Perspektif

Krisis Paradigma: Problem Serius dari Ilmu Sosial Profetik

4 Mins read

Dalam suatu diskusi Kampus Masjid UGM bertema ilmu sosial profetik, Prof Ahimsa–yang konon didapuk sebagai pelanjut pemikiran Kuntowijoyo–menyatakan secara gamblang:

“Prof Kunto telah menyediakan kepada kita suatu paradigma baru yaitu paradigma profetik (Islam). Sayang ia tidak dapat menuntaskan pekerjaannya. Maka, tugas kita untuk turut andil dan mengembangkan paradigma alternatif ini di tengah dominasi positivisme”.

Hegemoni Positivisme

Tentu kita setuju betul bahwa hegemoni positivisme dalam perguruan tinggi dan bahkan dalam hidup secara keseluruhan merupakan sesuatu yang tidak sehat. Positivisme melihat segala sesuatu sebagai materi. Walhasil, universitas berlaku seperti pabrik-pabrik yang melahirkan robot-robot. Bukan lagi manusia dengan kesadaran dan kepekaan sosial.

Pula positivisme seringkali mengingkari keyakinan terdalam umat Muslim. Bahwa wahyu merupakan sumber kebenaran utama dimana ilmu pengetahuan sejati dapat dikonstruksi. Selalu terdapat pertanyaan dalam diri: bagaimana keyakinan pada wahyu ini mengejawantah sementara segala yang dianggap ada hanya yang dapat ditangkap indra.

Segala metafisika dianggap mungkin ada namun pengaruhnya terhadap kehidupan material dinegasikan. Jadilah kita, manusia, sekedar kumpulan tulang, daging dan syaraf. Dunia positivistik menjadi kering, tidak berjiwa.

Paling mengerikan adalah diam-diam terbentuk dalam ketidaksadaran manusia suatu pengingkaran Tuhan sebagai yang metafisik. Toh metafisik bisa jadi hanya khayalan agamawan, katanya.

Paradigma Ilmu Sosial Profetik yang Masih Mentah

Selintas peserta yakin bahwa paradigma alternatif diperlukan segera. Dan… ilmu sosial profetik barangkali bisa menjadi jawaban.

Demikian barangkali sampai terungkap celah besar yang menganga dalam paradigma ilmu sosial profetik. Rupanya, paradigma ini masih berupa cetak biru. Beberapa elemen dalam paradigma profetik sudah memiliki konsepsi, namun lebih banyak yang berupa gagasan mentah.

Di salah satu slide terakhir, Prof Ahimsa menuliskan seluruh persoalan yang harus dikerjakan. Jika dihitung sekitar sepuluh jumlahnya. Cukup banyak juga. Namun jika dirunut setiap ragam masalah di sana, mulai dari epistemologi hingga metodologi, maka persoalan jumlah bukanlah yang utama.

Baca Juga  Prof Yunahar: Orang Minang di Bastion Kebudayaan Jawa

Istana Megah Tanpa Pondasi

Persoalan terbesar yang dihadapinya adalah dasar paradigma. Baik itu berupa definisi dan konsepsi mengenai paradigma. Bagi yang memahami, tentu ini bukan soal kecil yang bisa ditambal hanya dengan kutipan ayat, sebagaimana kebiasaan ilmuwan amatir islamisasi.

Ibaratnya, ilmu sosial profetik seperti sebuah istana megah nan besar yang terlihat elok dari jauh. Namun, ketika didekati akan terungkap bahwa ia rapuh karena berdiri tanpa pondasi. Demikianlah ilmu sosial profetik, kilau kemasannya melampaui kekuatan struktur rangka-bangunnya.

Persoalan pondasi ini sangat penting sebelum pada akhirnya ilmu sosial profetik sebagai paradigma ilmu baru dapat diintegrasikan dalam proses produksi dan inovasi ilmiah. Lagipula,  tidak mungkin Prof Kunto mengharapkan ilmu sosial profetik hadir sekadar menjadi diskursus serta tanpa aktualisasi nyata dalam kehidupan.

Misalnya pada ide-ide Prof Kunto mengenai pengilmuan Islam. Prof Kunto secara tepat menunjukkan bahwa Islamisasi Ilmu tidak memadai bagi proyek keilmuan dan sifatnya cenderung reaksioner ketimbang konstruktif. Sayangnya, proposal ‘pengilmuan Islam’ Prof Kunto sendiri sebetulnya belum dapat menandingi bangunan islamisasi ilmu.

Bagaimana caranya, ketimbang menghadapkan konteks kepada teks, kita menghadirkan teks itu kepada konteks? Juga, bagaimana caranya struktur ilmu yang transenden dalam Al-Qur’an dapat kita ungkap dan menjawab permasalahan kemanusiaan kita hari ini?

Untuk keduanya akan sulit dijawab dengan penjelasan yang ada mengenai paradigma profetik. Maka, jalan aktualisasi itu masih jauh bila melihat bangunan paradigma ilmu sosial profetik.

***

Definisi dan unsur-unsur paradigma yang belum tersusun akan menghadirkan persoalan lain yang tidak kalah penting. Sebab, bagaimana ilmu sosial profetik melihat realitas akan memiliki implikasi yang signifikan pada cara manusia profetik mendekati realitas.

Baca Juga  Spirit Profetik dan Transformasi Pendidikan

Paradigma akan memberi efek berantai kepada epistemologi dan bahkan aksiologi ilmu sosial profetik. Khusus yang terakhir itu adalah bagian dari ilmu sosial profetik yang sekiranya sudah cukup rapi. Akan tetapi dalam logika ilmu, paradigma dulu yang seharusnya tuntas. Baru kemudian persoalan etika dapat dirumuskan.

Akibatnya ketika paradigma kelak telah dibangun tuntas akan ada konsekuensi. Seluruh bangunan epistemologi dan aksiologi bisa jadi harus dirombak total untuk menyesuaikan dengan pondasi bangunan ilmu atau paradigma. Trilogi humanisasi, liberasi dan transendensi—yang sudah jadi trademark profetik–musti di rekonstruksi.

Sampai disini juga kita akan sadari bahwa persoalan selain paradigma menjadi kurang berarti. Sebab selama proyek formulasi paradigma ilmu sosial profetik belum selesai maka selama itu pula konsep-konsep epistemologi dan aksiologi ilmu sosial profetik berada dalam status ‘sementara’.

Juga, karena ia tidak mungkin diuji ia bisa disebut sebagai ‘pseudoparadigm’. Mengapa demikian? Karena lagi-lagi standar penilaian yang bersumber dari paradigma belum tersedia untuk menguji ilmu hasil produksi ilmuwan yang terinspirasi oleh ilmu sosial profetik.

Lanjutkan Tugas Transformasi

Sekalipun persoalan paradigma masih mengganjal ilmu sosial profetik, namun ia tidak boleh diterjemahkan sebagai apologi untuk lari dari tugas transformasi. Sebabnya sederhana: bahwa masalah kemanusiaan yang menjadi lawan langsung setiap tugas transformasi merupakan masalah aktual kita hari ini. Masalah yang berpotensi menyebabkan kerusakan besar pada kemanusiaan.

Dehumanisasi menggerus fitrah manusia sebagai individu yang spontan, berpikir, dan mampu mencipta refleksi. Jadilah kita sekedar automaton dalam algoritma pasti, tidak sempat untuk berpikir barang sesaat apalagi merenungi makna hidup ini. Maka humanisasi adalah panggilan untuk merenggut kembali fitrah kita.

Opresi dan segala wujud pengekangan kebebasan merupakan musuh demokrasi. Ia hanya layak mengada dalam dunia tirani di mana perbudakan dijustifikasi sebagai hasil kompetisi penindas-tertindas.

Baca Juga  Pendidikan dan Permasalahan Pelajar di Masa Pandemi

Manusia telah menyadari bahwa dunia semestinya menjadi tempat untuk kolaborasi ketimbang kompetisi. Hanya liberasi yang memungkinkan kerjasama itu dengan meletakkan posisi manusia setara bagi satu sama lain.

***

Pada akhirnya terdapat kepingan yang menggenapi diri manusia. Ia adalah jiwa yang immaterial, yang melampaui dunia empiris. Kenyataan adanya dehumanisasi dan opresi menjadikan manusia gagal mengenal dirinya yang metafisik ini. Maka, tugas transendensi menjadi hal berikutnya yang harus juga dilakukan.

Pemenuhan tugas-tugas profetik itu akan berujung kepada transformasi dunia menjadi tempat yang lebih nyaman ditinggali untuk seluruhnya. Tentu tugas itu berat dan mengandung resiko yang mungkin tidak kita antisipasi.

Mereka yang diuntungkan oleh ketimpangan sosial pasti melakukan apapun untuk mempertahankan status quo. Akibatnya, para ‘manusia profetik’ harus bersiap untuk mengorban waktu, tenaga dan bahkan nyawa sekalipun.

Yang harus kita ingat adalah transformasi tidak terjadi dalam satu titik sejarah, namun terus menerus selama manusia itu ada. Sebab sekali kita berpuas diri dan berhenti, maka saat itulah sejatinya kita sedang melayani dehumanisasi, opresi dan komodifikasi.

Editor: Yahya FR

Avatar
32 posts

About author
Alumni Flinders University, Australia yang sehari-hari berprofesi sebagai Dosen Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Bidang Kajian Ahmad meliputi Kognisi dan Pengembangan Manusia, Epistemologi Islam dan Anti-Neoliberalisme. Ia juga seorang Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Co-Founder Center of Research in Education for Social Transformation (CREASION) dan Sekretaris Umum Asosiasi Psikologi Islam (API) Wilayah Jawa Timur.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *