Beragam spekulasi menyeruak saat terjadi sebuah ledakan besar di Lebanon Selasa (4/8) sekira pukul 18.04 waktu setempat. Hal ini dikarenakan Beirut memang kental dengan aroma konflik. Baik dalam maupun luar negeri. Pertikaian Sunni-Syiah maupun sedikit friksi dengan Israel. Tidak mengherankan jika dunia internasional banyak mengeluarkan dugaan di balik aksi yang menewaskan 154 orang hingga tulisan ini diketik.
Faktor Ledakan Lebanon
Apabila ledakan hebat tersebut benar-benar akibat bahan rawan meledak yang tersimpan di pelabuhan maka dugaan negatif publik mancanegara harus dihentikan. Tugas utama pihak berwenang adalah mengusut tuntas kelalaian pelaku hingga menyebabkan puluhan nyawa melayang. Apalagi Dewan Keamanan Tinggi Lebanon menyatakan negara dalam keadaan gawat selama 14 pekan ke depan.
Namun, jika guncangan dahsyat tersebut ada faktor kesengajaan atau katakanlah memanfaatkan amonium nitrate yang rentan meledak untuk membuat kegaduhan baru maka ini yang patut diperbincangkan. Lalu pertanyaan yang mendasar adalah, mengapa harus Lebanon?
Kenapa bukan Syria yang memang belum pulih dari konflik sebagai ekses dari Musim Semi Arab? Mengapa bukan Iraq yang selalu disibukkan dengan konflik dalam negeri setelah tidak berdaya pasca invasi Amerika Serikat tahun 2003 lalu? Kenapa juga bukan Palestina yang belum mampu berdiri sendiri sebagai negara merdeka dan selalu di bawah tekanan Israel? Mengapa juga bukan Yaman yang dari sekte Syiah Houthi sempat kontak senjata dengan Arab Saudi?
Dugaan terhadap Ledakan
Ada beberapa dugaan yang menyelinap di balik alasan Lebanon yang harus digoyang jika memang ada unsur kesengajaan dalam ledakan yang sempat melukai WNI tersebut.
Pertama, faktor Israel. Sebagaimana diketahui, Lebanon dan Israel masih belum bersepakat bulat mengenai hak atas Dataran Tinggi Golan. Wilayah yang konon sangat indah ini masih dalam sengketa. Jika dilihat di peta Google maka tertulis bahwa Golan Heights adalah wilayah internasional. Sama dengan Jerusalem. Dataran Tinggi Golan berada di perbatasan kedua negara. Sehingga wajar jika menjadi rebutan.
Kedua, keberadaan Hizbullah. Pasukan subversif ini beraliran Syiah. Berbeda dengan kepala pemerintahan Lebanon yang Sunni. Berkali-kali Hizbullah melakukan percobaan gangguan keamanan dalam negeri meskipun dengan skala kecil. Kelompok yang dalam bahasa Indonesia berarti Partai Allah ini termasuk salah satu proxy dalam perebutan hegemoni atas Timur Tengah. Sebagaimana diketahui, Hizbullah adalah anak emas Iran yang sama-sama Syiah. Teheran sendiri sering berkiblat ke Rusia sebagai mentornya. Sedangkan pemerintah Lebanon didominasi oleh Sunni.
Israel sampai detik ini tidak merasa nyaman dengan tetangganya tersebut. Apalagi dengan kelompok Hizbullah yang sering meluncurkan roket ke pemukiman Yahudi. Membalas secara sporadis seperti tembakan ataupun bom ke Palestina jelas tidak mungkin. Karena Lebanon adalah negara merdeka dan berdaulat. Belum lagi jika Tel Aviv melirik siapa di belakang Hizbullah yang tidak lain tidak bukan adalah Negeri Para Mullah.
Rabu (5/8) sore, Israel dan Hizbullah kompak membantah terlibat dalam ledakan mengerikan tersebut. Mungkin ada benarnya. Tetapi, publik harus ingat peristiwa penembakan pesawat komersil milik maskapai penerbangan Ukraina yang dilakukan oleh Iran 10 Januari 2020 lalu. Awalnya Teheran membantah aksi tersebut adalah ulah mereka. Akan tetapi keesokan harinya mereka mengakui kesalahan fatal karena mengira moda transportasi tersebut adalah pesawat musuh.
Provokasi hingga Lokasi
Ketiga, provokasi atas perdamaian antara Islam dan Kristen. Tidak dipungkiri lagi bahwa persentase umat Islam di Lebanon tidak sebesar negara-negara Arab lainnya. Bahkan hampir berimbang antara Islam dan Kristen. Beberapa penganut Kristen Maronite justru dapat duduk di pemerintahan dan memegang jabatan strategis. Banyak orang menyebut bahwa Lebanon memang Arab, namun tidak Arab-Arab banget. Hal yang perlu diperhatikan adalah tidak semua warga Arab merupakan penganut Islam.
Puncak keharmonisan antara Islam, khususnya Sunni dengan Kristen adalah berdirinya Masjid Mohammad al-Amin yang berada di pusat kota Beirut. Padahal Islam Sunni bukan mayoritas di ibu kota negara bernama Lubnan tersebut. Sebelumnya tempat ibadah ini merupakan sebuah mushalla tua dan kecil yang berada di pojok jalan. Namun, tahun 2008 lalu masjid ini resmi berdiri dengan sokongan penuh dari keluarga Perdana Menteri Sa’ad Hariri.
Bangunan ini sempat menimbulkan kontroversi meskipun pada akhirnya suasana berhasil dikondusifkan. Hal yang patut diapresiasi adalah Masjid al-Amin berada di samping Gereja St George. Sebuah simbol toleransi yang mengingatkan khalayak pada keberadaan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta. Berdampingan, tanpa ada perselisihan dan justru menunjukkan keharmonisan.
Keempat, berada di pesisir pantai. Sebagaimana diketahui bahwa negara-negara Timur Tengah yang berada di dekat perairan laut rentan terhadap konflik yang melibatkan pihak luar. Memori publik melayang ke masa saat Libya digoncang pasukan koalisi yang dikomandani Italia. Belum lagi Syria dan Palestina yang telah dijelaskan di atas.
Negara Arab yang berada di pesisir pantai memang rawan infiltrasi luar negeri. Kecuali negara-negara tersebut memang kuat secara ekonomi dan back-up nya. Seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, maupun Bahrain. Berbeda dengan negara yang termasuk kategori landlocked country. Jordania adalah contohnya. Amman memang cenderung aman. Karena perbatasan yang selalu terjaga rapat dan ketat.
Demikian ulasan ringan terkait ledakan Lebanon. Hingga tulisan ini tayang, otoritas Lebanon tegas menyatakan bahwa ledakan disebabkan kapal bermuatan bahan peledak. Namun, unjuk rasa masih mewarnai jalanan Beirut. Riak-riak politik mulai muncul. Semoga lekas terkuak penyebab utamanya.
Editor: Sri/Nabhan