Mengelola sampah bukan sekadar memilah-milah belaka, antara yang organik dan anorganik, antara yang berbahaya dan tidak, antara yang mudah busuk dan tidak. Kesuksesan dalam mengelola sampah adalah adanya sebuah sistem yang kontinu. Tanpa sistem yang kontinu, maka pengelolaan sampah cenderung akan sia-sia.
Sistem kontinu yang saya maksud ini adalah bahwa sejak sampah keluar dari rumah, harus dalam kondisi terpilah. Baik di tempat sampah, sarana angkut, hingga di lokasi akhir sampah.
Mengelola Sampah dan Dilemanya
Saya melihat ketiadaan sistem yang kontinu inilah yang menjadi penyebab kegagalan program pengelolaan sampah yang berbasis pemilahan. Sistem yang kontinu ini juga bertujuan menghargai rumah tangga yang telah berlelah-lelah memisahkan sampah di rumah masing-masing. Bukan apa-apa, ketiadaan sistem yang kontinu seringkali bikin jengkel ibu-ibu rumah tangga.
”Buat apa cape-cape milah sampah, lah wong nanti sama tukang sampahnya dicampur lagi,” keluh ibu-ibu yang sering jadi objek penyuluhan pemilahan sampah. Akhirnya saya berpikir bahwa kegiatan penyuluhan pemilahan sampah ini cuma proyek akal-akalan untuk menghabiskan anggaran baik yang dilakukan oleh LSM maupun pemerintah.
Sebenarnya sistem kontinu seperti ini sudah diterapkan dalam skala kecil di beberapa tempat. Di perumahan tempat saya tinggal di kawasan Depok, Jawa Barat, kebetulan sudah menerapkan sistem kontinu seperti ini meskipun dalam skala yang kecil. Sebagai informasi saja, perumahan tempat saya tinggal ini bukan perumahan mewah yang biasanya lengkap dengan segala utilitasnya. Jadi jangan berpikir bahwa sistem kontinu ini adalah sistem yang mahal.
Di perumahan kami, setiap rumah tangga diwajibkan untuk melakukan pemilahan sampah mulai dari rumah masing-masing. Selanjutnya sampah organik dan anorganik yang bisa di daur ulang dimasukkan ke dalam tong sampah yang berbeda. Tong sampah organik ini ada yang digunakan bersama ada yang berdasarkan rumah tangga.
Sedangkan sampah anorganik biasanya per rumah tangga. Yang efektif yang sifatnya komunal per 5-10 keluarga, karena jadinya setiap orang akan mengawasi tetangga lainnya, kalau-kalau sampahnya tidak dipilah. Biasanya kalau ada sampah anorganik masuk ke tong sampah organik akan langsung di broadcast di grup WA, cukup efektif untuk mengingatkan warganya.
Sampah organik selanjutnya diangkut setiap hari untuk dijadikan kompos di fasilitas komposter yang dibangun oleh Pemkot Depok tidak jauh dari kompleks kami. Ukurannya tidak besar, saya pikir hanya sekitar 1000 m2 saja. Fasilitas komposter ini sebenarnya memiliki kontrak dengan Pemkot Depok untuk menyediakan pupuk buat taman kota.
Nah, cara yang mudah mendapatkan bahan baku ya tentu saja dari perumahan kami. Karena kami juga berkontribusi menyediakan bahan baku gratis, maka pupuk kompos ini dapat kami minta untuk menghijaukan pekarangan atau taman kompleks secara cuma-cuma. Jadi sebuah simbiosis yang menguntungkan.
Efisiensi Praktik dan Sistem
Sampah yang bisa didaur ulang akan diangkut setiap dua atau tiga hari sekali oleh truk sampah milik Pemkot Depok ke tempat pembuangan sampah akhir. Lupakan sejenak bank sampah, warga pemukiman kami berfikir sampah yang bisa didaur ulang itu lebih baik jadi sumber pendapatan tambahan petugas kebersihan yang digaji tidak seberapa oleh Pemkot Depok.
Dari sistem ini saja sudah terjadi efisiensi yang luar biasa. Sebelum ada pemilahan sampah, truk sampah dari Pemkot hilir mudik tiap hari di kompleks kami, akibatnya jalan juga jadi cepat rusak. Selain itu cairan lindi yang menetes dari truk sampah juga menjadi masalah karena baunya yang menyengat.
Sayangnya, praktik-praktik seperti ini tidak pernah di tingkatkan menjadi skala yang lebih besar oleh pemerintah daerah atau kota. Maka akibatnya sampah tetap menjadi masalah perkotaan yang cukup serius. Bagaimanapun juga, suatu saat kota akan kehabisan tempat untuk dijadikan tempat penimbunan sampahnya, apalagi kalau sampahnya tidak dipilah terlebih dahulu. Volumenya tentu akan dua kali lipat dari sampah yang tidak dipilah.
Pemerintah bisa saja mendorong kehadiran sistem yang kontinu ini di perumahan. Katakanlah satu perumahan harus memiliki satu fasilitas pengomposan yang kapasitasnya disesuaikan dengan jumlah warganya. Sedangkan untuk non perumahan, pemerintah harus membantu dalam pembangunannya.
Selain itu armada pengangkutannya juga disediakan dengan tetap memisahkan sampah organik dan anorganik. Dan yang cukup penting, petugas angkut sampah juga harus dibekali pengetahuan mengenai pengelolaan sampah.
***
Jika sistem yang kontinu telah tersedia, saya pikir pemerintah juga perlu mereplikasi program penanganan demam berdarah menggunakan juru pemantau jentik (jumantik). Jadi di tiap RT atau RW perlu ada juru pemantau sampah untuk memastikan setiap warga memilah sampah dengan benar.
Sistem seperti ini pernah diterapkan di Beijing ketika mereka menjadi tuan rumah olimpiade 2008. Di setiap lingkungan ditetapkan orang-orang yang bertugas ‘membina’ warga dalam urusan buang sampah dengan benar. Hasilnya pun lumayan sukses.
Jadi, urusan mengelola sampah ini bukan cuma memilah kan?
Editor: Zahra/Nabhan