Oleh: Ilham Ibrahim
Salafi di Indonesia dan berbagai parade respon terhadapnya yang mulai menjarah dalam lingkup anggota Muhammadiyah di kanal Ibtimes, bisa dibilang terlambat. Telah banyak warga persyarikatan mulai yang terbuai dengan retorika fatwa gerakan salafi. Tapi memang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Gerakan salafi yang masif di tubuh persyarikatan memang layak untuk diwaspadai lantaran kita khawatir menemui kader Muhammadiyah yang memiliki kartu keanggotaan resmi tetapi ‘worldview’-nya salafi.
Memakai batik Muhammadiyah tapi meyakini mendengarkan musik hukumnya haram. Karena itulah pertama-tama kita harus mengetahui faktor-faktor pendulum apa yang membuat salafi terpatri di sebagian hati jamaah Muhammadiyah?
Algoritma Warga Muhammadiyah
Saya pernah ditugasi menjawab fatwa saat kuliah di Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah. Tidak sedikit dosen dan senior tarjih menyarankan agar menghindari kata-kata provokatif seperti, “Rasulullah tidak pernah mencontohkan…”, atau “Islam tidak pernah mengajarkan…”. Kalau kita membaca Himpunan Putusan Tarjih, akan sangat jarang kita menemui kata-kata yang provokatif dan tendensius seperti itu.
Alasan utamanya agar masyarakat dapat membaca sebuah fatwa dengan rasa nyaman, tenang, dan solutif. Untuk sebagian mungkin benar, tapi fatwa jenis seperti ini kurang diminati masyarakat yang lebih luas, lantaran seperti menonjolkan sikap kebimbangan tanpa ketegasan, dan seakan memperlihatkan perilaku yang tidak bersungguh-sugguh dalam beragama. Sebagian masyarakat menginginkan fatwa yang legalistik-formalistik, fatwa yang dilingkupi dengan serba kepastian.
Jamaah Muhammadiyah yang menyukai jenis fatwa yang serba ‘hitam-putih’ dan legalistik-formalistik inilah yang kemudian menjadi konsumen tetap dakwah salafi. Ada semacam ketidakpuasaan saat menemui fatwa tarjih, kemudian beralih ke dakwah salafi yang sukses memonopoli terma sunnah dan bid’ah ini. Mereka sukses membuat narasi protagonis dan antagonis dalam fatwa yang cukup membuat sebagian jamaah kita tergoda.
Salafi: Mudah Diterima
Betul apa yang disampaikan Niki Alma Febriana Fauzi, produk fatwa salafi lebih mudah ditemui di dunia digital dibanding fatwa-fatwa dari lembaga mainstream. Hal tersebut bukan karena mereka produktif membuat fatwa. Kalau boleh dibandingkan barangkali produksi fatwa majelis Tarjih itu lebih kaya dan lebih canggih dari fatwa salafi. Yang membuat mereka bertengger dipuncak pencarian google maupun youtube adalah mereka cakap memproduksi fatwa yang sesuai dengan (sebagian) algoritma jamaah kita.
Penyampaiannya yang menarik dan menggebu-gebu, bahasa yang diutarakan lebih sederhana sehingga mudah dipahami, ditambah selalu ada nuansa ‘musuh’ dalam setiap fatwa yang disampaikan. Dengan model seperti ini aroma amar ma’ruf nahi munkar-nya benar-benar terasa. Alam bawah sadar sebagian warga persyarikatan kita menyukai jenis fatwa yang dibawakan dengan model begini.
Sementara fatwa Muhammadiyah selain sulit diakses juga konten di dalamnya sangat kontra dengan (sebagian) algoritma jamaah Muhammadiyah. Padahal sejak dulu Muhammadiyah paham bahwa fatwa merupakan persimpangan jalan antara teori hukum dengan realitas sosial. Sehingga dalam teknis penulisan fatwa harus diselaraskan dengan algoritma warga persyarikatan Muhammadiyah. Namun apakah fatwa Majelis Tarjih perlu mengikuti model fatwa salafi yang non-compromise?
Memahami Ijtihad Jama’i vs Ijtihad Spontan
Pembentukan majelis tarjih yang secara resmi berdiri pada tahun 1928 mencerminkan bangkitnya satu bentuk musyawarah, atau sebuah lembaga yang dirancang untuk mengakomodasi konflik dan perbedaan pendapat dalam persoalan keagamaan. Langkah majelis tarjih dengan jalan ijtihad jama’i seperti ini pada masanya dianggap metode paling berkemajuan karena produk fatwanya tidak mungkin hasil monopoli diri sendiri dan mustahil terpapar bias persona. Sebelumnya masyarakat meminta fatwa pada seorang kyai, mufti dan tokoh masyarakat.
Di era digital seperti ini, tren meminta fatwa pada persona mulai tumbuh subur kembali yang umumnya dinahkodai oleh ustadz-ustadz salafi. Setiap kajian yang mereka selenggarakan selalu ada sesi tanya jawab yang berpautan dengan hukum. Keuntungan dari “ijtihad spontan” seperti ini menjawab permasalahan masyarakat secara nyata dan langsung. Metode seperti inilah yang disukai masyarakat kita karena tidak perlu energi menunggu sebuah fatwa.
***
Sementara itu, produksi fatwa melalui mekanisme ijtihad jama’i di zaman digital seperti ini mungkin perlu diperbaharui kembali karena seringkali terhambat dengan berbagai teknis seremonial. Warga persyarikatan yang membutuhkan legalitas hukum atas suatu persoalan harus menunggu lama sampai sidang fatwa Tarjih menemui kata sepakat. Bahkan tidak sedikit kasus yang sampai sekarang mandeg belum ada kejelasan legalitasnya, karena anggota sidang fatwa tarjih sendiri berbeda pandangan.
Zaman sekarang masyarakat kita ingin mendapatkan jawaban secara langsung, tiga menit sejak pertanyaan itu diucapkan. Mereka tidak ingin menunggu lama apalagi harus melalui serangkaian administrasi. Ketika era digital menuntut persebaran informasi harus serba cepat, majelis tarjih dengan metode ijtihad jama’i-nya tidak mampu bersaing dengan kecepatan ijtihad spontan. Hal inilah yang kemudian membuat masyarakat kita lebih memilih fatwa yang cepat saji, dibanding fatwa hasil dialektik. Dengan demikian pertanyaannya adalah apakah Majelis Tarjih harus meninggalkan ijtihad jama’i?
Menjawab Tantangan
Pertama-tama kita harus mengakui bahwa persebaran fatwa tarjih kalah dibandingkan salafi karena dua faktor di atas; pertama, mereka sukses menggaet “pasar Muhammadiyah” dengan jalan dakwah yang legalistik-formalistik; kedua, mereka menggunakan “ijtihad spontan” yang mampu secara langsung menjawab persoalan nyata masyarakat. Pertanyaannya, apakah Muhammadiyah perlu melakukan copy paste cara-cara salafi dalam persebaran fatwa?
Pertama, fatwa yang serba legalistik-formalistik memang bukan ciri khas produk pemikiran Majelis Tarjih. Menurut Niki Alma Febriana Fauzi, praktek “santun” inilah yang menjadi keunggulan Majelis Tarjih dibanding lembaga fatwa lainnya. Karena itu, sekiranya majelis tarjih dipaksa untuk melahirkan fatwa-fatwa yang ‘hitam-putih’, meninggalkan watak aslinya sebagai penjaga gawang paham wasathiyah, maka hal tersebut justru bertentangan dengan semangat Islam Berkemajuan.
Selain itu, sekiranya Majelis Tarjih tidak mendapat tempat di hati sebagian warga Muhammadiyah yang beralgoritma legalistik-formalistik, maka yang perlu dilakukan adalah memberikan kenyamanan akses bagi warga persyarikatan yang masih beralgoritma wasathiyah. Kenyamanan akses ini bisa berupa esai fatwa populer, atau video animasi singkat. Karena itulah, Majelis Tarjih tidak perlu meninggalkan jubah aslinya sebagai benteng pertahanan moderat dalam Muhammadiyah, yang perlu dilakukan adalah membingkai fatwa dengan sekreatif mungkin.
***
Kedua, persebaran fatwa tarjih sebetulnya bukan hanya milik tanggungjawab Majelis Tarjih tetapi juga Majelis Tabligh. Asalkan para muballigh Muhammadiyah paham dengan berbagai putusan dan fatwa tarjih, maka Majelis Tarjih tidak perlu meninggalkan metode istinbath hukum ijtihad jama’i. Telah banyak putusan dan fatwa tarjih yang membahas segala problema nyata dalam masyarakat hasil dari sidang fatwa tarjih, namun yang kurang adalah masivitas penyebarannya.
Karena itu, tugas segenap warga Muhammadiyah secara umum dan para muballigh Muhammadiyah secara khusus harus menguasai fatwa-fatwa tarjih yang berkaitan dengan persoalan nyata dalam masyarakat. Ketika ada pertanyaan yang dilayangkan, kita mampu menjawab hal itu dengan fatwa tarjih. Kalau pun ada pertanyaan yang tidak memiliki presedennya dalam putusan maupun fatwa tarjih, maka tugas para muballigh menjawab hal tersebut dengan mengacu metode manhaj tarjih Muhammadiyah, sambil menunggu hasil ijtihad jama’i.
Dengan demikian, untuk membendung masifnya fatwa salafi dalam tubuh Muhammadiyah adalah memperkuat berbagai putusan dan fatwa tarjih yang memiliki semangat Islam Berkemajuan. Bolehlah kita menggunakan cara-cara salafi tapi tetap tidak meninggalkan identitas asli Muhammadiyah.
*Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah