Review

Mengapa di Era Modern Kitab Suci Terlupakan?

3 Mins read

Kitab suci adalah wahyu Allah (Tuhan) sekalian alam yang khusus diberikan kepada umat manusia agar mereka dapat mengenal siapa diri-Nya dan rencana-Nya untuk menyelamatkan, memberitakan, serta mengajarkan manusia kepada kebenaran.

Meski ajaran-ajaran dalam kitab suci keyakinan manapun mengajarkan kebaikan dan kebenaran, tetapi tetap saja manusia menafsirkan kitab suci sesuai kehendak dan keinginan pribadinya sendiri.

Belum lagi di era yang serba modern dan penuh rasionalitas. Kitab suci selalu dipandang sebelah mata. Manusia modern lebih sering menggunakan rasionalitasnya dalam melihat sesuatu. Bukan lagi diimbangi dengan sisi spiritualitasnya. Kitab suci hari ini hanya digunakan sebagai legitimasi nafsu manusia di dalam mencapai keinginannya.

Kitab suci hanya hadir sebagai seremonial dalam panggung-panggung politik dan kekerasan. Kitab suci bukan lagi menjadi rujukan untuk hidup yang lebih baik. Oleh karena itu, melalui buku terbarunya berjudul, “The Lost Art of Scripture” (Seni Membaca Kitab Suci) karya Karen Armstrong terbitan tahun 2021, yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan. Karen Armstrong ingin mengkaji ulang makna kitab suci di dunia masa kini.

Seni membaca Kitab Suci

Buku berjudul, The Lost Art of Scripture” ini berjumlah 675 hlm yang terdiri dari tiga bab, yakni bab kosmos dan masyarakat, bab Mitos, serta bab logos. Sama seperti buku-buku karya Karen Armstrong lainnya, buku Seni Membaca Kitab Suci ini diawali dengan sejarah awal mula kitab suci dari berbagai keyakinan dan agama, mulai dari India, China, Yahudi, Kristen, hingga Islam. Tetapi yang menarik dari buku ini, pembacaan Karen Armstrong terhadap kitab suci ditopang oleh argumen dari psikologi dan neurofisika.

Melalui buku ini, Karen Armstrong ingin menganjurkan dan mengajak para pembaca atau umat beragama untuk membaca kitab suci bukan hanya berhenti pada tataran literal saja. Sebuah pembacaan yang tanpa makna. Tetapi ia ingin mengajak mengintergrasikan belahan otak kiri dan kanan dalam membaca kitab suci. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagaimana yang disampaikan oleh Karen Armstrong dalam buku ini.

Baca Juga  Alam Pengadilan itu Memang Ada, Begini Argumen Logisnya!

***

Karen Armstrong mengatakan bahwa otak kanan terlibat dalam pembentukan rasa kedirian kita dan memiliki moda perhatian yang lebih luas, dibandingkan otak kiri yang lebih pragmatis dan selektif. Selain itu otak kanan juga memiliki visi holistik daripada analitis. Otak kanan dapat melihat sesuatu dalam hubungannya dengan keseluruhan dan merasakan keterkaitan dengan realitas.

Oleh karena itu, otak kanan senang dengan metafora. Sedangkan otak kiri cenderung literal dan melepaskan sesuatu dari konteksnya agar dapat dikategorisasi dan dimanfaatkan. Fokus manusia modern pada wawasan yang objektif dan empiris diberikan oleh otak kiri telah sangat bermanfaat bagi umat manusia. Oleh karena itu, pendidikan modern cenderung mengistimewakan upaya ilmiah daripada apa yang disebut dengan humaniora.

Namun, ini amat disesalkan, sebab kita berada dalam bahaya yang menumbuhkan hanya setengah dari kapasitas mental kita. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan diantara keduanya, baik otak kiri dan otak kanan. Akan tetapi, masyarakat modern kita sering berakar pada “logos” atau “nalar” yang merupakan modus pemikiran khas otak kiri.

Padahal dalam hal di atas diperlukan sekali penggunaan dari otak kanan. Sebab menurut Karen Amrstrong, para nabi, mistikus, dan orang suci menekankan pengetahuan mereka pada visi otak kanan yang cermat dan berwawasan transenden.

Mengkaji Ulang Makna Kitab Suci

Menurut Karen Armstrong, kitab suci yang dalam bahasa Inggris disebut scripture menyiratkan teks tertulis. Kitab suci biasanya dinyanyikan, dilagukan, dan dideklamasikan dengan cara yang membedakannya dari ucapan duniawi. Sehingga kata-kata produk otak kiri harus digabungkan dengan emosi yang tak terdefinisikan dari otak kanan. Bahkan setelah kitab suci menjadi teks tertulis, orang sering menganggapnya diam sampai dinyalakan oleh suara yang hidup, seperti halnya not musik baru menjadi sepenuhnya hidup setelah ditafsirkan oleh sebuah instrumen.

Baca Juga  Doa Agar Diringankan saat Amal Dihisab di Akhirat

Oleh karena itu, kitab suci pada dasarnya adalah seni pertunjukkan dan sampai periode modern, hampir selalu diperankan dalam dunia ritual. Selain itu, dalam buku ini Karen Armstrong juga menjadi kitab suci menjadi beberapa bagian yang sesuai genrenya. Melalui penelusurannya dari beberapa kitab suci baik yang berasal dari India, China, dan tradisi Monoteistik Yudaisme, Kristen, dan Islam. Pada dasarnya mengajarkan cara hidup yang selaras dengan yang transenden.

Tetapi semua memiliki kesamaan pada satu hal, yakni untuk hidup dalam hubungan yang tulus dengan apa yang disebut dengan “yang tertinggi”, dimana manusia harus melepaskan diri dari sikap egoisme. Apa yang disebut oleh orang Yunani sebagai kenosis (pengosongan diri) adalah tema sentral kitab suci.

Bahkan lebih jauh, semua kitab suci menegaskan bahwa cara terbaik untuk mencapai transendesi diri adalah dengan menumbuhkan kebiasaan empati dan welas asih, yang merupakan produk otak kanan.

Untuk mencapai kenosis seseorang harus “melampui” ego dan menghilangkan sikap naluriah manusia untuk menempatkan diri di pusat dunia. Oleh karena itu, membaca kitab suci tidak bisa dengan sendirian, melainkan harus didampingi seorang guru dengan tingkat spiritual yang tinggi. Tanpa guru dengan kapasitas spiritual yang tinggi, seorang bijak China mengatakan bahwa kitab suci sulit untuk ditembus.

***

Dalam beberapa tradisi di dunia, kitab suci berbicara sesuai dengan genrenya. Dalam kitab suci India dan China fokusnya adalah kosmos, sedangkan tradisi monoteistik menekankan pentingnya keadilan dan kesetaraan. Sebelum periode modern awal, ketika para humanis Renaisans dan reformis Protestan berusaha untuk Kembali “ke mata air” agama Kristen, kitab suci secara rutin direvisi, diperbarui, dan pesan-pesannya secara dramatis ditafsirkan ulang untuk memenuhi tuntutan masa kini.

Baca Juga  Asal Usul Hukum Islam Awal Menurut Yasin Dutton

Seni kitab suci tidak berarti kembali ke kesempurnaan yang dibayangkan di masa lalu. Sebab, teks suci selalu merupakan pekerjaan yang sedang berlangsung. Karena itu, seni penafsiran kitab suci bersifat inventif, imajinatif, dan kreatif.

Jadi untuk membaca kitab suci dengan benar dan autentik, kita harus membuatnya berdialog langsung dengan konteks dan kesulitan kita di zaman modern. Mengingat pentingnya pembacaan kitab suci yang tidak hanya berhenti pada tataran literal atau teks semata. Namun melainkan dihayati, dipahami, dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab perang dan kekerasan telah mengajarkan kepada kita apa yang dapat terjadi ketika rasa hormat, kasih sayang, dan sakralitas setiap manusia telah hilang.

Editor: Soleh

Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *