju dengan proposal riset saya ada di UQ, dan kampus ini memang agak menonjol dalam kajian teori dan analisis hubungan internasional beberapa tahun terakhir, terutama di Australia.
Lama kemudian, saya merasa bahwa pertanyaan seorang kawan ini menggambarkan satu hal yang saya yakin juga masih dirasakan hingga sekarang. Bahwa ada semacam “mitos” tentang “kampus besar”yang menancap di benak kita. Bukan hanya di Indonesia, sebetulnya mitos ini juga terpelihara dalam sekup yang lebih luas di dunia pendidikan tinggi di tingkat global.
Syahdan, Indonesia punya mitos ‘7 kampus besar’ – yang di awal abad ke-21 menjadi kelinci percobaan perubahan status perguruan tinggi menjadi badan hukum, yang jadi cara pemerintah mengurangi subsidi untuk pendidikan tinggi.
Amerika Serikat punya komunitas bernama Ivy League, Inggris punya Russell Group, dan Australia juga punya Group of 8. Sekarang, dengan skema pemeringkatan khas QS, ada istilah ‘100 universitas terbaik di dunia’ yang diacu kampus-kampus di Indonesia untuk ‘berkompetisi’ di tingkat global.
Hal-hal di atas adalah bagian dari apa yang akan saya sebut di tulisan ini sebagai ‘mitos kampus besar’, yang perlu dikritisi dan dilawan dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia hari ini.
Akar Sistemik
Mitos ini sebetulnya juga punya akar dalam sistem pendidikan Indonesia secara lebih luas. Di Indonesia, seleksi masuk perguruan tinggi (S1) dilakukan melalui sistem Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Untuk masuk ke perguruan tinggi yang kita kehendaki, kita diseleksi bukan dengan esai motivation statement mengapa kita tertarik dengan subjek yang ditawarkan atau mengapa kita mengambil kuliah, tetapi dengan soal pilihan berganda.
Memang tujuannya bagus, yaitu untuk menyaring mahasiswa secara kompetitif. Tetapi yang terjadi, ketika sudah masuk kuliah, adalah adanya hierarki dari tujuan yang diambil.
Sudah menjadi rahasia umum di SMA kalau yang ada di kelas IPA lebih berkualitas dari yang di IPS. Itupun nanti di fakultas ada hierarki yang lain. Misal kalau anak HI atau anak Komunikasi lebih pintar dari anak Ilmu Politik atau Pembangunan Sosial.
Kadang ada hal konyol, semacam: anaknya sebenarnya lebih suka analisis dan penalaran yang sifatnya sosial daripada matematis. Tetapi, orang tua si anak menyuruh tetap masuk IPA karena gengsi-gengsi semacam ini. Untunglah, dulu orang tua saya santai-santai saja ketika saya memutuskan masuk IPS secara sukarela.
Tapi, apakah yang input-nya ‘cerdas’ itu membuat si anak ‘menikmati’ dan ‘serius’ ketika belajar Hubungan Internasional, Kedokteran, dan lain sebagainya?
***
Terkadang, walau tentu tidak selalu, banyak yang ketika awal kuliah bingung mau belajar apa di perkuliahan. Biasanya, ini terjadi di semester awal. Tapi kadang juga terjadi hingga semester akhir ketika ternyata yang bersangkutan seperti ‘tidak berminat’ mempelajari bidang kajiannya dan merasa ‘salah pilih jurusan’.
Ini tentu tidak terhindarkan dan biasa-biasa saja, karena toh di mana-mana juga banyak yang mengambil kuliah S1 dua hingga tiga kali. Bahkan ada yang banting setir dari, misalnya, kajian Eksakta menjadi kajian Sosial.
Namun, tetap ada yang aneh ketika perkuliahan berjalan beberapa semester dan mahasiswa (mungkin saya juga termasuk yang begini karena lebih banyak aktif di organisasi ketimbang kuliah) kebingungan mereka sebenarnya sedang belajar apa dan mau menyiapkan karier apa ke depan.
Hal semacam ini wajar dan biasanya terjadi karena proses transisi antara SMA ke perkuliahan. Tapi ada beberapa hal aneh yang mengusik ketenangan saya: soal masuk kuliah karena prestise/gengsi, hierarki yang sebenarnya konyol dan tak perlu, atau mitos soal ‘kampus/jurusan/disiplin besar’ yang terus-menerus direproduksi dalam perguruan tinggi kita.
Hierarki Kampus
Hal ini bukannya luntur ketika memilih kuliah S2, tetapi juga terjadi dengan perlebaran ke luar negeri. Sudah sejak lama saya bercita-cita menjadi peneliti. Oleh sebab itu, saya sudah sejak lulus S1 memutuskan untuk mengambil Master dalam bidang kajian Teori Politik/Metode Riset Politik.
Saya sudah diterima di salah satu kampus yang notabene terkenal dengan kajian Pemilu, HAM, dan Teori Politik – sebelum saya sadar kalau Universitasnya tidak masuk list beasiswa tujuan (well, belakangan kampus ini akhirnya masuk dalam daftar).
Saya memang masih bisa mendaftar, dengan beberapa syarat tambahan seperti rekomendasi dari alumnus dan beberapa justifikasi. Saya sudah mendapatkan justifikasi, kecuali dari alumni program studi yang saya ambil. Saya akhirnya urung pergi ke sana dan memilih kampus lain yang, untungnya, sama-sama bagus.
Ketika kembali ke Indonesia, ‘hierarki’ semacam ini juga masih ada dan berubah wujud. Ketika balik, pertanyaan yang saya dapat bukanlah soal “risetmu tentang apa” atau “selama ini belajar/menulis apa saja”.
Tapi beberapa pertanyaan semacam “kok kuliahnya cuma setahun?” “memangnya cukup?” “Sheffield itu di mana?” dan lain sebagainya yang seakan-akan menyiratkan perasaan, “kampusmu kurang terkenal kok”. Apalagi kalau yang bertanya adalah lulusan Amerika atau kampus lain yang kuliahnya lama dan terkenal susah.
Ada beberapa asumsi yang bermasalah di sini, dan bermuara pada satu hal: mitos ‘kampus besar’. Ini terbangun, sayangnya, sejak lama. Kita bisa melihat, misalnya, beberapa asumsi: ‘kampus besar’ menerima bibit-bibit mahasiswa terbaik dan kampus lain menerima ‘buangan’. ‘kampus besar’ punya dosen, sistem pengajaran, dll yang lebih baik dari kampus lain. ‘Kampus besar’ selalu mengalahkan ‘kampus kecil’ dalam kompetisi-kompetisi mahasiswa atau dosen. ‘Kampus besar’ berada dalam ranking dunia terbaik dan kampus lain ada di bawahnya. Dan lain sebagainya.
***
Akibatnya, yang terjadi adalah dunia perguruan tinggi kita diwarnai oleh kompetisi dan ‘kebanggaan-kebanggaan’ yang tak perlu. Di bawah mitos kampus besar, kampus akan bangga kalau ada staf dosennya yang lulusan Harvard atau MIT dan biasa saja kalau dosennya cuma lulusan UQ atau Sheffield.
Kampus akan bangga kalau peringkat/akreditasinya bagus. Atau kalau ada dosennya yang menerbitkan di jurnal Q1 tapi tidak pernah mendiskusikan gagasan-gagasan dosen/mahasiswa secara kritis dengan peer review yang membantu. Yang lebih parah, kadang kampus juga bangga kalau punya staf pengajar dosen asing yang dibayar berkali-kali lipat daripada peneliti muda.
Mitos kampus besar ini juga terbangun dalam relasi antar-universitas. Kita sering menemukan satu fakta lucu (mungkin sekarang sudah jarang): lebih mudah menemukan paper kolaboratif antara dosen UGM/UI/ITB dengan dosen dari ANU/UQ daripada kolaborasi antara UGM, UI, ITB.
Masing-masing mengklaim diri paling baik dan kadang enggan berkolaboras satu sama lain. Ego universitas yang lucu ini terjadi. Kadang kita merasa menulis bareng dosen dari luar negeri lebih brgengsidaripada menulis dengan mahasiswa S1/S2 atau menulis dengan kolega sendiri. Atau, gengsi berkolaborasi antara kampus negeri dan kampus swasta.
Yang terjadi kemudian adalah gengsi-gengsian tanpa membangun komunitas akademik. Seminar-seminar kadang tidak mendiskusikan ‘gagasan’ tapi malah jadi panggung eksistensi. Perdebatan akademik di-discouraged karena ada yang baper dan tersinggung.
Kebebasan akademik tersandera kepentingan politik atau jatah preman. Kampus, meminjam bahasa seorang kawan dosen, berubah menjadi institusi paling feodal, justru di saat institusi lain berubah demokratis seiring perkembangan zaman.
Padahal, di masa lalu, kampus adalah garda terdepan reformasi masyarakat dan ‘pencerahan’, baik di Eropa, dunia Islam, ataupun Asia Timur dan Tenggara.
***
Padahal sebetulnya yang namanya ‘kampus besar’ pun bukan terbebas dari masalah. Sejak 4 tahun lalu, akademisi Inggris ramai-ramai mogok karena dana pensiun mereka mau digadaikan atas nama austerity.
Baru-baru ini, kampus saya sekarang akan ada negosiasi antara serikat pekerja dengan kampus soal kenaikan upah. Di saat yang bersamaan, ada banyak skandal seperti ‘pencurian upah’ (wage theft) di salah satu kampus Australia yang mengeksploitasi pekerja dan staf honorer, seperti tutor dan dosen tidak tetap.
Bagaimana dengan Indonesia? Ada banyak peneliti yang sekarang statusnya tidak diakomodasi secara legal (dalam arti, bekerja sangat casual) karena tidak ada ketentuan yang jelas dalam aturan-perundang-undangan atau statuta kampus soal status kerja dan gaji peneliti.
Menyingkirkan Mitos Kampus Besar
Mitos ‘kampus besar’ ini sudah saatnya kita singkirkan perlahan-lahan. Tidak ada kampus besar dan kampus kecil. Perguruan tinggi sudah semestinya berkolaborasi, dan bukan berkompetisi secara membabi-buta.
Perdebatan akademis yang bebas dan ilmiah semestinya menggantikan aksi panggung dan seminar-seminar yang menyajikan commonsense belaka. Dan, yang paling penting, regulasi baik beasiswa maupun sistem pendidikan tinggi kita juga tidak didasarkan atas reproduksi mitos-mitos semacam ini.
Zaman kian berubah. Kadang kita mengkritik kampus karena terlalu ‘berada di menara gading’. Akan tetapi, kadang-kadang juga, ketika kita lihat ke atas menara, kita perlu bertanya: siapa yang kita lihat disana dan apa yang kita lihat?
Jangan-jangan, saat ini, yang kita perlukan bukanlah ilmuwan yang ‘turun’ dari menara gading, namun justru memperbaiki menaranya! Agar ketika mereka berada di menara gading, para ilmuwan itu tetap punya pijakan kokoh dengan apa yang ada di bumi. Dan ketika para ilmuwan itu turun dari menara gading, mereka tetap punya bekal -dan terhubung- dengan rekan-rekannya yang ada di menara.
Akhirul kalam, saya ingin mengutip satu cerita lain. Konon suatu ketika Daniel Dhakidae pernah ditanya oleh supervisornya, Ben Anderson. Om Ben bertanya, “Daniel, ada lamaran aplikasi PhD yang aneh sekali. Pelamarnya tidak menyertakan ijazah satu pun”. Ketika Daniel Dhakidae tahu siapa nama pelamar itu, ia langsung meyakinkan Om Ben kalau orang ini memang bukan orang biasa. Dan akhirnya, ketika orang ini lulus dari Madrasah Cornell, orang mengenalnya sebagai seorang intelektual Indonesia dengan analisisnya yang tajam, dan karya Disertasinya yang luar biasa. Ia adalah George Aditjondro, yang lebih sibuk menjadi wartawan dan aktivis ketimbang menyelesaikan kuliahnya. Nyatanya, ia menggondol Doktor dari Cornell.
Artinya, bisa jadi, apa yang kita tulis dan kita hasilkan dalam pekerjaan sebetulnya jauh lebih penting daripada mitos-mitos artifisial semacam hierarki kampus, nama besar kampus, dari mana kita lulus, atau KAPAN KITA MENIKAH.