Apakah menolak praktik poligami itu berarti menolak syariat? Banyak sekali komentar-komentar yang menyatakan bahwa menolak poligami itu berarti menolak syariat.
Ada dua asumsi tentang poligami. Pertama menyatakan poligami tidak berbeda dengan hal-hal mubah seperti makan dan minum, yang secara eksplisit tidak terdapat unsur perintah (amr) untuk mengerjakannya. Asumsi ini berpijak pada pemahaman dasar bahwa syari’at diartikan sebagai “sesuatu yang harus dikerjakan“. Pendapat kedua menyinggung latar belakang praktek poligami yang sudah marak dilakukan sebelum kedatangan Islam.
Apa itu Syariat?
Lalu pertanyaannya, apakah poligami itu syari’at Islam ? Karena itu, kita harus mengetahui terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan syari’at.
Mahmud Syaltut dalam Al-Islam Aqidah wa Syari’ah menyebutkan kata syari’ah berarti jalan menuju sumber air yang tak pernah kering. Kata syari’at juga diartikan sebagai jalan yang terbentang lurus. Menurut Djazuli (2005) syari’at memiliki banyak arti, salah satunya yaitu ketetapan dari Allah bagi hamba-hambanya. Menurutnya syari’at secara istilah berarti hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk hamba-hambanya yang dibawa oleh seorang Rasul Muhammad SAW, baik hukum tersebut berhubungan dengan cara tingkah laku, yaitu disebut dengan hukum furu’.
Pada dasarnya kata syari’at dalam Islam menyangkut dengan akidah, ibadah, muamalah, etika, dan hukum-hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Jika ditilik dari pengertian di atas, maka poligami di sini termasuk di dalam lingkup bidang mu’amalah karena membahas hal-hal/hukum-hukum yang berkaitan dengan orang lain secara horizontal.
Jika berpijak berdasarkan spektrum pengertian di atas, poligami di sini, dapat dikategorikan dalam rumpun bahasan syari’at Islam yang memiliki maksud-maksud mulia dalam prakteknya (maqashid as-syari’ah).
Pertimbangan Maslahat dan Mudlarat
Kita harus sama-sama mengakui bahwa terdapat unsur maqashid syari’ah di dalam penolakan prakti poligami yaitu aspek hifdzun nafsi (ketidakadilan dan spsikologis atas perempuan) dan hifdzun nasl (anak-anak yang ditelantarkan). Hal ini menurut Imam asy-Syatibi, termasuk hal-hal yang bersifat dlaruriyyat ( yang harus dicapai dalam tujuan diterapkannya syari’at).
Jika poligami ini malah menimbulkan keburukan dan kemudlaratan, maka sangat kontras sekali dengan maksud dan tujuan syari’at. Karena poligami, yang termasuk bagian dari rumpun pembahasan mu’amalah, harus didasarkan kepada kemashlahatan dan menghindari kemudaratan. Urusan kemashlahatan dan kemudharatan dari sesuatu ialah entitas yang dapat diperhitungkan oleh nalar manusia. Maka, dimanapun kemashlahatan ditemukan, maka di situlah sejatinya agama dan syari’at Allah (Az-Zuhaili: 2000).
Hal ini sebagaimana dituangkan Azaki Khoirudin dalam artikelnya “Mengapa Muhammadiyah Tidak Poligami?” menggunakan Maqashid Syari’ah Jasser Audah pendekatan sistem dalam memahami poligami. Dari artikel tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Maqashid Syari’ah hanya dapat terwujud dengan memiliki satu istri. Metode pemahaman baru ini layak kita apresiasi sebagai khazanah baru dalam hukum islam yang memang terus berkembang melintasi zaman. Penafsiran-penafsiran segar terhadap ayat al-Qur’an yang lebih mendekati Maqashid Syari’ah harus terus diupayakan demi menghindari stagnansi penaafsiran klasik yang kontraproduktif terhadap realitas.
Prinsip Pembatasan
Kita harus menyadari bahwa poligami bukanlah suatu ibadah, namun wilayah mu’amalah duniawiyah yang dapat berubah sesuai situasi dan kondisi (mutagayyiraat) dan juga bukanlah suatu ketetapan baru saat datangnya Islam. Karena poligami sudah menjadi tradisi yang sudah dilakukan oleh umat terdahulu seperti Nabi Sulaiman yang memiliki lebih dari 500 istri.
Ustadz Bachtiar Nashir dalam ceramahnya yang saya kutip dari kanal youtube The Harjunadhi (17 Desember 2018) menyatakan poligami bukan berasal dari Islam, Islam hanya membatasi dari budaya yang sudah berjalan di muka bumi dari sebelum Islam.
Syari’at Islam membatasi banyaknya jumlah istri yang boleh dimiliki, bukan memerintahkan begitu saja untuk berpoligami. Hal tersebut guna membatasi jumlah istri yang bebas dimiliki sebelum turunnya ayat ini. Pada skala empat istri sebagai jumlah maksimal, itu pun mengharuskan adanya keadilan perlakuan terhadap mereka. Jika dikhawatirkan tidak adil, maka memiliki satu istri menjadi sikap yang harus dipilih.