Perspektif

Mengatasi Krisis Lingkungan dengan Etika Profetik Kuntowijoyo

4 Mins read

Saat ini, krisis lingkungan hidup sudah sepantasnya menjadi isu aktual yang perlu diperhatikan. Sejak tahun 2004, High Level Threat Panel, Challenges and Change PBB, memasukkan degradasi lingkungan sebagai salah satu dari sepuluh ancaman terhadap kemanusiaan.

Hal ini tidak mengherankan karena cukup banyak kerusakan pada lingkungan kita, seperti pencemaran limbah, perusakan hutan, penambangan sumber daya alam berlebihan, bencana alam dan lain sebagainya mengundang keprihatinan dan kekhawatiran masyarakat.

Permasalahan lingkungan hidup dapat terjadi karena dua faktor. Pertama, karena bencana alam yang terjadi secara alamiah. Kedua, karena perbuatan manusia. Meskipun bencana alam juga turut menjadi faktor terjadinya krisis lingkungan, tetapi salah satu hal yang menjadi faktor terjadinya bencana alam adalah ekploitasi alam yang dilakukan oleh manusia.

Dilansir dari worldbank.org, Indonesia menghasilkan 175.000 ton sampah setiap harinya dan 20% di antaranya berakhir di sungai dan pantai. Selain itu data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan pada tahun 2020 mayoritas sampah nasional berasal dari aktivitas rumah tangga.

Cara pandang antroposentrisme masyarakat merupakan penyebab fundamental atas terjadinya krisis lingkungan hidup. Cara pandang antroposentrisme menganggap bahwa manusia sebagai pusat semesta dan hanya manusia yang memiliki nilai yang tinggi, sehingga alam dianggap sebatas alat pemuas bagi kepentingan dan kebutuhan hidup manusia dan bebas dieksploitasi tanpa perlu dikonservasi.

Menurut Arne Nais, krisis lingkungan hidup dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Maka dari itu diperlukan cara pandang baru yang perlu disebarkan dan ditanamkan kepada masyarakat sebagai anti tesis dari cara pandang antroposentrisme yang diharapkan dapat memberikan pengaruh positif bagi alam.

Baca Juga  Daftar Tiga Pesantren Berwawasan Lingkungan di Indonesia

Kuntowijoyo, seorang cendekiawan muslim Indonesia, memiliki sebuah rumusan keilmuan dalam bidang sosial yang disebut dengan ilmu sosial profetik. Disebut profetik karena merujuk kepada prophetic (Kenabian). Gagasan ini diilhami oleh Muhammad Iqbal yang menceritakan bahwa meskipun Nabi Muhammad SAW telah mencapai tempat tertinggi yang menjadi dambaan para sufi dan ahli mistik ketika Isra’ Mi’raj, namun beliau memilih kembali ke dunia untuk menggerakkan perubahan sosial serta menunaikan tugas-tugas berdasarkan cita-cita profetik (kenabian).

Etika profetik dirumuskan oleh Kuntowijoyo berasaskan Alquran surah Ali Imron ayat 110 yang artinya:

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah SWT.”

Kuntowijoyo mengintisarikan 3 hal penting yang menjadi dasar etika profetiknya. Pertama, humanisasi sebagai derivasi dari amar ma’ruf. Kedua, liberasi yang merupakan derivasi dari nahi munkar. Ketiga, transendensi yang merupakan derivasi dari tu’minuna billah.

Ketiga hal inilah yang menjadi dasar rumusan etika profetik Kuntowijoyo yang dapat dijadikan sebagai cara pandang berbasis wahyu guna mewujudkan kesadaran sekaligus membentuk budaya masyarakat yang peduli terhadap kelestarian alam.

Etika profetik merupakan sebuah gagasan Kuntowijoyo yang berusaha memberikan sebuah wawasan tentang cara pandang hidup bernuansa Keilahian. Ia terumuskan atas pemaknaan Kuntowijoyo terhadap surat Ali Imron ayat 110, yang akhirnya memunculkan tiga isi kandungannya yakni, humanisasi, liberasi dan transendensi. Ketiga dasar etika profetik tersebut sangat relevan dan dapat dijadikan sebagai cara pandang baru bagi masyarakat dalam memandang lingkungan sebagai ekosistem tempatnya tinggal.

Humanisasi diderivasi dari kata amar ma’ruf yang berarti memanusiakan manusia, menghilangkan sifat benci, acuh dan ketidakpedulian dalam diri manusia. Pemahaman masyarakat terhadap humanisasi dapat memberikan dampak positif dalam usaha pelestarian dan pengelolaan lingkungan, baik secara lokal atau global. Hal ini terbukti dengan lahirnya komunitas yang berfokus pada usaha revitalisasi lingkungan hidup dengan mengadakan diskusi dan seminar ekologi, penghijauan dan penanaman kembali lahan yang rusak.

Baca Juga  Krisis Paradigma: Problem Serius dari Ilmu Sosial Profetik

Hal ini dilakukan sebagai usaha penyadaran masyarakat terhadap krisis lingkungan. Selain itu dukungan pemerintah dan para influencer terhadap situasi krisis ini sangat dibutuhkan. Karena peran pemerintah sebagai pemegang kuasa dan influencer sebagai publik figur dapat memberikan dampak positif terhadap masyarakat dalam usaha pelestarian lingkungan.

Namun jika pemerintah dan tokoh masyarakat belum mampu bahkan gagal memahami makna humanisasi atau justu memberikan contoh nir etika lingkungan terhadap masyarakat, maka krisis lingkungan hidup akan lebih sulit di atasi.

Liberasi berarti pembebasan dan merupakan implementasi dari nilai nahi munkar, yang berarti bahwa pembebasan manusia dari dominasi struktur yang menindas dan menguasai kesadaran palsu pada realitas empirik. Mayoritas masyarakat tidak menyadari bahwa dengan berkembangnya teknologi, lingkungan sebagai sumber kehidupan telah diekploitasi yang akhirnya menyebabkan krisis lingkungan, emisi karbondioksida, pencemaran air, penebangan hutan secara liar adalah resiko yang harus diambil demi memenuhi kebutuhan manusia, dampaknya adalah polusi air, tanah dan udara.

Maka dari itu konsep liberasi menjadi anti tesis atas tindakan ekploitatif tersebut. Pemahaman terhadap makna liberasi berimplikasi pada timbulnya gejolak perlawanan terhadap eksploitasi, yang diwujudkan dengan demonstrasi atas pengrusakan alam dan lingkungan oleh kebijakan yang tidak memihak lingkungan, dan oleh pabrik-pabrik yang menyalahi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) dan lain sebagainya. Usaha tersebut bertujuan agar menghentikan penindasan terhadap masyarakat atas ketidaktahuan dan kelemahan mereka serta membebaskan masyarakat dari ekosistem lingkungan yang tercemar.

Transendensi adalah derivasi dari nilai tu’minuna billah, yang berarti ia pusat atau poros dari humanisasi dan liberasi. Hal ini tentu diperlukan karena dengan transendensi maka pusat kehidupan tidak berpusat pada materi, akan tetapi pada immateri yang memiliki kuasa atas segala.

Baca Juga  Kuliah Daring Permanen, Mungkinkah?

Dengan sikap transenden yang tertanam dalam diri, maka akan dipahami bahwa alam harus dikelola dengan etika. Karena ia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai hak hidup dengan layak, sehingga dilarang diperlakukan semena-mena. Selain itu sikap humanisasi dan liberasi menjadi lebih bermakna, karena usaha demi terwujudnya revitalisasi lingkungan hidup disandarkan kepada Tuhan sebagai pemilik semesta, sehingga memberikan rasa pengabdian yang berarti bagi manusia sebagai seorang hamba Tuhan.

Etika profetik sebagai cara pandang hidup beretika perlu didiseminasikan, agar tidak hanya kalangan pendidik dan pelajar saja yang mengetahui dan memahaminya. Ia perlu didiseminasikan dan dijelaskan kepada masyarakat luas, karena masyarakat merupakan konsumen atas gagasan serta sasaran atas kebijakan dan tindakan kalangan yang ingin memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat.

Maka dari itu dibutuhkan strategi diseminasi gagasan etika profetik, seperti bekerja sama dengan pihak kampus untuk menyelenggarakan penelitian dan pengabdian masyarakat di suatu wilayah tertentu dengan tema inti penyadaran masyarakat terhadap krisis lingkungan hidup dengan dasar nilai etika profetik.

Bekerja sama dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam memahamkan masyarakat terkait krisis lingkungan disertai diseminasi gagasan etika profetik, juga melakukan kegiatan kemasyarakatan berbasis ekologi serta melakukan pendekatan persiasuasif terhadap masyarakat.

Editor: Yusuf

*) Artikel ini adalah juara Lomba Artikel Ilmiah yang digelar oleh HW UMS bekerja sama dengan IBTimes

Avatar
1 posts

About author
Mahasantri Pondok Hajjah Nuriyah Shabran UMS
Articles
Related posts
Perspektif

Mencegah Fenomena Hipokrisi di Pondok Pesantren

3 Mins read
Pondok (pesantren) secara umum diartikan sebagai lingkungan bersama sistem pembelajaran Islam pada Indonesia dengan edukasi-edukasi keagamaan, bahasa Arab dan seni belajar hidup…
Perspektif

Kecilnya Keterwakilan Perempuan di Tingkat Eksekutif: Komitmen Afirmasi yang Tidak Terealisasi

3 Mins read
Dalam visi misi dan kampanye publik pemilihan presiden kemarin, kita tentu ingat bahwa isu gender masuk ke dalam suatu topik khusus yang…
Perspektif

Cerita di Balik Gencatan Senjata Israel-Hisbullah

3 Mins read
Dunia bisa sedikit legah. Minggu lalu telah terjadi kesepakatan genjatan senjata antara Israel dan Hisbullah. Tentu menjadi harapan semua pihak hendaknya peperangan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds