Perspektif

Mengapa Harus Menolak Web of Science dan Scopus?

8 Mins read

“Publikasikanlah karya yang baik, di tempat yang baik, dengan cara yang baik, agar menghadirkan banyak hal baik.”

Saya berkenalan pertama kali dengan Web of Science (WoS) – saat itu masih bernama ISI Thomson Reuters – dan Scopus pada saat masih kuliah S2 tahun 2008. Namun, di kampus saya saat itu, mereka menggunakan Web of Science yang berbasis Impact Factor (IF) sebagai standar publikasi mereka, bukan Scopus.

IF menjadi standar penilaian Key Performance Index (KPI) penelitian dosen, serta persyaratan kelulusan mahasiswa S2 dan S3. Insentif publikasi artikel jurnal besarannya juga berdasarkan besarnya nilai IF jurnal yang mempublikasi. Karena kebijakan WoS ini, dosen dan mahasiswa sama-sama tertekannya. Namun, dengan alasan lebih sulit dan lama prosesnya, maka mulai 2015 mereka beralih dari WoS ke indeks Scopus yang berbasis Quartile (Q1 – Q4).

Menggenjot Publikasi di Scopus

Ketika kembali ke Indonesia pada tahun 2015, Kemenristekdikti sedang giat-giatnya menggenjot publikasi Indonesia melalui Scopus. Menteri Mohamad Nasir memiliki target di akhir 2019, jumlah dokumen Scopus Indonesia harus yang tertinggi di Asean. Scopus lalu menjadi syarat khusus kepangkatan, menjadi penentu kelulusan mahasiswa pasca, dan simbol pada kebanggaan dosen.

Bagi yang mampu publikasi di jurnal Q1, juga akan mendapatkan insentif yang fantastis dari Kemenristekdikti dan kampus masing-masing. Jurnal-jurnal terbitan Indonesia juga dibenahi agar segera terindeks di Scopus. Kampus-kampus juga berlomba-lomba memperbanyak dokumen Scopusnya agar memiliki peringkat terbaik di Sinta. Terbukti pada akhir 2019, Indonesia memang menjadi pemilik dokumen Scopus terbanyak di Asean. Dan memiliki 57 jurnal yang terindeks di Scopus.

Fenomena WoS dan Scopus tentu tidak mengagetkan saya. Karena saat menjalani S3, saya sudah diberi syarat kelulusan 2 jurnal berindeks WoS oleh Supervisor. Syukurnya, selama kuliah S3, sudah belajar menghasilkan beberapa artikel jurnal berindeks WoS dan Scopus, sebagai penulis pertama maupun sebagai penulis pendamping. Sebuah pengalaman yang unik untuk menjadi bekal dalam perjalanan karir akademik berikutnya.

Pelajaran penting yang saya dapatkan adalah bahwa mempublikasi artikel di jurnal berindeks WoS dan Scopus itu tidaklah mudah. Perlu materi penelitian yang berkualitas, serta kesabaran dalam proses persiapan artikel maupun tahapan revisi hasil review. Meski berjuang keras, namun setelah artikel terbit, ada rasa puas dan ingin segera publikasi kembali.

Mengapa Harus Scopus?

Terkait dengan kebijakan publikasi di jurnal Scopus, Indonesia sesungguhnya sudah agak terlambat beberapa tahun di belakang Singapura, Malaysia, dan Thailand. Mereka sudah memulainya sejak mereka memasuki persaingan QS World University Ranking. Di mana jumlah artikel dosen yang disitasi per fakultas menjadi poin penilaian dengan persentase sekitar 20%. Sitasi yang dihitung hanyalah sitasi pada dan oleh artikel yang terbit di jurnal berindeks WoS dan Scopus. Jadi tidak semata-mata berorientasi pada banyaknya dokumen Scopus, namun lebih berorientasi pada kualitas dokumen (jumlah sitasi). Bahkan di Singapore, mereka tidak begitu memperhatikan Scopus. Orientasi publikasinya selalu ke berbagai varian Nature, Science, Cell, dan lain-lain yang merupakan jurnal top di WoS.

Namun yang menjadi pertanyaan saya, mengapa Indonesia memilih menggunakan Scopus dan bukannya WoS yang lebih punya gengsi. Sebagai gambaran, ketika kita mengunjungi website sebuah jurnal dan memilih menu abstracted/indexed, dan melihat ada JCR dan koleksi utama WoS seperti Science Citation Index Expanded (SCIE)/Social Science Citation Index (SSCI)/Arts & Humanities Citation Index (AHCI), maka sudah pasti juga ada Scopus.

Baca Juga  Menghargai Guru Madrasah yang Melahirkan Peradaban

Namun sebaliknya, meski sudah melihat Scopus, belum tentu akan ditemukan juga JCR dan koleksi utama WoS di atas. Jawabannya ternyata sederhana. Karena Scopus lebih mudah diakses, punya penyajian data yang lebih baik, dan datanya berbasis ID penulis. Lucunya di awal dulu, mungkin karena ketidaktahuannya, banyak juga yang menilai Scopus adalah pengindeks jurnal paling top.

Ragam Tentangan Kepada Scopus

Sementara itu, dalam perjalanannya pelaksanaan kebijakan Kemenristekdikti terkait Scopus, masih saja mendapat banyak tentangan dari berbagai pihak. Khususnya yang sudah nyaman dengan kondisi masa lalu. Seperti persyaratan khusus menuju Guru Besar (GB) tidak harus Scopus.

Kemudian juga, keberlangsungan tunjangan GB mereka tidak harus ditentukan oleh rutin tidaknya mempublikasi artikel Scopus. Banyak tuduhan tidak masuk akal dikemukakan oleh berbagai pihak. Bahkan cap kapitalisme pendidikan segala juga disandangkan terhadap kebijakan Scopus. Sementara bagi yang setuju dengan Scopus, karena sudah menjadi syarat berbagai pemeringkatan, akreditasi, dan kepangkatan, mereka berlomba-lomba melakukan publikasi di jurnal Scopus. Meski, terselip juga cara-cara tidak fair oleh sebagian kecil peneliti yang berusaha untuk menghasilkan dokumen Scopus sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat.

Dalam memahami kebijakan di atas, tentu kita perlu berfikir jernih dan proporsional. Mengapa harus ada syarat pengindeks tertentu pada sebuah publikasi ilmiah dan itu menentukan bagi urusan akademik lainnya. Isu ini mungkin sudah banyak diulas oleh penulis terdahulu. Namun, mungkin ada sisi yang masih dapat diungkap. Dalam menjelaskan hal ini, mungkin kita perlu mengurai kembali prinsip mengapa seorang peneliti harus melakukan publikasi pada jurnal ilmiah? Kemudian, sitasi itu menjadi penting dalam dunia publikasi jurnal? Mengapa pilihan publikasinya disarankan pada jurnal yang berindeks baik?

Penelitian Sebagai Keniscayaan

Bagi seorang dosen atau peneliti, melakukan penelitian adalah sebuah kewajiban. Kemudian penelitiannya harus serius agar hasilnya maksimal dan memberi banyak manfaat pada masyarakat. Bagi masyarakat akademik, hasil penelitian itu dinikmatinya melalui artikel jurnal yang ditulis oleh peneliti.

Sementara masyarakat banyak termasuk juga industri, menikmatinya melalui Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan produk hilirisasi penelitiannya. Konfirmasi bermanfaatnya temuan penelitian adalah dari tingkat keterbacaan dan jumlah sitasi yang diterima oleh artikel yang ditulis oleh peneliti. Bagi seorang peneliti, hal tersebut tentu merupakan sebuah kebanggaan dan memberi kepuasan tersendiri.

Namun kita akan berfikir, apakah selamanya artikel yang paling banyak disitasi adalah artikel yang paling baik dan paling bermanfaat? Lalu, apakah ketika kita menerbitkan artikel pada jurnal yang agak sulit diakses oleh peneliti lain, akan mendapatkan sitasi yang banyak juga?

Terakhir, apakah disitasi oleh artikel jurnal nasional tidak terakreditasi karya mahasiswa S1 sama kepuasan dan kebanggaannya dengan disitasi oleh artikel salah profesor tersohor di bidang kita dari sebuah pusat penelitian terbaik di dunia yang diterbitkan pada jurnal utama bidang ilmu kita? Inilah pertanyaan-pertanyan penting yang harus kita pikirkan jawabannya ketika kita adalah seorang peneliti, dalam kaitannya dengan makna dari kemanfaatan penelitian.

Mempublikasikan Karya Terbaik

Sebagai seorang peneliti tentu kita ingin menjawab bahwa artikel penelitian yang telah kita hasilkan dengan serius memberi manfaat banyak bagi masyarakat dengan sitasi yang tinggi. Agar kemanfaatannya besar, tentunya kita ingin agar artikel tersebut mudah diakses dan punya keterbacaan yang tinggi.

Ketika tingkat keterbacaannya tinggi, bahkan oleh peneliti-peneliti internasional terbaik bidang kita di seluruh dunia, lalu menjadikannya sebagai referensi artikel penelitian mereka, maka sitasinya akan ikut naik. Saat itulah kita akan merasa sangat berguna, karena temuan kita ternyata diapresiasi oleh banyak peneliti hebat lain di dunia. Disitasi oleh peneliti ternama dari belahan dunia lain itu tentunya akan punya kepuasan lebih.

Baca Juga  Dari Muhammadiyah untuk Kemanusiaan Rohingya

Jawaban di atas tentu menyadarkan kita bahwa penelitian serius untuk menghasilkan temuan yang berguna itu penting. Lalu mempublikasikannya pada jurnal yang dapat diakses oleh banyak orang agar kemanfaatannya luas itu juga penting.  Kemudian mendapatkan apresiasi dari banyak peneliti lain yang merupakan jagoannya bidang ilmu kita, tentu juga sangat perlu dan menyenangkan. \

Inilah yang kita sebut sebagai research impact. Oleh karenanya prinsip dasar yang harus kita pegang dalam publikasi ilmiah ini adalah “publikasilah karya yang baik, di tempat yang baik, dengan cara yang baik, agar menghadirkan banyak hal baik”. Jangan sampai kita merasa temuan penelitian kita adalah yang terbaik, pada hal hanya dimuat di jurnal lokal, yang reviewer-nya juga lokal. Karena berbahasa lokal, akhirnya juga dibaca hanya oleh peneliti-peneliti lokal.

Mengapa Harus Publikasi pada Jurnal yang Berindeks Baik?

Lalu, apa kaitannya dengan saran agar mempublikasi artikel pada jurnal yang berindeks baik? Apakah ada kaitan indeksasi dengan kualitas sebuah jurnal? Indeksasi yang dikemas dalam research impact metrics pada prinsipnya adalah menilai kualitas sebuah jurnal dari jumlah sitasi yang diterima oleh artikel-artikel yang diterbitkan, dengan memperhatikan reputasi dari jurnal yang menerbitkan artikel pensitasi.

Citation analysis sangat diperlukan di sini. Jurnal yang berkualitas tentunya hanya akan menerbitkan artikel-artikel yang berkualitas, yang biasanya juga berpotensi menghasilkan sitasi tinggi. Kualitas sebuah jurnal secara umum dapat dilihat dari reputasi editor, originalitas artikel, kedalaman proses peer-review, sebaran penulis, dan rerata sitasi artikelnya oleh artikel jurnal yang berkualitas.

Semenjak memasuki era digital, ketika artikel jurnal sudah diterbitkan secara online dan disitasi oleh artikel yang juga sudah online, maka proses perhitungan sitasi menjadi sangat mudah dilakukan. Karenanya saat ini sangat banyak kita temukan nama abstract and citation database (pengindeks) peer-review jurnal, mulai dari yang biasa sampai yang bereputasi, seperti Google Scholar, DOAJ, Copernicus, ProQuest, EBSCOhost, Inspec, PubMed, Gale, Emerging Sources Citation Index (ESCI), Scopus, WoS, dan lain-lain. Agar abstrak sebuah jurnal muncul dan terindeks, pengindeks menetapkan persyaratan tertentu. Makin berat syaratnya, menunjukkan bahwa pengindeks tersebut makin selektif dan berkualitas. Salah satu yang menjadi pembeda setiap pengindeks adalah formulasi menghitung sitasi dan ketentuan sitasi yang boleh dihitung.

Tentang Pengindeksan

Google Scholar (GS) merupakan pengindeks yang syaratnya paling ringan. Selama jurnal yang bersangkutan artikelnya sudah online dan mendaftarkan diri, maka akan terindeks di GS dan akan diberi H-Index begitu mendapatkan sitasi. Jenis dokumen pensitasi tidak disyaratkan khusus. DOAJ punya syarat yang lebih ketat dari GS.

DOAJ mensyaratkan jurnalnya harus open accesses, terbit secara regular, online secara full-text, serta proses peer-review dan tahapan penerbitannya transparan. Range kualitas jurnal sangat lebar dan tidak mensyaratkan bahasa internasional. Sementara EBSCOhost, Inspec, PubMed, Gale, dan ESCI punya syarat yang lebih ketat, seperti dikelola established editor, artikel peer-review, reputasi penerbit, kualitas website, scientific impact berbasis sitasi, minimal abstraknya berbahasa Inggris, dan memenuhi ketentuan etika publikasi.

Scopus punya kriteria seleksi yang lebih ketat, yaitu 14 kriteria. Selain hal-hal yang sudah disyaratkan pada pengindeks di atas, Scopus juga mensyaratkan reputasi editor, keterwakilan sebaran editor, dan penulis pada setiap benua, keluasan tingkat keterbacaan, dan jumlah sitasi dari jurnal yang terindeks di Scopus.

Baca Juga  Milenial Menolak Anti Sosial dengan Islam Transformatif

CiteScore, Scopus Journal Rank (SJR), SNIP, dan H-Index merupakan metode pengukuran dampak jurnal berindeks Scopus. CiteScore adalah rata-rata sitasi tahunan dari artikel-artikel yang diterbitkan dalam dua tahun terakhir.

Sementara SJR merupakan jumlah sitasi yang diterima oleh artikel-artikel yang terbit dalam 3 tahun terakhir dengan mempertimbangkan prestise jurnal pensitasi. Sitasi dari jurnal yang sangat penting lebih bernilai dari jurnal yang biasa. Sementara Quartile (Q1-Q4) sebuah jurnal ditentukan berdasarkan nilai SJR jurnal tersebut relatif terhadap nilai SJR tertinggi dalam disiplin ilmu.

Pengukuran Kualitas Jurnal Terindeks WoS

Sementara itu, agar menjadi bagian dari WoS, sebuah jurnal harus memenuhi 28 kriteria evaluasi. Dua kali lebih banyak dari Scopus. 24 kriteria merupakan kriteria yang berbasis kualitas editorial dan best practice pengelolaan jurnal. Kemudian terdapat empat kriteria dampak, yang bertujuan untuk memilih jurnal yang paling berpengaruh di bidangnya masing-masing yang menggunakan sitasi sebagai indikator utama.

Pengukuran kualitas jurnal terindeks WoS dilakukan menggunakan parameter impact factor (IF). IF yang mencerminkan jumlah rata-rata sitasi tahunan yang diterima artikel dalam dua tahun terakhir untuk jurnal yang tercantum dalam Journal Citation Reports (JCR). Dilihat dari metode perhitungannya CiteScore sangat mirip dengan IF.

Mana yang Lebih Baik antara WoS dan Scopus?

Jika indikatornya adalah kriteria evaluasi, sebagaimana uraian sebelumnya, terlihat bahwa terindeks di WoS lebih sulit dari pada di Scopus. Dengan 24 kriteria evaluasi berbasis kualitas editorial, akibatnya proses peer-review dan penanganannya juga menjadi lebih ketat dan lama. Jumlah judul jurnal yang diindeks oleh WoS juga tiga kali lebih sedikit dari Scopus. Mungkin hal inilah yang mengkonfirmasi mengapa WoS terlihat lebih memiliki prestise dari pada Scopus.

Namun demikian, dalam hal metode pengukuran kualitas sebuah jurnal yang terindeks untuk keperluan evaluasi atau pemeringkatan jurnal, García-Pachón and Arencibia-Jorge (2014) menilai, SJR lebih baik dari pada IF, karena IF hanya berbasis pada dampak (sitasi) saja, sementara SJR juga menambahkan unsur prestise.

Di samping itu, juga terdapat isu self-citation yang diakui dalam perhitungan IF. Tetapi isu minusnya aspek prestise dan unsur self-citation pada IF, dapat diabaikan dengan ketatnya kriteria evaluasi pada WoS.  Sementara dari beberapa aspek lain seperti keduanya agak sulit membedakan mana yang lebih baik. Yang pasti WoS berbasis di US, sementara Scopus berbasis di Eropa. Di sisi lain juga tidak akan terlepas dari unsur bisnis, meski tidak terlalu dominan.

Dari uraian panjang di atas, secara gamblang terlihat bahwa proses abstaksi dan indeksasi sebuah jurnal terlihat sangat fair dan terbuka. Sangat sulit bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa WoS dan Scopus adalah pengindeks yang berkualitas baik.

Artinya jika ingin mengatakan “publikasilah di tempat yang baik”, maka pilihan utamanya adalah di jurnal yang terindeks di WoS dan Scopus. “Hal-hal baik” yang dapat hadir dari pilihan “mempublikasi di tempat yang baik” ini adalah tingkat keterbacaan yang luas, pengakuan kepakaran, potensi sitasi yang tinggi, dan potensi kolaborasi penelitian dengan peneliti-peneliti terbaik di bidang keilmuan yang kita geluti.

Editor: Yahya FR
Avatar
1 posts

About author
Penulis adalah Sekretaris Lembaga Pengembangan Publikasi Ilmiah (LPPI) dan Dosen Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Malang
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds