Tesis ini penting untuk dikemukakan mengingat tidak sedikit orang selalu mencurigai aksi massa. Karena itu, menjelaskan secara sosiologis di balik kecurigaan tersebut sangat fundamental. Yaitu dengan memahami latarbelakang pengalaman, afiliasi politik, dan tentu saja faktor ekonomi. Dalam membuat pengkategorian ini, bukanlah sesuatu yang mutlak. Melainkan sekadar amatan saya saja yang memungkinkan adanya celah untuk salah dan benar.
Asbabun Nuzul Rasa Curiga
Kategori pertama, minus pengalaman pergerakan. Mereka yang tidak terlibat dalam organisasi pergerakan biasanya memiliki sikap antipati terhadap orang yang turun ke jalan. Baginya, orang yang turun ke jalan dan meneriakan keberpihakan terhadap satu isu yang diperjuangkan adalah bentuk kesia-siaan di tengah menikmati waktu luang untuk lain yang jauh lebih bermanfaat.
Apalagi, bagi orang kategori semacam ini, aksi demonstrasi dianggap sebagai bagian dari keadapan publik, mengganggu ketertiban umum. Karena itu, jika ada orang beranggapan demikian dari orang yang tidak aktif organisasi perlu dimaklumi.
Meskipun harus diakui, tidak sedikit orang yang aktif dalam pergerakan tetapi enggan untuk turun lapangan melakukan demonstrasi, mengakibatkan munculnya antipati. Tidak menguntungkan aksi demonstrasi untuk dirinya secara posisi politik juga bagian dari kemunculan antipati tersebut.
Kedua, pendukung Jokowi mentok. Kategori ini lebih pada pengkultusan Jokowi sebagai figur yang selalu benar, karena itu harus dibela. Dengan logika seperti ini, seolah-olah Jokowi adalah figur yang tetap dan tidak berubah di tengah gejolak dan tekanan politik yang memaksa dirinya harus bernegosiasi terhadap banyak hal.
Saat ada orang yang melakukan kritik terhadap Jokowi, ia dianggap masuk dalam kategori kampret. Yaitu pengkategorian di era pilpres yang sebenarnya sudah runtuh. Seiring dengan persekongkolan partai politik yang diwakilkan oleh DPR-RI di senayan untuk merealisasikan kepentingan mereka.
Lebih jauh, kategori semacam ini akan nyinyir sambil menunggu momentum efek destruktif ketika demonstrasi terjadi. Kata-kata yang muncul biasanya adalah, “tuh, kan ada yang menunggangi, gue bilang juga apa, dari awal aku selalu curiga. Begini nih kalau apa-apa selalu protes? Kok mau-maunya ikut-ikutan”.
Padahal sebelumnya, tidak sedikit orang-orang semacam ini sebelumnya juga turun ke jalan dalam membela Jokowi, khususnya saat kampanye. Bahkan terlibat dalam kepanitiaan dalam pengorganisasian mendukung Jokowi. Di mana, ruang publik digunakan untuk mobilisasi massa.
***
Ketiga, kelas menengah apolitis. Mereka biasanya tumbuh dari kelas menengah ke atas yang sejak bayi sudah berkecukupan. Mereka tidak mengalami apa pun yang terkait dengan kesusahan, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik.
Dalam hidupnya tidak ada sesuatu yang perlu diperjuangkan, kecuali tentu saja mendapatkan seorang pacar. Karena mendapatkan pacar merupakan bentuk negosiasi paling rumit di tengah pesaing yang juga tidak mudah untuk ditaklukan. Tipikal semacam ini, ketika ada aksi demonstrasi dan informasinya, baik foto maupun video, lewat di linimasa akun sosial media mereka, respon yang diberikan biasanya tiga hal; cuek saja sambil mendelik ingin tahu; sumpah serapah karena dianggap mengganggu mobil yang digunakan saat melintar sehingga terjadi kemacetan; dan menunjukkan video itu sesama kelompoknya dengan bilang, “lihat nih, mau aja itu mahasiswa panas-panasan demonstrasi membela yang enggak jelas gini”.
Anomali Masa Lalu
Kategori ketiga ini bisa juga masuk kepada aktivis 1998 tetapi sekarang menikmati hasil dari jerih payah perjuangannya. Yakni kemapanan dalam karir dan menghindari resiko sebesar mungkin atas apa yang kini telah didapatkan. Komentar mereka biasanya sangat patronizing, “demonstrasi mahasiswa sekarang enggak seperti saya dulu”. Sambil menjelaskan narasi-narasi mengenai kehebatannya.
Pertanyaannya, “mana orang peduli atas apa yang dulu dilakukan, emang aktivis 1998 hanya dia? Sementara ketika tahun itu tidak sedikit orang yang turun demonstrasi dengan porsinya masing-masing”. Tentu saja, foto lama saat aksi demonstrasi diperlihatkan untuk menunjukkan legitimasi apa yang diomongkannya.
Tidak sedikit juga kategori ini diajukan kepada mereka yang selalu mengajukan pertanyaan; “apakah yang demonstrasi itu sudah baca RUU-nya? Masa tidak baca RUU kemudian mau terlibat untuk aksi demonstrasi? Lalu di mana kecerdasan mahasiswa?”.
Anomali Aksi Massa
Dari ketiga kategori tersebut, ketika aksi demonstrasi dikabulkan oleh pembuat kebijakan dan elit politik dan kemudian membuahkan hasil, orang yang masuk dalam ketiga kategori ini sebenarnya tetap menikmati jerih payah yang dilakukan oleh orang-orang yang dinyinyirin sekaligus dilihat sebelah mata.
Demonstrasi yang dilakukan oleh para buruh untuk menaikkan upah kerja dan tambahan hari libur, misalnya. Aksi-aksi mereka selalu dianggap remeh, tapi saat libur 5 hari kerja, semua orang menikmatinya sambil tentu saja lupa siapa yang memperjuangkan itu. Dengan kata lain, dalam setiap pergolakan selalu ada martir yang berani berkorban untuk melakukan perubahan.
Meskipun dalam setiap perubahan itu terjadi ada orang-orang yang enggak ngapa-ngapain tapi kemudian menikmati juga hasilnya sambil membangun narasi-narasi tentang dirinya seolah telah melakukan perjuangan yang sama.