Jika kita masuk dalam bilik perempuan (baca: terkait seksualitas perempuan), masih banyak masyarakat kita yang menganggap hal tersebut tabu. Padahal masalah seksualitas apalagi mengenai perempuan seringkali menghadapi berbagai macam bias gender, tak terkecuali pada pemenuhan hak seksual.
Banyak diantaranya dalil-dalil keagamaan yang seakan melegitimasi kekuasaan laki-laki atas pemenuhan hasrat seksual. Seakan-akan yang hanya boleh menikmati hubungan seksual hanya laki-laki. Dalam pandangan ini, tentu saja perempuan hanya menjadi objek seksual.
Nahasnya, masyarakat kita masih memandang hal tersebut sebagai sebuah hal yang normal. Bahwasanya laki-laki diciptakan Tuhan dengan berbagai keunggulannya diatas perempuan. Argumen yang disampaikan seringkali berkaitan dengan kemampuan fisik dan kognitif perempuan. Namun, apakah kelebihan itu bisa dijadikan dasar dalam melakukan tindakan diskriminatif? tentunya tidak sama sekali!
Laki-laki seakan memiliki akses secara penuh pada pemanfaatan hasrat seksual atas perempuan. Namun, mengapa hal yang sebaliknya tidak terjadi? tulisan ini berupaya mengupas mengenai ketidakadilan berbasis gender dalam aspek pemenuhan hak seksual perempuan yang sering terabaikan.
Mengakarnya Kultur Patriarki
Berbagai pemikiran feminis berupaya menyelesaikan permasalahan ini dengan berbagai macam teorinya, mulai dari liberal sampai radikal. Namun, akar patriarki yang sudah ditanamkan selama ratusan tahun, ternyata sudah tumbuh begitu dalam pada aspek ekonomi, budaya, politik dan terkhusus seksualitas.
Pandangan patriarki tersebut telah menghadirkan diskriminasi pada gender. Pandangan bahwa laki-laki punya derajat lebih tinggi dari perempuan telah menjadikan laki-laki superior di segala lini. Padahal jika kita menggunakan paradigma tauhid, maka perbedaan derajat itu tidak akan pernah ada.
Belum lagi sumber-sumber keagamaan yang kemudian seakan mengafirmasi sifat superioritas tersebut. KH. Husein Muhammad dalam bukunya “Islam Agama Ramah Perempuan” menjelaskan tiga sebab diantaranya, Pertama adanya kesalahan interpretasi terhadap ayat-ayat tersebut sehingga berlawanan dengan prinsip keadilan, kedua penafsiran yang eklektik dan partikular sehingga tidak mengakomodasi visi keadilan dan ketiga menjadikan dalil-dalil lemah dan palsu sebagai sumber.
Penafsiran-penafsiran yang dihasilkan dari penafsir yang dominan laki-laki itu turut membawa pandangan patriarki dalam produk-produknya. Inilah yang kemudian dikritik beberapa tokoh feminis, salah satunya Amina Wadud agar mengkaji ulang penafsiran-penafsiran yang berpotensi mendiskriminasi tersebut, yaitu lewat tafsir emansipatoris.
Hasrat Seksual, Kenapa Hanya Laki-laki yang Menikmati?
Dalam beberapa literatur keagamaan yang membahas mengenai hubungan suami-istri, seringkali istri diposisikan sebagai objek pemenuhan seksual saja bagi suami. Perempuan seakan-akan tidak boleh menikmati proses hubungan tersebut. Salah satu dalil yang memperkuat itu adalah;
“Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, lalu ia menolaknya dan (karena itu) suami menjadi marah, maka malaikat akan melaknat istri tersebut sampai pagi” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalil di atas jika dibaca secara tekstualis tentu menyimpan pesan kuat mengenai superioritas laki-laki terhadap Perempuan. Tentunya pandangan ini tidak bisa kita setujui, dalam hubungan seksual kedua orang yang terlibat harus benar-benar menikmati. Jangan sampai ada salah satu pihak yang tertekan akibat pemaksaan yang dilakukan.
Perempuan dalam hal ini berhak melakukan penolakan jika dirinya merasa bahwa kondisi badan sedang tidak baik atau kelelahan, dan laki-laki harus bisa memahami alasan-alasan logis tersebut. Bagaimanapun juga wanita, tetap bisa merasakan lelah dan sakit layaknya manusia biasa.
Ulama-ulama empat mazhab dalam persoalan ini mengafirmasi bahwa yang bisa menuntut untuk melakukan hubungan seksual hanyalah laki-laki kecuali Imam Malik. Dalam pandangan Imam Malik, suami wajib memenuhi keinginan istri dalam melakukan hubungan seksual apabila ditakutkan bila nantinya penolakan tersebut akan berakibat buruk bagi perempuan.
Belum lagi menyoal sunat perempuan yang ada di masyarakat. Dalam Islam (Hadis dalam kitab Abu Dawud dengan derajat lemah) anjuran mengenai sunat perempuan tidak disunahkan melainkan hanya mubah. Salah satu alasan diberlakukannya sunat pada perempuan adalah untuk mengontrol hasrat seksualnya. Lagi-lagi ini telah menyimpang dari pandangan bahwa dalam relasi seksual, kedua belah pihak harus dapat menikmati hubungan tersebut. Wanita dipaksa tunduk sebagai objek dalam pemuasan hasrat seksual. Adapun dari segi medis, praktek ini ternyata lebih banyak mendatangkan mudharat bagi perempuan.
Hubungan Suami Istri itu Saling Melengkapi
“Dia adalah pakaian bagimu, dan engakau adalah pakaian baginya” (Al-Baqoroh 187).
Dalam tafsir Ibnu Katsir, makna libas diartikan sebagai pembawa ketenangan dan juga selimut. Penggunaan kata “libas” juga diartikan oleh sebagian ulama sebagai pelindung dan bersifat timbal balik. Dalam hal ini, suami wajib melindungi istri dan istri juga wajib melindungi suami. Hubungan yang dilandaskan atas perasaan sama-sama memiliki dan mencintai, saya kira tidak akan memunculkan diskriminasi sama sekali.
Meskipun saya sekalipun belum merasakan ibadah nikah, namun saya amat yakin bahwa, cita-cita Islam adalah membentuk masyarakat yang adil dan sejahtera. Jika pandangan diskriminatif tersebut diteruskan, maka boleh jadi kita sedang berada di luar track yang diinginkan Islam. Kita harus segera mengakhiri pandangan-pandangan yang meletakkan perempuan pada kelas dua, apalagi soal relasi suami-istri.
Wallahu’alam bishawab
Editor: Faiz