Pertanyaan mengapa pengajian Muhammadiyah tidak lucu kerap terlontar ketika seseorang membandingkan gaya pengajian antar ormas. Terdapat semacam penilaian umum bahwa pengajian di Muhammadiyah cenderung serius, dan para pendakwah di Muhammadiyah lebih banyak membawakan materi serius—sekaligus dengan serius—dibandingkan—misalnya—dengan pengajian di kalangan NU.
Bisa jadi benar, meski belum tentu tepat. Sependek pengamatan saya, tidak selalu pengajian di kalangan NU itu lucu. Pun tidak selalu pengajian di Muhammadiyah itu membuat pendengarnya mengernyitkan dahi. Kalau di NU ada Gus Dur yang dikenal sangat humoris, Muhammadiyah punya Pak AR. Kita yang ada di pengurus Muhammadiyah dan ortom pun, sering juga tertawa dalam pengajian-pengajian pimpinan.
Mungkin bedanya terletak pada “ruang sosial” di mana humor itu dimunculkan. Pada pengajian di NU, humor itu tak hanya muncul dalam ruang khusus, namun juga saat pengajian umum, pengajian yang diikuti jamaah di luar struktur kepengurusan. Sedangkan di Muhammadiyah, lelucon cenderung hanya muncul dalam pengajian atau perbincangan di tingkat struktur.
Lalu mengapa pengajian (umum) di NU cenderung lebih (banyak) menimbulkan tawa daripada di Muhammadiyah? Tentu dalam perspektif sosiologis hal ini tidak bisa kita lepaskan dari konteks sosial di mana pengajian—sebagai sebuah bentuk interaksi dan komunikasi—itu terjadi. Munculnya kecenderungan lelucon—atau sebaliknya, serius—terjadi bukan dalam ruang privat, bukan semata faktor karakter pendakwah. Namun lebih pada hasil dari interaksi pendakwah dan masyarakat dalam waktu yang cukup lama, dan melibatkan pelbagai unsur sosiologis dalam masyarakat tersebut.
Henri Bergson menyebut bahwa tawa selalu merupakan “tawa kelompok”, ini jelas. Tidak mungkin kita tertawa sendiri tanpa terkait dengan orang lain, pun bahkan kita tertawa karena imajinasi itu juga terkait dengan orang lain secara fiktif.
Ada beberapa penjelasan kemungkinan. Kemungkinan pertama terkait kultur patriarki yang lebih kental pada jamaah Nahdliyin daripada Muhammadiyin. Di NU, meski dalam relasi antar-struktur kepemimpinan dipilih dalam formulasi demokratis namun dalam relasi struktur dengan masyarakat, kepemimpinan—meminjam klasifikasi otoritas Weber—berlangsung secara tradisional.
Kyai tidak hanya berfungsi secara spiritual, namun juga menandakan status sosial—dan status itu relatif bisa “diwariskan”. Hal ini membuat hierarki dominasi cenderung stabil, yang memungkinkan superioritas tidak berpindah secara periodik.
Berbeda dengan di Muhammadiyah yang lebih menerapkan otoritas legal-formal. Sangat mungkin terjadi sebutan “kyai” hanya temporer dan dijustifikasi untuk senior pimpinan aktif. Pun tidak diwariskan kepada anaknya meski anaknya juga aktif sebagai pengurus. Sudah jamak jika di Muhammadiyah setelah terjadi pergantian kepemimpinan maka pemimpin sebelumnya seperti menjadi “warga biasa”. Hal ini membuat superioritas tidak mutlak dimiliki seseorang terus menerus.
Lalu apa hubungan superioritas ini dengan lelucon dalam pengajian? Salah satu pendekatan utama dalam teori humor yakni teori superioritas menyebut bahwa tawa adalah kejayaan mendadak atas kemenangan diri terhadap ketidakterhormatan orang lain. Tepatnya suatu cara menyerang pihak lain, artinya juga menegakkan kekuasaan dan status dengan menggalang dukungan dari pihak yang tergabung dalam tawa.
Menurut Thomas Hobbes, orang yang biasa tertawa adalah orang yang menyadari sedikitnya kemampuan dalam diri mereka yang memaksa diri sendiri untuk tetap berada dalam posisi menguntungkan mereka, dengan mengamati ketidaksempurnaan orang lain.
Seno Gumira Ajidarma menguraikan pendapat Sigmund Freud bahwa Lelucon sebagai Agresi Tak Sadar. Digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang biasanya dilarang oleh masyarakat. Ada lelucon tendensius, misalnya ungkapan tak langsung tentang permusuhan atau seksualitas, termasuk di dalamnya lelucon jorok dan lelucon lugu yang lebih pada kecerdikan verbal dengan memasukkan permainan kata-kata dan teka-teki.
Lelucon ini, menurut Freud disebabkan ego yang ditekan namun selalu mencari jalannya agar keluar. Maka pikiran itu muncul, baik dalam bentuk parapraksis (keseleo lidah) maupun lelucon.
Meski agak beda dengan Freud yang menyebut lelucon adalah bentuk ketidaksadaran, Koestler menganggap lelucon itu merupakan tindakan sadar. Tapi keduanya sama-sama setuju bahwa lelucon atau humor merupakan bentuk agresi. Sebuah serangan dari pihak superior kepada pihak yang lebih inferior.
Di Muhammadiyah yang mana status superior itu tidak mutlak dan selalu berpindah, kecenderungan munculnya lelucon menjadi makin sempit. Ini logis, jika status superior anda dijamin tidak selamanya maka Anda akan lebih berhati-hati dalam membuat lelucon.
Maka coba kita perhatikan, bagaimana banyak lelucon dalam pengajian jamaah nahdliyin mengandung pola humor superioritas semacam itu. Humor tentang kekurangan seseorang pada kelas bawah atau humor tentang perempuan. Di Muhammadiyah hal semacam ini masih menjadi sesuatu yang tabu untuk disampaikan di depan umum.
Kemungkinan kedua, bisa kita temukan melalui “Teori Pelepasan dan Ketergugahan”. Teori ini menyebut bahwa lelucon adalah kebebasan sesaat dari tekanan-tekanan. Seno Gumira mengutip Gregory mengungkap ada tiga bentuk pelepasan, yakni (1) keberhasilan suatu perjuangan atau persepsi mendadak atas kelemahan lawan, (2) ketika ada ketegangan dalam situasi sulit namun ternyata antisipasinya tidak terlalu dibutuhkan, dan (3) paksaan yang secara sosial dibebankan atas perilaku dan bahasa.
Penjelasan kedua ini menyangkut komunikasi dakwah. Ketika seseorang berdakwah kepada kelompok masyarakat yang kehidupan sehari-harinya cukup sulit, maka pendekatan humor adalah gaya komunikasi paling efektif. Maka menjadi logis jika pendakwah Muhammadiyah tidak (perlu) lucu saat berceramah. Malah menjadi aneh, karena fungsi kelucuan itu tidak pas dengan tujuan yang ingin diperoleh jamaah.
Kemungkinan ketiga mengacu pada “Teori Keganjilan”. Menurut teori ini, humor tercipta dari adanya perbedaan antara persepsi awal dengan yang dimunculkan. Arthur Schopenhauer menyatakan penyebab tawa dalam setiap kasus adalah sekedar pemahaman mendadak atas keganjilan antara konsep dan obyek nyata yang telah terpikir melaluinya dalam sejumlah hubungan, dan tawa itu sendiri adalah sekedar ekspresi keganjilan ini.
Inilah teori yang banyak dipakai para komedian, ketika membuat lelucon secara sengaja. Dalam perspektif teori ini, pendakwah di Muhammadiyah tidak lucu karena tidak merencanakan lelucon secara sengaja sejak awal. Mengapa tidak merencanakan lelucon? Bisa jadi karena memang dianggap tidak relevan sebagaimana penjelasan pada kemungkinan kedua di atas. Bisa jadi juga karena keterbatasan pendakwah Muhammadiyah.
Keterbatasan apakah itu? Ada tiga sebab. Pertama, di Muhammadiyah, jarang kita temui pengurus yang “kerjanya” memang menjadi juru dakwah (dalam arti dakwah di mimbar). Rata-rata berceramah sebagai aktivitas sampingan. Pekerjaan utamanya mungkin guru, dosen, atau profesional.
Ini jenis profesi yang cukup menyita waktu dan fokus. Membuat seseorang tidak memiliki cukup waktu senggang. Merancang lelucon adalah proses kreatif, dan kreativitas sulit muncul kalau seseorang terlalu fokus pada satu-dua bidang yang menyita pikirannya.
Alasan kedua adalah pemahaman sebagian pendakwah yang menganggap agama bukanlah obyek yang bisa ditertawakan. Karenanya, dalam konteks teori keganjilan, merancang materi dakwah yang lucu adalah perbuatan yang tidak bisa diterima.
Alasan ketiga adalah keterbatasan kecerdikan bahasa. Tidak mudah membuat lelucon, apalagi lelucon menyangkut agama. Tingkat kesulitannya jauh lebih tinggi dari lelucon biasa. Harus hati-hati jangan sampai membuat orang tersinggung atau dianggap melecehkan agama. Penulis sendiri merasakan ini, membuat komik dakwah bergenre humor adalah tantangan yang lebih berat daripada menulis argumentasi akademis seperti tulisan ini.
Jadi, apakah pengajian di Muhammadiyah harus lucu?
Editor: Yusuf