ARTIKEL Syamsul Rizal (15/12/2021) dan Doni Koesoema (16/12/2021) di Harian Kompas membukakan mata kita tentang problem akut dalam dunia pendidikan (tinggi) di Indonesia. Rizal secara khusus menyoroti problem serius dalam proses peraihan gelar guru besar.
Gelar tertinggi dalam dunia akademik itu rupanya ditengarai telah ternoda oleh perjokian. Sementara di sisi lain, Koesoema menangkap salah satu problem serius pendidikan Indonesia adalah politik anggaran yang melahirkan predator pendidikan.
Maka, jangankan mencapai tujuan pendidikan, pendidikan justru dijadikan oleh sebagian kalangan sebagai sarana untuk melakukan akumulasi kapital. Suatu hal yang justru bertentangan dengan misi dan hakikat pendidikan.
Meskipun menyorot persoalan yang berbeda, kedua tulisan tersebut tersambung oleh sebuah benang merah, yaitu semakin tak terarahnya pendidikan dan khususnya pendidikan tinggi di Indonesia.
Berpijak pada catatan kritis Rizal dan Koesoema, dalam tulisan ini saya hendak menyatakan pandangan sebagai seorang dosen tentang aneka kebijakan pendidikan tinggi belakangan ini dan dampaknya pada performa akademik dosen, khususnya, dan arah masa depan pendidikan tinggi pada umumnya.
Terjebak dalam Urusan Administrasi
Akibat aneka kebijakan yang kadang datang secara tumpeng tindih, problem paling mendasar yang dihadapi oleh dosen di Indonesia dewasa ini adalah beban kerja yang berlebihan.
Secara umum, dosen memiliki fungsi pokok yang disebut dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Ketiga dimensi kerja dosen ini bisa dipahami dengan rasional, karena ketiganya memiliki hubungan erat. Proses pengajaran di kelas harus diimbangi dengan temuan-temuan terbaru dalam dunia keilmuan, dan penelitian merupakan sarana yang tepat untuk menyediakan temuan-temuan baru itu.
Sementara di sisi lain, dosen harus pula memberikan kontribusi nyata dalam kehidupan masyarakat; dan bahwa dosen mendidik mahasiswa untuk menghadapi situasi nyata dalam kehidupan masyarakat, maka pengabdian kepada masyarakat merupakan simulasi kehidupan nyata pasca pendidikan formal di perguruan tinggi.
Akan tetapi, apa yang terjadi dalam dunia pendidikan tinggi belakangan ini melampaui peran normatif ini. Tak hanya melakukan Tri Dharma Perguruan Tinggi, rupanya dosen juga harus terlibat dalam aneka urusan administratif yang demikian banyaknya.
***
Dengan lahirnya kebijakan sertifikasi dosen, misalnya, seorang dosen harus secara rutin setiap semester melakukan dokumentasi kegiatan dalam bidang Tri Dharma Perguruan Tinggi tadi.
Meskipun kelihatan sederhana, hal seperti ini telah menyita waktu dosen yang tidak sedikit. Ini belum menyebut aneka kewajiban administratif yang memiliki fungsi yang sama, tetapi satu sama lain tidak saling berhubungan.
Pangkalan data dosen dan data publikasi dosen adalah contoh nyata tidak terjadinya sinkronisasi yang mengakibatkan dosen seringkali terjebak dalam kubangan administrasi ini.
Daftar beban administratif ini akan semakin panjang, jika seorang dosen juga memegang posisi-posisi struktural di kampus. Aneka ragam akreditasi perguruan tinggi baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, baik di tingkat provinsial, nasional, maupun global; baik yang dilakukan karena kebutuhan mendesak maupun karena kebutuhan artifisia; telah menjadikan fokus sebagian besar dosen buka pada produksi karya, tetapi pada bagaimana memenuhi aneka persyaratan administratif tersebut.
Gesekan dengan Kepentingan Pragmatis dalam Dunia Kerja
Selain itu, perkembangan dunia di luar kampus secara umum, dan dunia kerja, secara khusus, telah melahirkan aneka respon dari dunia pendidikan. Kritik klise bahwa universitas tidak mampu melahirkan tenaga kerja yang siap dipakai di dunia usaha dan dunia industri, direspon secara reaktif oleh sebagian institusi pendidikan tinggi di Indonesia.
Salah satu wujudnya adalah dengan memperbanyak bobot pragmatis pada pembelajaran di perguruan tinggi. Akibatnya, universitas seolah-olah berfungsi sebagai balai latihan kerja, yang menyiapkan tenaga kerja terampil tetapi, miskin landasan filosofis ilmu pengetahuan.
Fakta ini melahirkan akibat turunan, yakni para dosen-dosen seperti dipaksa untuk menjadi perangkat-perangkat administratif (misalnya dengan menjadi asesor kompetensi) yang menyiapkan tenaga kerja kompeten di dunia industri.
Pada wilayah kerja dosen, memainkan peran sebagai sekrup dalam penyiapan lulusan siap pakai ini menjadi beban kerja tambahan bagi dosen yang berpotensi memalingkan mereka dari fungsi utama.
Dosen Dipaksa Menjadi Manusia Setengah Dewa
Maka sebuah pertanyaan perlu diajukan: Pada wilayah manakah hendak kita tempatkan fungsi-fungsi dosen yang tidak secara langsung berhubungan dengan tridharma itu?
Menimbang kenyataan seperti inilah, dengan setengah canda saya sering menyatakan kepada para kolega dosen bahwa saat ini dosen seperti dicetak (atau lebih tepatnya dipaksa) untuk menjadi manusia setengah dewa yang mampu mengerjakan apa saja.
Karena dosen bukan manusia setengah dewa yang memiliki kemampuan paripurna itulah, maka menjadi wajar di tengah beban yang melebihi kewajiban kerjanya tadi, tugas-tugas pokok akhirnya terabaikan, salah satunya adalah memproduksi karya ilmiah.
Dalam kaitan ini, saya sepenuhnya setuju dengan Syamsul Rizal bahwa memproduksi satu karya di Jurnal Internasional Bereputasi (JIB) merupakan hal sangat wajar bagi seorang dosen yang hendak meraih gelar guru besar.
Jika terjadi seorang dosen menggunakan jasa joki untuk sampai kepada tujuan itu, maka sebenarnya bukan semata-mata fakta ini yang harus dilihat, tetapi juga sebab yang menjadikan rendahnya produktivitas dosen dalam menghasilkan karya akademik bereputasi itu.
Beban Administrasi Terlalu Banyak: Penyebab Menurunnya Produktivitas Dosen
Setidaknya ada dua kemungkinan yang bisa diidentifikasi, yakni faktor ekstrinsik yang berupa beban non-akademik dosen yang seperti berada di luar nalar kewajaran; dan faktor intrinsik dari dosen sendiri berupa sikap malas atau menyukai jalan pintas. Ini adalah soal mentalitas.
Pada aspek ekstrinsik, bisa dikatakan bahwa menjalankan fungsi pengajaran dan pendidikan memang tugas dasar seorang dosen. Akan tetapi, perlu juga disadari bahwa fungsi ini ternyata diiringi dengan aneka ragam kewajiban administratif sebagaimana disinggung di atas.
Namun, kerja administratif yang berkaitan langsung dengan pengajaran dan penelitian masih bisa dimaklumi. Maknanya, ada persoalan sistem dan lingkungan yang menjadikan pemenuhan tugas utama dosen oleh tangannya sendiri menjadi terhambat. Ini tidak berarti bahwa menempuh jalan pintas dengan alasan beban kerja berlebihan, bisa dibenarkan. Tentu saja, perjokian menuju profesor merupakan hal sangat memalukan.
Persoalan yang diungkap oleh Syamsul Rizal hanyalah satu contoh kecil. Sejumlah persoalan lain sebenarnya juga dengan mudah ditemukan dalam situasi yang sedemikian ini. Maka, agar persoalan-persoalan lain tidak menjadi praktik yang semakin meluas, menata sistem beban kerja dosen agar kembali kepada fungsi utamanya menjadi tak terelakkan. Jika persoalan ini tidak terpecahkan maka aneka problem dalam dunia pendidikan tinggi akan semakin kompleks, dan haluan pendidikan tinggi akan semakin tidak terarah.
Editor: Yahya FR