Tajdida

Muhammadiyah: Tajdid Irfani Sebagai Alternatif

7 Mins read

Irfani—Muhammadiyah lahir dari sebuah kesadaran untuk membangkitkan umat Islam agar mampu bersaing dengan bangsa Barat yang lebih maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak negara muslim di seluruh dunia berada di bawah kekuasaan bangsa-bangsa Eropa. Seperti Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol dan Portugis.

Kelebihan bangsa Eropa atau Barat terletak kepada penguasaan teknologi dan ilmu pengetahuan, yang dimulai dengan penemuan kompas dan mesiu yang diikuti dengan industrialisasi. Sementara itu, umat Islam masih berkutat dengan pikiran-pikiran keagamaan ala abad pertengahan. Yang meskipun sedemikian canggih diskursusnya, tetapi lebih banyak berorientasi kepada pemikiran dan penghayatan keagamaan. 

Spirit Pembaharuan Pemikiran Keagamaan Muhammadiyah

Semangat yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan pemikiran keagamaan dengan membuka diri terhadap pengaruh Barat modern sebagai cara untuk bisa bersaing. Sejak awal, Majelis Tarjih membedakan antara wilayah dunia dan agama dalam “Masalah Lima”. Yang pertama adalah wilayah rasional yang oleh Nabi Muhammad dikatakan: “Engkau lebih tahu mengenai urusan duniamu.” Wilayah dunia inilah yang menjadi medan bagi dinamisasi kemajuan kehidupan sosial.

Sementara itu, wilayah agama adalah perintah dan larangan agama dalam Al-Qur’an dan sunnah yang sahih serta petunjuk untuk kebaikan manusia sesuai syariat Allah dengan perantaraan Nabi-Nya (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2016: 278). Wilayah agama inilah yang menjadi obyek bagi purifikasi agar upaya manusia mendekat kepada Tuhan sejalan dengan tata cara yang diajarkan oleh agama dan dalam keyakinan yang diajarkan oleh agama.

Akidah, misalnya, adalah wilayah sam’iyyat (yang dasarnya atas khabar dari wahyu dan hadis). Islam saat berinteraksi dengan berbagai kebudayaan, pasti bersentuhan dengan berbagai keyakinan dan ritus yang ada di masyarakat. Dalam konteks tersebut, purifikasi menjadi sarana agar keyakinan dan ritus yang ada di masyarakat tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Melalui pembedaan antara wilayah dunia dan wilayah agama tersebut, Muhammadiyah bisa bergerak bebas untuk mengikuti perkembangan zaman, sambil tetap mempertahankan spirit keagamaan. Modernisasi “yes” dan kembali kepada ajaran dasar agama juga “yes”. Sehingga tidak mudah terjebak dalam sekulerisme dalam kehidupan bermasyarakat dan tidak pula terjebak dalam pemahaman Islam yang sempit, hanya sebagai peninggalan masa.

Dinamisasi kehidupan dunia memungkinkan pengembangan layanan sosial yang mendorong kemajuan umat Islam, tanpa mentabukan adaptasi dari pengaruh Barat sekalipun. Sebaliknya, purifikasi mendorong dakwah dan Islamisasi sosial. Sehingga ajaran Islam merasuk dan mengakar dalam keyakinan dan amaliyah masyarakat.

Persoalan Pembaharuan yang Kembali Muncul

Namun, sejak tahun 1980-an persoalan pembaharuan (tajdid) kembali mengemuka. Muncul kekhawatiran bahwa pembaharuan di dalam diri Muhammadiyah sudah stagnan. Pengembangan layanan pendidikan Islam sudah menjadi minat dan perhatian umum di masyarakat, demikian pula dengan kesehatan.

Terlebih, pemerintahan Orde Baru fokus untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju. Muncul kegelisahan mengenai pembaharuan apa lagi yang hendak ditawarkan oleh Muhammadiyah yang lahir sebagai pembawa pembaharuan dalam bidang sosial-keagamaan.

Baca Juga  Kembali ke Muhammadiyah: Lupakan Rekonsiliasi, Mari Konsolidasi

Persoalannya boleh jadi terletak kepada bagaimana pembaharuan itu didefinisikan. Jika pembaharuan hanya dipahami sebagai upaya untuk menyesuaikan pemahaman ajaran agama dengan modernisasi, maka modernisasi saat ini telah mencapai titik jenuh. Di Barat pun, orang sudah lama berseru tentang datangnya era post-modern berdasarkan pandangan bahwa modernitas memiliki kelemahan dan keterbatasan pula.

Jika pembaharuan dipahami sebagai pembaharuan pemikiran keagamaan, maka pada tahun 1990-an berkembang upaya di kalangan intelektual muslim untuk melakukan pembaharuan pemikiran keagamaan. Sebagaimana dilakukan oleh Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, Abdellahi Ahmed an-Naim, dan Mohammed Arkoun. Semangat para pemikir tersebut adalah untuk mendialogkan kembali antara turats (warisan peradaban Islam) dengan tajdid (pembaharuan) atau hadatsah (modernitas).

Pemikiran-pemikiran itu cukup berpengaruh di kalangan para akademisi dan kalangan terdidik muslim di Perguruan Tinggi Agama Islam dan mengilhami peninjauan kembali terhadap pemahaman pemikiran Islam. Namun, gagasan itu bukanlah hal baru dalam pembaharuan di tubuh Muhammadiyah. Mengingat Kiai Ahmad Dahlan sudah mengupayakan agar pendidikan yang ia selenggarakan di rumahnya tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu umum.

Kiai Ahmad Dahlan juga mengupayakan agar sekolah-sekolah Pemerintah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu umum memasukkan mata pelajaran agama. Pun, pemahaman agama terhadap agama dikembalikan kepada pemahaman nash untuk membuka pintu penafsiran Islam yang relevan dengan kemajuan. Lalu pembaharuan keagamaan apa yang dibutuhkan oleh Muhammadiyah?

Kebutuhan Akan Spiritualitas

Sejak tahun 1980-an, seiring dengan modernisasi pada masa Orde Baru, muncul kebutuhan dan semangat pencaharian kepada spiritualitas. Spiritualitas menjadi kebutuhan yang semakin dirasakan oleh kalangan menengah ke atas.

Djarnawi Hadikusomo dalam Suara Muhammadiyah No. 5 Maret 1980 mengemukakan keprihatinannya mengenai persoalan spiritualitas di tubuh Muhammadiyah. Ia melihat fenomena menipisnya jiwa keagamaan di amal usaha Muhammadiyah, hilangnya kesadaran spiritual, dan mudahnya tergoda oleh duniawi (dalam Hasyim, 1990: 11-12).

Pada tahun 1995 Haedar Nashir mengungkapkan persoalan “Muhammadiyah dan Rekonstruksi Spiritualitas Islam dalam Kehidupan Modern.” Ia melihat tumbuhnya minat di kalangan urban dan kaum terpelajar terhadap tasawwuf (Haedar Nashir, 2000: 13). Persoalannya, warga Muhammadiyah sangat menghindari mistisisme yang mengandung keyakinan-keyakinan yang dipandang asing dari Islam, seperti wahdatul wujud.

Sejak tahun 1980-an hingga 1990-an, diskusi mengenai tajdid dan autokritik terhadap kondisi persyarikatan, mengemuka. Perkembangan pemikiran keagamaan yang datang dari luar negeri maupun revitalisasi pemikiran di dalam negeri menarik minat warga Muhammadiyah sehingga warga Muhammadiyah kadang merasa menemukan oase keagamaannya di sana.

Kritikan dari kalangan internal atau eksternal itu terjadi sampai tahun 2000-an sebagai konsekuensi logis dari pencarian kembali elan vital Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan. Pada saat tawaran Muhammadiyah untuk kembali ke Al-Qur’an dan sunah, untuk mengembangkan pendidikan yang berkualitas, dan untuk menyediakan layanan kesehatan dan sosial telah diterima luas dan diikuti berbagai elemen kelompok Islam lainnya, apa lagi yang menjadi ruh pembaharuan Muhammadiyah?

Lahirnya Semangat Keagamaan Baru

Di sisi lain, muncul kebangkitan keagamaan di kalangan masyarakat Indonesia. Julia Day Howell, peneliti dari Australia, menemukan fenomena urban sufism, yaitu proses pencaharian spiritualitas di kalangan masyarakat urban.

Baca Juga  Bukan dengan Qunut, Ini Cara Muhammadiyah Hadapi Corona

Kecenderungan itu berjalan bersama dengan gerakan kebangkitan Islam yang nampak dari tumbuhnya masjid-masjid, popularitas jilbab, dukungan terhadap hukum Islam, semangat menjalankan ritual (shalat dan puasa), hingga semangat untuk mewujudkan ekonomi Islam (Howell, 2001: 701).

Kampus-kampus umum, yang dahulu asing dari kegiatan keagamaan, berkembang menjadi sentra bagi gerakan-gerakan tarbiyah dan halaqah pada tahun 1980-an dan 1990-an. Yang juga mengembangkan gagasan mengenai tazkiyah al-nafs (pembersihan diri).

Kelahiran semangat baru keagamaan itu menarik pula para pemuda Muhammadiyah untuk bergabung. Banyak generasi Muhammadiyah menemukan oase spiritualitas di gerakan-gerakan Islam tersebut dan seolah menemukan kembali spirit keagamaan, di saat Muhammadiyah mulai terserap dalam beban birokratisme dan pengelolaan praktis aset-asetnya.

Pertanyaan itu membawa kepada introspeksi apakah pembaharuan harus dimaknai sebagai kemajuan material/duniawi atau bisa dimaknai pula sebagai penemuan kembali dimensi keagamaan. Jauh-jauh hari, HAMKA melihat bahwa persoalan manusia modern adalah ketenangan, kebahagiaan, dan perasaan aman.

Tahun 1952, HAMKA menulis buku berjudul Tasauf dari Abad ke Abad. Ia melihat bahwa dunia sudah maju, dengan ditemukannya kapal terbang, radar, piring terbang, bom atom, radio, televisi, dan beratus alat baru untuk kesenangan hidup. Namun, setelah kesenangan dunia dipenuhi, muncul perasaan kurang dalam hidup dan kejemuan. Ia mengatakan:

Sekarang ternyata bahwa memperturutkan hidup kebendan saja telah menimbulkan kejemuan besar. Nyata bahwasanya puncak keindahan bukanlah terletak pada barang, pada lux dan elit, pada rumah bagus dan kecepatan perhubungan belaka. Pada kemudahan hidup dan kepuasan nafsu kelamin (sexapel). Sekarang mulai timbul sanggahan (reaksi) kepada kehidupan benda yang demikian (Hamka, 1952: 10-11).

HAMKA sejak lama merumuskan tawaran bagi manusia modern yang merasakan kehilangan sesuatu dalam dirinya di tengah pencapaian duniawinya. HAMKA menulis Tasawuf Modern pada tahun 1939 yang awalnya dari rubrik di majalah Pedoman Masyarakat. 

Reformasi Politik dan Pendekatan Kajian Agama

Reformasi politik di Indonesia tahun 1998 membawa masyarakat Indonesia ke dalam situasi chaotik. Konflik sosial dan politik serta kerusuhan sosial terjadi di berbagai tempat dan berbagai level. Kegoncangan sosial akibat gerakan Reformasi melahirkan pencarian kepada petunjuk-petunjuk agama yang praktis dan bermanfaat.

AA Gym, misalnya, menjadi populer dengan tips sederhana dalam menghadapi hidup, yaitu mulailah dari diri sendiri, mulai dari yang sederhana, dan mulailah sekarang. Demikian pula, muncul panduan-panduan shalat khusyu hingga panduan shalat tahajud yang inspiratif.  

Manhaj Tarjih Muhammadiyah menjadi ujung tombak untuk mendefinsikan kembali posisi Muhammadiyah dalam persoalan tajdid. Pada Munas Tarjih ke-24 Malang, lahir usulan mengenai pengembangan pendekatan dalam kajian agama ke dalam pendekatan bayani, burhani, dan pendekatan irfani. Yang ketiga istilah itu dipopulerkan oleh Muhammad Abid al-Jabiri.

Pendekatan bayani dan burhani dapat diterima dengan mudah karena telah menjadi spirit dan praktik yang berkembang di kalangan warga Persyarikatan. Namun pendekatan irfani masih menjadi bahan polemik. Hingga akhirnya, pada Munas Tarjih ke-25 di Jakarta, diterimalah bayani, burhani, dan irfani sebagai pendekatan tajdid dan sekaligus sebagai pendekatan dalam istinbath  hukum dan pendekatan dalam tajdid.

Irfani di Muhammadiyah

Irfan dalam konsep klasik diartikan dengan kasyf atau pengetahuan langsung yang diperoleh melalui olah batin, namun pemaknaan irfani di Muhammadiyah menjadi masih dalam proses. Pendekatan irfani oleh para tokoh Muhammadiyah diberikan tafsir beragam, mulai dari ihsan, mengambil nilai utama dari agama, maupun zuhud.

Baca Juga  Makna Gelar Almarhum dan Almarhumah

Pendekatan irfani, menurut Syamsul Anwar, adalah upaya untuk meningkatkan kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin melalui pembersihan jiwa dengan bersandar kepada dimensi nurani, bukan kepada akal. Pendekatan irfani bisa dipergunakan secara mandiri atau bersinergi dengan pendekatan bayani dan burhani (Anwar, 2018: 27).

Pendekatan irfani sebagai landasan spiritual sebenarnya bukanlah hal asing di Muhammadiyah.  Kiai Ahmad Dahlan mengajarkan keruhanian itu kepada para muridnya. Kepada KRH Hadjid, musalnya, Kiai Ahmad Dahlan mengajarkan  penyucian diri dari selain Allah dan mengisi diri dengan zikir, shalat, dan ingat kepada hari akhir serta menegakkan tauhid dengan mengatasi hawa nafsu yang menghalangi ibadah kepada Allah (Hadjid, 2018: 68-69). Perumusan pendekatan irfani di Muhammadiyah bisa dipahami sebagai penemuan kembali spirit Kiai Ahmad Dahlan tersebut.

Tantangan bagi pimpinan dan warga Muhammadiyah saat ini adalah bagaimana mengembangkan kembali spirit irfani itu agar lebih hidup. Meskipun sudah diterima dan masuk pula dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, penjabaran terhadap  paradigma irfani berjalan secara lambat. Hal itu menjadi tantangan bagi kaum muda untuk turut merumuskan dan mengembangkan paradigma irfani agar mampu menguatkan spiritualitas dan mengkayakan dimensi batin warga Muhammadiyah.

Penutup

Muhammadiyah adalah organiasi keagamaan yang sudah berdiri lama di atas landasan cara pandang keagamaan, Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan, bukan organisasi profesi. Sehingga amal usaha dan layanan Muhammadiyah adalah pengejawantahan dari  penghayatan keagamaan.

Sejak awal berdiri, Muhammadiyah mengamalkan ajaran agama, sebagaimana Kiai Ahmad Dahlan mengajak para muridnya untuk menerapkan surat al-Maun dalam kehidupan sehari-hari yang melahirkan amal sosial. Oleh karena itu, pandangan keagamaan menjadi sentral dalam arah gerakan Muhammadiyah.

Usaha untuk melakukan pembaharuan kembali di tubuh Muhammadiyah pun tidak bisa lepas dari upaya perumusan ulang pandangan keagamaan. Beban untuk merumuskan kembali arah tajdid di Muhammadiyah diberikan kepada Majelis Tarjih sehingga Majelis Tarjih sempat diberi tambahan nama Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI), lalu menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT). Rumusan tajdid oleh Majelis Tarjih dan Tajdid membuka ruang bagi pembaharuan yang mengarah kepada perbaikan dimensi spiritualitas melalui pendekatan irfani.

Penemuan pembaharuan spiritual tidak dimasudkan untuk mengabaikan pencapaian dalam pembanguna  material dan sosial, melainkan untuk menyeimbangkan pembaharuan fisik dan spiritual dan menjadikan agama sebagai pijak untuk pembaharuan kehidupan sosial.

Editor: Yahya FR
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *