Niat merupakan salah satu aspek penting dalam ibadah bagi umat Islam. Niat selalu menjadi salah satu rukun ibadah. Bahkan, selalu diletakkan di urutan pertama, seperti dalam wudu, salat, puasa, dan lain-lainnya.
Secara bahasa, niat adalah al-qashd (maksud) dan `azm al-qalb (tekad hati). Sedangkan secara istilah, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Syafi’i, niat berarti bermaksud untuk mengerjakan sesuatu.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), niat dimaknai sebagai maksud atau tujuan suatu perbuatan; kehendak (keinginan dalam hati) akan melakukan sesuatu.
Sebagaimana dijelaskan dalam detiknews yang mengutip al-Dardir dalam kitabnya al-Syarh al-Kabīr bahwa jumhur fukaha (para ahli fikih), selain mazhab Hanafi, menyatakan hukum niat adalah wajib apabila menjadi syarat sah sebuah amal (perbuatan), seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lainnya.
Pentingnya Niat
Pentingnya niat dijelaskan dalam sebuah hadis garīb . Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahīh-nya melalui sahabat Umar bin Khattab. Satu hadis yang kemudian menjadi masyhur di kalangan umat muslim berkat Imam al-Nawawi melalui kitab hadis al-Arba’ūn-nya. Hadis tersebut berbunyi:
عن أمير المؤمنين أبي حفص عُمَرَ بْن الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari Amirul mukminin, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu (diperhitungkan) tergantung niatnya. Dan bagi setiap orang hanyalah apa yang dia niatkan. Barang siapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang akan dia dapatkan, atau perempuan yang akan dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang telah dia hijrahkan (maksudkan).”
Imam al-Nawawi meletakkan hadis tersebut sebagai pembuka bagi lebih dari 40 hadis penting berikutnya. Selain dalam kitab al–Arba’ūn-nya, Imam al-Nawawi juga meletakkan hadis di atas pada bagian pertama kitab atau karyanya yang lain, seperti dalam Riyādh al-Shālihīn (hadis nomor 1) dan al-Adzkār (hadis nomor 2).
Alasan mengapa hadis tersebut selalu dituliskan di awal kitab dijelaskan oleh Imam al-Nawawi dalam kitabnya yang lain, yaitu Ādāb al-‘Ālim wa al-Muta’allim, pada bagian mukadimah yang dia beri sub-judul “Tentang Keikhlasan, Kejujuran, dan Keteguhan Niat”.
***
Menurut Imam al-Nawawi, niat merupakan salah satu prinsip keimanan, perangkat dasar bagi pilar-pilarnya, serta juga penegas bagi rukun-rukunnya. Selain itu, alasan lain bagi Imam al-Nawawi untuk menuliskan hadis tersebut di awal karya-karyanya adalah karena sikap ittiba` (mengikuti) kepada para imam dan ulama terdahulu (salaf), salah satunya adalah Imam al-Bukhari yang menjadikan hadis tersebut sebagai hadis pertama dalam kitab Shahīh-nya.
Selain itu, Imam al-Nawawi mengatakan terdapat banyak riwayat yang menyebutkan bahwa para ulama salaf sering menuliskan hadis niat tersebut sebagai pembuka kitab-kitab mereka. Tujuannya adalah agar dapat menjadi pengingat akan pentingnya kesahihan dan keikhlasan niat, yaitu untuk mengharap rida Allah semata.
Karenanya, beberapa ulama menganjurkan agar menjadikan hadis niat sebagai pembuka bagi segala karya tulis. Abu Sa’id Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Jika aku menyusun sebuah kitab (buku), aku selalu menuliskan hadis (niat) ini di awal setiap babnya”. Dia juga berkata, “Barang siapa yang hendak menyusun sebuah buku, hendaklah dimulai dengan hadis ini”.
Ada juga Ahmad bin Ibrahim al-Syafii yang menyatakan hal serupa. Dia berkata, “Ulama terdahulu senang mendahulukan hadis al-a`mālu bi al-niyyāt di hadapan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara agama.”
Karena hadis tersebut sangat berkaitan erat dengan keikhlasan, Imam al-Nawawi kemudian mengutip banyak pendapat dari para `ārifin mengenai keikhlasan. Di antaranya adalah perkataan Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi bahwa, “Keikhlasan adalah satu-satunya kebenaran dalam ketaatan”.
Keterikatan antara niat dan keikhlasan juga dijelaskan oleh Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qāsī dalam kitabnya Mau’izhah al-Mu’munīn min Ihyā’ `Ulūm al-Dīn dalam sebuah bab yang diberi judul Kitāb al-Niyyah wa al-Ikhlāsh wa al-Shidq. Beliau berkata, “seseorang tidak berniat apa pun kecuali untuk beribadah kepada Allah”.
***
Al-Qāsī juga menerangkan bahwa memperbanyak niat dalam satu ibadah dapat melipat gandakan keutamaan yang didapat. Beliau berkata, “Sesungguhnya, satu ketaatan bisa diberi niat baik yang banyak. Akan menjadi satu pahala bagi pelakunya dari setiap niat yang baik itu. Masing-masing (dari pahala itu) akan menjadi satu kebaikan. Kemudian, setiap kebaikan akan berlipat ganda menjadi sepuluh (kebaikan) yang semisalnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis.”
Dengan demikian, jelaslah bahwa hadis niat merupakan salah satu hadis penting bagi pengarang kitab atau pun pembaca agar selalu ingat akan kesahihan dan keikhlasan niat dalam segala perbuatan.
Editor: Yahya FR