Setakat ini kita dibuat teriris oleh semaraknya kabar pelecehan seksual oleh guru agama, yang korbannya mencapai belasan hingga puluhan. Orang ramai bertanya, mengapa sosok yang dianggap suci ini kemudian tega melakukan perbuatan nista tersebut.
Guru agama yang sedang kita bahas di sini sifatnya umum, dari agama apa pun, dan pada beberapa kasus guru spiritual dalam makna tradisional secara lebih luas, tetua, atau apa pun sebutannya yang memiliki dinamika kekuasaan yang mirip dengan guru agama. Dalam budaya kita, guru ditempatkan pada status institusional teratas pada hierarki sosial dan dianggap sebagai perantara antara seseorang dengan Tuhan.
Pada guru tersemat kepatuhan dan penghormatan yang jarang diberikan kepada orang lain, bahkan ke orang tua sekalipun. Karena status yang tinggi ini, hubungan antara guru dan murid rawan diwarnai mistifikasi. Kramer dan Alstad (1993: 41) mengatakan cara seorang guru mempertahankan kendali atas siswa tidak ada bedanya dengan relasi lain yang berdasarkan otoritarianisme. Menurutnya, guru sering memanipulasi ketakutan dan hasrat siswa sebagai piranti untuk memperkokoh kekuasaan.
Pada laku “spiritual”, semakin besar ketakutan dan hasrat seseorang, tambah ekstrem pula manipulasinya. Pada situasi seperti ini, seorang guru semakin mudah menggunakan “topeng diri” sebagai teknik untuk membuat murid benar-benar pasrah supaya berada pada kendali penuh sang guru.
Pada sebagian masyarakat tradisional, hubungan guru-murid dapat kita lihat sebagai contoh dari pola relasi kuasa dan kepatuhan tanpa didasari oleh paksaan secara fisik, tetapi lebih kepada pengendalian kehendak dan cara pandang/pikir murid lewat pesan yang diulang-ulang hingga apa pun yang dikatakan guru dianggap sebagai satu-satunya kebenaran.
Wewenang dan Superioritas Moral
Sejumlah skandal yang melibatkan guru agama, oleh masyarakat, sering dilihat sebagai kesalahan memilih orang yang diberikan kredibilitas. Atau, orang awam mengatakan tak kuat menanggung beban kemuliaan seorang guru. Padahal, yang terjadi pada penyelewengan kuasa spiritual bukan karena menempatkan orang yang salah, akan tetapi penyimpangan terjadi sebab kita menstrukturisasi kekuasaan melalui citra superioritas moral.
Kita membiarkan guru menganggap dirinya sebagai orang suci yang mewakili citra Tuhan atau menjadi birokrat Tuhan. Jadi, kesalahannya terletak pada pembakuan peran bahwa ada seseorang yang lebih suci dan tinggi tingkat spiritualitasnya, dan oleh karena itu dia boleh berkuasa atas yang lain secara penuh.
Tak heran jika ada kasus pelecehan seksual yang melibatkan guru, misalnya, korbannya mustahil tunggal. Mereka yang termistifikasi merasa bahwa guru adalah juru selamat dan perbuatan mereka pasti dilakukan demi cinta atau demi Tuhan, sehingga murid merasa perlu membalasnya, bahkan, dengan pengorbanan (termasuk korban kehormatan).
Jika korban pertama merasa ada yang salah, dia tak berani berbicara karena merasa tak bakal ada yang percaya mengingat besarnya karisma guru ini di tengah masyarakat. Guru mengulanginya karena merasa aman dan terus mencari mangsa. Masyarakat sering menunggu horor terjadi untuk dapat membuka mata.
Sebagian orang mengira bahwa guru adalah mereka yang sudah bebas dari semua kepentingan diri (self-interest). Perlu kita ketahui bahwa secara psikologis tak seorang pun, seberapa pun tinggi tingkat kesadarannya, bebas dari kepentingan dalam setiap hubungan. Kepentingan diri adalah unsur dasar yang melekat pada manusia, yang membuat kita sintas. Setiap orang melakukan sesuatu untuk mencukupi kebutuhannya. Kita bisa hitung berapa kekayaan tokoh-tokoh agama itu, dibandingkan dengan warga sekitar mereka.
***
Selanjutnya, kepentingan diri adalah pemicu utama penyelewengan atau korupsi. Jika kuasa guru diabsolutkan, korupsinya bakal absolut. Dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton (1887), Lord Acton mengatakan, “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup; jika kekuasaannya mutlak, korupsinya pun mutlak).”
Meskipun banyak orang secara diam-diam membicarakan keburukan sosok guru, sebagian besar melihatnya sebagai keburukan individual, bukan sebagai akibat dari pemberian wewenang yang terlalu besar. Penyalahgunaan kekuasaan oleh guru adalah struktural, dan tentu saja bukan individual.
Hubungan guru-murid dengan berbagai kekebalan akibat kekuasaan yang besar menghasilkan beragam penyelewengan: aneka kekerasan (verbal, emosional, fisik dan seksual), monopoli kesempatan dan kebenaran, kolusi, nepotisme, pembatasan pilihan dan kehendak (termasuk pilihan politik), penghasutan, dan penipuan. Banyak guru memosisikan dirinya sebagai orang yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi murid-muridnya. Cara ini adalah pelanggaran batas-batas diri yang memperlemah identitas.
Karakteristik Guru Agama Pelaku Kekerasan Seksual
Guru agama pelaku kekerasan seksual biasanya terlahir secara organik dari lingkungan keagamaan yang eksklusif. Pada semua kelompok keagamaan yang eksklusif, buku-buku acuan selalu dibatasi dengan berbagai alasan—biasanya dengan cara menakut-nakuti. Satu-satunya yang dianggap sebagai sumber ilmu yang suci adalah dirinya dan literatur yang diproduksi oleh orang-orang yang sealiran/seorganisasi.
Guru organik seperti itu biasanya mampu memberikan jawaban terhadap berbagai tanyaan dan persoalan hidup dengan cepat, tegas dan mudah, terutama mengacu kepada teks-teks keagamaan yang ditafsirkan menurut dogma sektariannya. Ketika menghadapi situasi yang sulit untuk diselesaikan di tingkat masyarakat, guru tersebut biasanya tampil dengan simplifikasi persoalan dengan solusi yang cukup satu kalimat atau bahkan satu kata.
Di samping menebar ketidakpercayaan kepada diri murid dan kelompok lain serta rendahnya rasa kemanusiaan dalam fatwa-fatwanya, guru jenis ini melanggengkan ketakutan dengan dalil bahwa murid “tidak tahu”. Setiap orang pasti takut kepada sesuatu yang dia tidak ketahui. Guru ini juga biasanya menetapkan standar rendah hati dan penghormatan yang hanya dilakukan murid kepada guru, bukan sebaliknya.
Misalnya, seorang murid masuk ruangan kemudian menjabat tangan sang guru. Guru yang dalam keadaan duduk di kursi tak sedikit pun bangkit, dan sang murid mencium tangan guru sambil berlutut. Jika sang guru menerapkan prinsip kesantunan, seharusnya dia segera berdiri dan berjabat tangan dalam posisi yang sama-sama berdiri. Kita boleh saja mencium tangan orang-orang yang betul-betul kita hormati.
***
Akan tetapi, jika kita mencium tangan seseorang hanya karena perasaan wajib mencium tangan, sementara yang lain merasa tangannya wajib dicium, ini erat kaitannya dengan ketimpangan relasi kuasa. Kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, melainkan bisa juga dengan normalisasi dan regulasi. Orang kemudian gagal mencermati feodalisme religius yang sedang terjadi. Pada hubungan seperti ini peluang penyalahgunaan kuasa sangat terbuka. Hubungan yang sehat hanya dapat terjadi jika ada pembagian kuasa secara adil.
Dalam budaya tradisional yang kaku, orang terlampau sulit keluar dari zona tersebut. Apalagi, sistem ini sering diperkuat melalui norma utang budi. Utang budi sangat rawan dimanipulasi karena konsep ini tidak memungkinkan seseorang yang dianggap berutang untuk menuntaskan pelunasan: sekali berutang budi, orang terikat sampai mati.
Si piutang dapat menagih dalam bentuk apa pun dan kapan pun, termasuk gratifikasi seksual dan ketaatan yang tak masuk akal. Pada banyak kasus, ketika hendak melakukan tindak pencabulan, guru berujar, “Harus taat dan patuh pada guru, ya.”
Editor: Yahya FR