IBTimes.ID – Persyarikatan Muhammadiyah sedang diuji. Ada pihak tertentu yang mencatut nama dan meneror keluarga Muhammadiyah. Ini berkaitan dengan kasus teror yang dialami oleh sekelompok mahasiswa Fakultas Hukum UGM (Constitusional Law Society/CLS) yang menyelenggarakan diskusi dengan mengangkat tema, “Meluruskan Pesoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” (29/5/20).
Yang menarik, teror itu menyeret keluarga Muhammadiyah. Berikut data yang diungkap www.suaramuhammadiyah.id (30/5/20), “Halo pak. Bilangin tuh ke anaknya ******* Kena pasal tindakan makar. Kalo ngomong yang beneran dikit lahh. Bisa didik anaknya gak pak !!! Saya dari ormas Muhammadiyah Klaten. Jangan main-main pakk. Bilangin ke anaknya. Suruh datang ke Polres Sleman. Kalau gak apa mau dijemput dia? Atau bagaimana? Saya akan bunuh keluarga bapak semuanya kalao gak bisa bilangin anaknya”. Teks dikirim oleh nomor +6283849304820 pada tanggal 29 Mei 2020 pukul 13.17-13.27 WIB.
Ada lagi yang mengatasnamakan Muhammadiyah Klaten dengan bunyi hampir sama, “Bisa dibilangin anaknya ga ya Bu? Atau didik anaknya Bu biar jadi orang yg bener. Kuliah tinggi-tinggi sok sokan ngurus negara bu. Kuliah mahal Bu ilmu anaknya masih cetek. Bisa didik gak Bu? Saya dari Ormas Muhammadiyah Klaten. Jangan macam-macam. Saya akan cari ***** ***** kena pasal atas tindakan makar”. Teks dikirim oleh nomor +6282155356472 pada tanggal 29 Mei 2020 pukul 13.24-13.37.
Tak Kenal Muhammadiyah
Saya ada beberapa catatan menarik terkait teror tersebut. Pertama, penyebar teror belum mengenal Muhammadiyah. Bahkan bisa dikatakan, penyebar teks itu bukan orang Muhammadiyah, meskipun mengaku dari Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Muhammadiyah.
Mengapa? Warga Muhammadiyah menyebut gerakan yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini dengan persyarikatan bukan Ormas. Sementara dalam teks itu, pengirim mengatasnamakan Ormas Muhammadiyah. Pengirim tidak bisa membedakan Ormas dengan persyarikatan. Dua hal inilah yang tidak bisa dipahami oleh penyebar teror tersebut.
Kedua, Muhammadiyah tidak akan goncang hanya gara-gara diteror dengan teks tersebut. Muhammadiyah sudah kenyang pengalaman. Bahkan sebelum negara ini berdiri (1912). Apalagi Muhammadiyah kebanyakan diikuti oleh kalangan kaum terdidik yang tak akan mudah diteror.
Masalahnya, mengapa Muhammadiyah menjadi sasaran empuk teror? Persyarikatan ini telah membuktikn diri sebagai gerakan yang mandiri. Ia sebuah lembaga yang tak terlalu banyak menggantungkan dirinya pada negara. Sumber daya manusia dan amal usaha sudah menjamin bahwa persyarikatan ini bisa menghidupi dirinya sendiri.
Ketiga, Muhammadiyah juga tidak mudah diseret ke politik praktis secara kelembagaan. Meskipun secara individu ada keterlibatan dan ikut mewarnai kehidupan masyarakat dan kenegaraan. Ini berarti, Muhammadiyah tidak mudah didekte. Misalnya, saat pemerintah menganjurkan berdamai dengan virus covid-19, Muhammadiyah konsisten untuk tetap melawan virus tersebut.
Gerakan #bersatuperangicorona menjadi sebuah gerakan kongkrit bagaimana Muhammadiyah tidak menyerah pada keadaan. Tanpa diperintah ia telah tampil di muka, meskipun setelah itu sangat mungkin “dicampakkan”. Tapi jika itu terjadi, tidak ada masalah karena gerakan ini untuk kemaslahatan umat, baik warga Muhammadiyah atau bukan, baik masyarakat sipil atau negara.
Sikap Muhammadiyah dengan Pemerintah
Lalu, saat pemerintah sudah menyerah karena goncangan ekonomi akibat covid-19, Muhammadiyah terus berikhtiar. Misalnya, saat pemerintah akan menerapkan new normal Muhammadiyah memberikan pernyataan sikap yang berbeda. Sikap itu bukan tak setuju dengan keinginan pemerintah. Bukan itu. Muhammadiyah hanya menyarankan dan menyadarkan apakah perangkat-perangkat sudah siap untuk menuju new normal?
Mengapa ini dilakukan? Secara realitas di lapangan dan sumber daya kita belum begitu siap ke arah new normal tersebut. Pemerintah mungkin memperhitungkan secara ekonomis, ini kita paham. Namun kecenderungan mengorbankan aspek kemanusiaan (nyawa) juga kurang baik.
Muhamamadiyah bukan tidak peduli dengan keinginan pemerintah. Ia hanya mengingatkan. Artinya, jangan saat kondisi darurat pemerintah meminta pengertian masyarakat sementara saat biasa pemerintah bisa berbuat seenaknya dengan pmenyalagunakan wewenang. Belum diselesaikannya masalah korupsi, menguatkan oligarkhi menjadi salah satu contoh.
Berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak, Muhammadiyah mengambil posisi di depan. Meskipun itu seringkali berhadapan dengan kepentingan negara. Kasus mengajuan yudicial review UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) ke Mahkamah Konstitusi bisa menjadi contoh. Sebagaimana diketahui, Muhammadiyah pernah juga menggugat UU Migas yang hasilnya pembubaran BP Migas. Ke depan ada rencana menggugat UU mengenai investasi, UU Air dan Biotermal.
Sepak terjang ini tentu seolah Muhamadiyah “bermusuhan” dengan negara. Padahal Muhammadiyah sedang menjalankan peran sebagai persyarikatan yang mementingkan kepentingan masyarakat umum. Hasilnya bukan untuk Muhammadiyah tetapi juga untuk masyarakat umum. Tentu gugatan Muhammadiyah itu sudah dipikir masak termasuk konsekuensi yang akan didapatkannya.
Muhammadiyah dalam sepak terjangnya dianggap tidak mau tunduk pada negara. Kalau begini bagaimana sumbangan perjuangan Muhammadiyah sejak berdiri sampai saat ini? Apakah tidak bisa dijadikan contoh kongkrit kepeduliannya pada masyarakat dan negara?
Di lembaga pendidikan saja ada sekitar 10.381 amal usaha. TK/PTQ berjumlah 4623, SD/MI 2.604, SMP/MTs berjumlah 1772, SMA/MA/MK berjumlah 1143, Ponpes 67 dan PT berjumlah 172. Itu belum termasuk jumlah rumah sakit, klinik kesehatan, panti asuhan dan sumbangan pemikiran di bidang lain.
Tetapi gerakan amal usaha di atas tentu tidak dianggap sebagai bentuk kongkrit sumbangan pada negara. Ada kecenderungan yang berkembang, berapapun sumbangan yang diberikan Muhammadiyah pada negara jika secara politik tidak mendukung maka akan dianggap bukan pendukung.
Pelajaran dari Peristiwa ini
Apa pelajaran yang bisa dipetik? Pertama, tak mudah mengombang-ambingkan persyarikatan Muhammadiyah hanya dengan teror. Situasi politik saat ini akan membuat masyarakat tidak akan mudah percaya semua bentuk teror dan semacamnya. Jaringan Muhammadiyah yang kuat akan selalu dimanfaatkan untuk saling tabayyun.
Kedua, soal politik hendaknya tidak membuat “buta mata” bahwa Muhamamdiyah itu menjadi musuh pemerintah. Bisa jadi, itu hanya ulah oknum-oknum yang merasa dirugikan dengan gerakan Muhammadiyah. Sementara Muhammadiyah sebagai persyarikatan kedudukanya sudah jelas dan kuat.
Ketua Umum Muhamamdiyah dan pimpinan lain juga tetap menjalin hubungan dengan baik pada pemerintah. Perlu dipahami negara adalah induk secara teritorial warga Muhammadiyah dengan segala plus minusnya.
Ketiga, mengusut secara tuntas teror yang mengatasnamakan Polres Sleman. Ini jelas sudah menjadi pencemaran nama baik lembaga kepolisian kabupaten tersebut. Fokus utamanya ada pada siapa penyebar teror itu. Tentu saja ini menjadi tugas kepolisian yang memang sudah punya keahlian di bidang intelijen. Jangan sampai kasus tersebut “dibekukan”. Jika demikian pada kepercayaan masyarakat pada lembaga kepolisian akan menguat. Ini tentu merugikan aparat kepolisian.
Teror memang menjadi cara efektif bagi mereka yang punya kepentingan pada kekuasaan; siapapun, dimanapun, kapanpun dan dalam posisi apapun. Namun, ia akan ditertawakan banyak orang karena ia sekadar melampiaskan kejengkelan semata atas kepentingan diri dan kelompoknya. Teror membuat horor yang dilakukan provokator.
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyan Malang (UMM); kolomnis dan penulis puluhan buku. Penulis bisa dihubungi di twitter: @nurudinwriter