Perspektif

Mengapa Ada Pelarangan Cadar?

5 Mins read

Isu agama memang tak pernah kering. Selalu saja ada aspek perdebatan. Di antara sekian banyak isu yang berkembang, kini masyarakat Muslim Indonesia tengah menyaksikan kontroversi pemakaian cadar. Mengapa ada pelarangan cadar?

Bisik-bisik tentang boleh dan tidaknya pemakaian cadar memang telah lama terdengar. Persoalan ini menarik, karena berbagai sudut pandang bisa diajukan untuk menganalisisnya. Ada yang mendekatinya dari sudut pandang fikih. Ada pula yang berusaha memahami dengan melihatnya sebagai gejala sosiologis masyarakat muslim.

Tulisan ini hendak membaca kontroversi ini dengan pendekatan hubungan antara agama dan budaya.

Tiga Dimensi Islam

Dalam kapasitas sebagai seorang pengajar studi Islam di perguruan tinggi, kepada mahasiswa, saya selalu berusaha menjelaskan Islam sebagai objek studi ilmiah dengan berbagai cara.

Salah satunya adalah dengan membagi dimensi Islam menjadi tiga, yaitu: a) Islam sebagai doktrin dasar yang meliputi aqidah, syariah dan akhlaq; b) Islam sebagai disiplin ilmu; dan c) Islam sebagai praktik dan ekspresi sosial-budaya. Ini hanya kategori untuk memudahkan studi. Jangan dibaca sebagai upaya mereduksi Islam.

Pada dimensi ketiga, Islam sebagai praktik dan ekspresi sosial-budaya bermakna bahwa ajaran-ajaran pokok Islam yang bersifat tetap, abadi, universal, dan kosmopolit. Namun ternyata bisa menampakkan diri dalam ekspresi sosial dan budaya yang berbeda-beda ketika berdialektika dengan aneka ragam masyarakat.

Penjelasan ini seringkali tidak bisa serta-merta diterima oleh mahasiswa di kelas-kelas yang saya ampu. Karena bagi mereka, ada ketidakmungkinan bahwa agama yang sakral, sublim dan transendental itu turun ke level praktik budaya yang profan.

Agama dan Budaya Tidak Terpisahkan

Begini gambaran faktualnya. Di Indonesia, sebagian muslim terafiliasi dengan organisasi Islam, sebagian tidak. Bagi yang terafiliasi, fakta sebagai anggota organisasi akan menjadi dua lapis identitas: yakni identitas agama dan budaya. Menjadi identitas keagamaan karena dengan mengikuti sebuah organisasi Islam, maka dengan sendirinya seseorang terikat dalam pemahaman dan praktik keagamaan yang berdimensi ubudiyah.

Sebagai contoh, jika seseorang menganut Nahdlatul Ulama’ rasa-rasanya tidak mungkin ia tak mengangkat tangan untuk ber-qunut sewaktu shalat subuh. Bagaimana jika ia tak ber-qunut?

Berlebihan rasanya jika karena tak ber-qunut lalu ia tidak dianggap sebagai anggota NU. Tetapi, pastilah ada perasaan tentang identitas yang hilang saat seorang anggota NU tidak ber-qunut.

Hal yang sama juga terjadi bagi pengikut Muhammadiyah. Rasa-rasanya sulit dielakkan bahwa seorang anggota Muhammadiyah akan menjalankan shalat tarawih lebih dari 11 rakaat. Betapapun ia, misalnya, menjalankan tarawih di masjid yang menganut pemahaman tarawih 23 rakaat, ia akan tetap memilih mengakhiri lebih awal. Karena ada keyakinan yang sekaligus merupakan identitas keagamaan tadi.

Baca Juga  Kemalingan di Masjid dan Muslim yang Tidak Islami

Pada fakta seperti ini, apa yang mengemuka adalah identitas keagamaan dalam praktik fiqhiyyah. Meskipun praktik fiqhiyyah sangat  dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiologis, tak semua orang begitu saja bisa menerima pandangan bahwa praktik fiqhiyyah yang berbeda sebenarnya secara intrinsik mengandung aspek perbedaan kultural.

Maka, selain perbedaan praktik fiqhiyyah, terkonstruksi secara sadar atau tidak, penganut kelompok-kelompok Islam tadi lalu lebih lanjut mengembangkan identitas dalam bentuk simbol-simbol atau aksesoris budaya.

Misalnya, di masjid-masjid yang dimiliki oleh organisasi berorientasi modernis, seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam, pasti tak bakal ditemukan bedug. Contoh lainnya, di pesantren-pesantren NU akan mudah ditemukan santri-santri bersarung. Sementara di pesantren-pesantren dengan orientasi modern, santri-santri lebih banyak menggunakan celana daripada sarung.

Mengapa Ada Pelarangan Cadar?

Sampai di sini, sebuah poin patut digarisbawahi, yakni perdebatan antara kaum kulturalis dan puritanis. Kaum kulturalis menganggap adopsi budaya adalah sah, sepanjang tidak merusak inti ajaran agama. Sementara kaum puritanis memandang masuknya elemen budaya itu sebagai ancaman bagi kemurnian ajaran agama.

Poin perdebatannya menjadi semakin panjang karena bisa saja berlanjut pada pertanyaan: Ketika agama dan budaya bertemu dan saling memberikan pengaruh, manakah yang harus menjadi ordinat dan mana yang menjadi sub-ordinat?

Jawaban atas pertanyaan ini terlampau gamblang. Agama harus menjadi ordinat dan budaya adalah sub-ordinat. Agama berasal dari Tuhan, maka harus membentuk dan menentukan nilai atas budaya yang merupakan ciptaan manusia. Pada wilayah ini, tidak sulit disepakati. Hal yang menjadi sumber perdebatan adalah pada wilayah artikulasi.

Dalam konteks artikulasi inilah lalu menjadi relevan mengutip sejarawan Kuntowijoyo ketika membedakan Muhammadiyah dan NU secara antropologis. Kata Pak Kunto lebih dari dua dasawarsa yang lalu, Muhammadiyah adalah kebudayaan baru tanpa kebudayaan lama. Sementara NU adalah kebudayaan lama tanpa kebudayaan baru. Tentu, untuk konteks hari ini analisa Pak Kunto ini tidak sepenuhnya bisa diterapkan. Karena bisa saja konvergensi antara kedua budaya ini telah terjadi.

Baca Juga  Membongkar Strategi hingga Mitos Politik di Indonesia

Akan tetapi, nilai penting dari pernyataan ini adalah bahwa tidak ada kelompok keagamaan yang tidak membawa budaya. Bahkan mereka yang kelihatan sebagai anti-tradisi sekalipun. Sehingga, yang terjadi sebenarnya bukan persoalan pro atau anti-budaya. Melainkan saling kompetisi antara satu versi budaya dengan versi lainnya.

Satu kelompok memiliki artikulasi budaya yang berbeda dengan kelompok lain. Sayangnya, perbedaan artikulasi itu seringkali dipandang sebagai pertentangan.

Contoh dari Sarung dan Celana

Sarung dan celana yang dicontohkan di atas sebenarnya juga merupakan ekspresi dan praktik sosial budaya atas Islam. Sesungguhnya, praktik memakai cadar adalah analog dengan orang memakai sarung, kopiah, baju koko, atau baju batik dalam momen-momen keagamaan.

Persoalan lahir karena adanya klaim bahwa cadar merupakan ekspresi keislaman yang lebih absah daripada jilbab normal, misalnya. Klaim seperti ini muncul dari pemahaman tentang hubungan kebudayaan pusat (center) atau induk dan kebudayaan pinggiran (periphery) atau turunan.

Arab adalah pusat Islam, dan karena itu lalu segala yang bersumber dari Arab dianggap dengan sendirinya merepresentasi Islam. Padahal, mestilah dipilah mana yang merupakan ajaran Islam, mana budaya Arab yang terakulturasi sebagai ajaran Islam, dan mana budaya Arab yang merupakan praktik masyarakat umum dan tidak ada kaitan sama sekali dengan Islam.

Perbedaan Budaya Arab

Lagipula, Arab sendiri adalah sebuah konteks budaya yang tidak tunggal. Sehingga identifikasi Arab sebagai Islam secara kategoris mengandung masalah. Saya teringat sebuah percakapan dengan seorang kawan dari Lebanon. Kebetulan pada tahun 2017 lalu sama-sama sebagai International Fellow di King Abdullah bin Abdulaziz International Center for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID), Austria.

Syaikh Hassan al-Amin, nama kawan itu, bercerita bahwa jika kita berkeliling ke berbagai negara di Dunia Arab, maka akan didapati model dan bentuk jilbab yang tidak seragam di berbagai negara Arab itu. Bentuk dan model jilbab yang dipakai di Iraq, kata Hassan al-Amin, akan berbeda dengan dengan yang berkembang di Saudi.

Demikian pula bentuk dan model jilbab di Syiria berbeda dengan yang dipakai oleh wanita-wanita di Kuwait. “Jika bentuk jilbab dimutlakkan sebagai bagian dari ajaran Islam, lalu jilbab di negara manakah yang paling layak disebut sebagai Islami?” demikian Hassan al-Amin.

Baca Juga  Tanpa Agama, Pancasila Menjadi Pancasalah

Tidak Boleh Ada Pelarangan Cadar

Maka, sama sekali tidak boleh ada pelarangan bagi seseorang memakai cadar. Menjadi masalah karena dua persoalan, yakni pemutlakan satu bentuk dan model tertentu sebagai mewakili ekspresi ber-Islam yang paling benar, yang dengan sendirinya menafikan ekspresi lain; dan konteks sosial-budaya masyarakat yang barangkali tidak sesuai dengan budaya cadar itu.

Sebagian kalangan yang kritis terhadap cadar berusaha menilai fenomena cadar ini dengan pertanyaan yang berkaitan dengan ruang dan waktu: Mengapa terjadi di sini dan sekarang? Jika memang bercadar adalah ekspresi ber-Islam yang paling syar’i bagaimana dengan ekspresi ber-Islam di masa lalu yang berbeda dengan fenomena cadar di masa kini?

Misalnya, dalam banyak dokumen tentang gerakan perempuan Islam di awal-awal masa kemerdekaan Indonesia. Kita mengetahui bahwa model jilbab yang digunakan oleh aktivis perempuan Muslim pada era itu “hanya” berupa kain kerudung panjang yang diletakkan di kepala dan sebagian mengikatkan masing-masing ujung kain kerudung itu di depan leher.

Lalu, apakah ekspresi ber-Islam seperti ini tidak sah? Jika tidak sah, apakah itu berarti ulama’ di Indonesia pada masa-masa itu tidak memahami mana yang syar’i dan mana yang tidak syar’i?

Pada satu aspek tertentu, apa yang terjadi kini adalah ada pertentangan cara pandang. Mereka yang memakai cadar menggunakan argumentasi fiqhi dan syar’i, sehingga yang muncul adalah kesimpulan boleh dan tidak boleh, halal dan haram, atau syar’i dan tidak syar’i.

Lebih dari itu, karena cadar dianggap sebagai ekspresi dari syari’ah yang benar, maka ia harus ditegakkan. Betapapun berisiko menabrak nilai masyarakat lokal yang dianggap tidak sejalan dengan prinsip syari’ah tadi.

Sebaliknya, penentang cadar melihatnya dari aspek konteks budaya dan etika sosial. Tidaklah etis, kira-kira demikian argumen itu berkembang, memakai pakaian yang tak sejalan dengan kondisi masyarakat, betapapun itu atas nama agama. Ya, karena bagi kelompok yang kritis pada pemakaian cadar, agama dianggap memiliki kelenturan berdialektika. Mengalami akulturasi dan akomodasi dengan budaya lokal, tanpa harus meninggalkan inti agama yang paling mendasar.

Inilah yang kini sedang terjadi. Maka, diperlukan kesadaran masing-masing pihak. Agar cadar yang sebenarnya merupakan salah satu wujud kompleksitas hubungan agama dan budaya ini tidak direduksi. Baik menjadi persoalan syar’i-tidak syar’i, boleh-tidak boleh, dan eksklusi atas satu kelompok sosial tertentu.

37 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds