Oleh : Ahmad Muttaqin Alim*
Setelah cukup lama mengamati dan berinteraksi langsung di media sosial, saya menemukan bahwa sebetulnya hanya 5 hal yang dituduhkan ke Buya di mana hal itu selalu diulang-ulang oleh sebagian netizen untuk menyerang ketika kita membicarakan Buya Syafii Maarif. Apa saja lima hal itu?
1. Soal 7 Kata Piagam Jakarta
Saya rasa ini adalah sumber awal kenapa sebagian netizen menganggap Buya itu liberal, meski yang menuduh itu biasanya tidak paham-paham amat mengenai makna “liberal”. Ketidaksetujuan Buya atas usul pengembaliaan 7 kata dalam Piagam Jakarta untuk masuk konstitusi digunakan sebagai bukti bahwa Buya itu anti Islam, atau anti syariat Islam atau setidaknya anti penerapan syariah Islam. Begitu kata mereka. Padahal Buya sekadar menjaga kesepakatan founding father bangsa ini, khususnya Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Muhammadiyah saat itu yang menjadi salah satu perwakilan umat Islam dalam pembentukan konstitusi dasar negara, sebagai negara bagi semua golongan dan agama.
Menurut saya, setelah mendalami sejarah peradaban Islam pasca Khulafaurrasyidin, Buya lebih memilih soft power untuk membentuk masyarakat Islam, bukan menggunakan hard power konstitusi. Islam itu tumbuh dengan penyadaran, pencerahan, bukan dengan pemaksaan yang, terbukti dalam sejarah, sangat mudah represif dan diskriminatif terhadap yang berbeda agama, khususnya bagi masyarakat yang hidup dalam negara yang berbentuk seperti Indonesia.
Kedua, Buya lebih menyarankan agar umat sibuk untuk menyukseskan substansi, bukan bentuk, yang seringnya menyita energi dan justru menomorduakan substansi. Buya sering menyitir Hatta, “Pakailah garam, terasa tapi tidak kelihatan, dan jangan menggunakan gincu, kelihatan tapi tidak terasa.”
2. Perda Syariah
Selain soal 7 kata dalam Piagam Jakarta, satu hal lagi terkait konstitusi negara yakni soal perda syariah. Penolakan Buya langsung saja disambut dengan tuduhan anti syariah. Padahal maksud Buya, daripada energi dihabiskan untuk itu, lebih baik menegakkan konstitusi yang sudah ada sebaik-baiknya.
Di samping itu, Buya melihat perda-perda syariah yang sementara ini disuarakan sebenarnya tidak benar-benar bernuansa religius tapi lebih bernuansa politik elektoral alias vote getter dan menjaga konstituen. Ini justru sebenarnya perilaku politik yang mengangkangi agama dan diskriminatif. Padahal substansi syariah adalah keadilan dan kesejahteraan bersama, bukan kepentingan kelompok apalagi sekadar peraih suara dalam pilkada.
Bagi saya pribadi, kita bisa melihat output dan outcome konstitusi Aceh yang lebih dari sekadar perda. Itupun hasilnya tidak seperti yang diimpikan pengusungnya. Atau kita bisa melihat negeri dengan konstitusi religi yang konon kaffah seperti Afghanistan: kesejahteraan warga negaranya rendah dan diskriminasi wanita menjadi hal umum.
3. Soal Ahok
Kalau dua hal di atas adalah perdebatan lama, yang satu ini agak baru dan menjadi senjata netizen untuk mencaci Buya. Buya dituduh mendukung Ahok disertai “bukti” bahwa Buya pernah makan bareng Ahok, yang sebenarnya itu tanpa sengaja terkondisi saat kebetulan hadir bersama dalam sebuah acara resmi. Tapi foto dipotong dan seakan Buya foto berdua dengan Ahok lalu “digoreng”.
Soal Ahok, sebetulnya posisi Buya normatif saja, berpendapat bahwa kalimat Ahok di pulau seribu tidak mengandung unsur penghinaan atau penistaan. Pendapat Buya ini sama seperti para audiens Ahok yang mendengar langsung, tidak merasa ada nada dan rasa penghinaan di situ. Jadi ini soal rasa dan tafsir yang setiap orang bisa saja berbeda.
Buya juga tidak mati-matian mendukung Ahok seperti dituduhkan sementara netizen. Memang ada sedikit pujian bahwa Ahok itu petarung dan itu pujian biasa yang Buya berikan juga pada orang lain seperti Kang Yoto, mantan Bupati Bojonegoro, misalnya.
Sedangkan di banyak kesempatan Buya juga mengkritik mulut Ahok, tapi tak didengar netizen.
Selain perbedaan rasa dan tafsir itu, yang disampaikan Buya sebenarnya sangat standar dan normal: 1) Selesaikan soal Ahok di pengadilan, jangan habiskan energi umat untuk perdebatan dan hujatan di media juga pengerahan massa. 2) Hormati hasil keputusan pengadilan. Dan faktanya Buya konsisten dengan itu. Setelah pengadilan memutuskan Ahok ditahan, Buya menerimanya tanpa melancarkan hujatan pada pengadilan atau menyebut kriminalisasi.
4. BPIP
Yang sering dituduhkan pada Buya soal BPIP ini adalah memakan gaji 100juta dan membebek pada rezim. Wow!. Padahal faktanya gaji anggota pengarah BPIP itu 5 juta rupiah, sementara yang lain-lain adalah tunjangan kesehatan dan asuransi yang Buya secara praktis tidak dipakai Buya karena kontrol rutin Buya selalu di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta (PKU) di mana Buya dan Umi (panggilan kami untuk istri Buya) difasilitasi oleh PKU. Meski demikian, Buya juga bayar sendiri. Selain itu, anggaran BPIP untuk operasional kegiatan seperti transportasi, penyelenggaraan rapat dan lainnya.
Pernah saat Umi menjalani operasi lutut di PKU Jogja yang menghabiskan puluhan juta, digratisi oleh manajemen PKU. Umi dan Buya tidak bersedia digratisi. Tapi karena manajemen PKU sedikit memaksa, maka uang tabungan Buya dan Umi yang sedianya untuk biaya operasi tetap diserahkan ke PKU untuk diwujudkan masjid. Jadi tidak memakai anggaran BPIP.
Kembali soal BPIP, ada cerita di balik panggung. Buya pernah akan mengundurkan diri untuk mencegah fitnah yang beredar di masyarakat, mencegah banyak orang berdosa karena su’udzon, sementara klarifikasi tidak juga keluar dari pihak istana. Toh Buya juga sesungguhnya tidak butuh jabatan itu. Kalau bahasa saya, “Gak njabat yo gak patheken” (arti : tidak menjabat ya tidak apa-apa .red). Tapi presiden segera mengirim utusan khusus, seorang petinggi, ke Yogyakarta untuk memohon kesediaan Buya tetap di BPIP, ada adegan cium tangan di momen itu.
Jadi soal 100 juta itu kehebohan di media saja, padahal faktanya gaji hanya 5 juta, itupun sempat setahun tidak dibayarkan. Tentu Buya dan anggota BPIP lain tidak mempermasalahkannya.
Saya yakin, andai Buya menerima yang 5 juta rupiah itu, paling juga akan dibagi-bagi untuk biaya kuliah para marbot masjid kami, infak ke tukang bersih-bersih perumahan kami, bisyaroh untuk petugas keamanan, dana operasional masjid Nogotirto dan memberi bantuan pada orang-orang yang mengajukan proposal.
Untuk hidup Buya sudah cukup dari gaji pensiun. Wong saat ada yang titip uang melalui saya sebagai hadiah untuk Buya sebanyak sekian juta, dikembalikan ke saya lagi untuk dibagi-bagi ke yang butuh hehehe.
5. Membela Kafir
Pagi itu, setelah belanja di tukang sayur depan rumah saya, Buya sarapan di warung Bu Darmi, di Pasar Jambon yang berlokasi di kampung sebelah perumahan kami. (Buya makan di pasar? Iya, sudah biasanya begitu)
Selesai makan, Buya dapat cerita dari pemilik warung bahwa telah terjadi pembacokan di Gereja St. Lidwina yang letaknya hanya 300 meter dari pasar. Buya langsung menuju ke sana. Sampai di situ sudah ramai orang, darah bercecer di mana-mana. Pelaku telah diamankan, korban pembacokan yaitu Pastur Prier telah dilarikan ke rumah sakit.
Begitu Buya datang, para wartawan yang ada di lokasi langsung mengerubuti Buya untuk wawancara. Berita dan wajah Buya tersiar secara cepat.
Apa kata sebagian warganet? Tanpa mengetahui latar belakang kejadian, langsung komentar, “Kalau gereja yang diserang, Buya lebih cepat datang dan membela dibanding kalau yang diserang masjid!”, juga “Pembela kafir!”.
Kejam sekali, bukan?
***
Kelima hal tersebut sebenarnya sangat mudah diklarifikasi dan diverifikasi andai netizen mau. Tapi rupanya niat baik itu tidak tampak dalam pola interaksi para netizen yang menyerang Buya. Jangankan verifikasi, umumnya ketika ditanya maksud tulisan mereka, mereka tidak begitu paham. Misalnya, ada yang menuduh Buya liberal. Ketika saya tanya apa definisi dan penjabaran “liberal” yang ditulis, mereka tidak bisa menjelaskan dengan baik.
Umumnya netizen penyerang yang berdialog dengan saya cuma bisa berhenti pada tuduhan yang bersifat ad hominem seperti liberal, melenceng, sesat, bahkan kafir, tanpa argumentasi yang memadahi. Belum lagi umpatan-umpatan terkait usia, julukan dan hal-hal nir-adab lainnya.
Kedua, mereka hanya mengulang-ulang tuduhan yang itu lagi dan itu lagi. Kalau bukan pembela penista ya liberal. Kalau bukan liberal ya anti syariah. Bahkan, ada yang menuduh syiah! Ha-ha-ha. Mosok Mantan Ketua Umum Muhammadiyah syiah. Nalar apa yang sebenarnya mereka gunakan?
Rupanya bagi mereka, semua kebaikan, kedermawanan, kesederhanaan, kesabaran, shalat lima waktu di masjid, konsistensi kata dan perbuatan, tidak menggunakan kesempatan untuk membangun dinasti, perjuangannya di Muhammmadiyah, penolakan-penolakan beliau jadi komisaris BUMN, dan seluruh kebaikan yang dilakukan Buya sepanjang hidupnya tidak pernah diperhatikan. Mereka sangat simplifikatif, miskin data dan argumen.
Dalam hati saya berdoa semoga mereka segera diberi hidayah.
Meski demikian, kalau saya ceritakan soal netizen yang kasar dan kejam dalam nyinyiran Buya, Buya selalu bilang, “Ndak papa,” sambil tersenyum.
*) Santri Nogotirto