Terlahir dari rahim keluarga muslim adalah suatu anugerah yang tak ternilai harganya untuk mereka yang sadar akan makna kehidupan ini. Namun, tak sedikit manusia yang terlena oleh gemerlap hiburan dunia dan melupakan hakikat hidup serta fungsi fasilitas yang membalutinya. Dan pada puncaknya, beragama atau lebih tepatnya beribadah hanya sebatas angin lalu untuk menggugurkan kewajiban atas tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
Tentu bukan tanpa sebab, lemahnya pemahaman tentang fungsi agama serta beragama sebatas warisan orang tua menjadikan seseorang tersebut beribadah atau menjalani agamanya secara asal-asalan. Sehingga kesadaran akan hakikat dan tujuan hidup menjadi abu-abu bahkan hilang tanpa arah. Maka tak mengherankan bila kemudian banyak yang mati-matian untuk meraih kehidupan dunia yang enak, nyaman dan tentram ketimbang memikirkan kematian yang enak dan hari kemudian yang sejahtera.
Menyetel Ulang Ingatan
Agaknya, dewasa ini manusia modern masih bingung dalam membedakan mana kebutuhan dan mana yang hanya sebatas keinginan semata. Apa-apa yang menjadi keinginan dikira sebagai kebutuhan meski itu terkadang berseberangan dengan kebutuhan itu sendiri. Asal dirinya menginginkan dan bernafsu maka hal tersebut yang akan terus membanjiri isi kepala sampai apa yang menjadi pikirannya dapat diwujudkan. Maka dari itu, diperlukan pengamalan ilmu yang bijaksana untuk bisa berdzikir atau berpikir dengan baik dan terbebas dari kubangan hawa nafsu tersebut.
Hal ini penting diperhatikan sebagai fondasi awal untuk berdzikir atau mengingat apa yang semestinya diingat. Mengingat apa yang pokok-pokok dan bukan yang penting pokoknya mengingat. Namun pada kenyataannya tak sedikit manusia melupakan apa yang seharusnya diingat dan sebaliknya, mengingat apa yang seharusnya tak perlu diingat. Misalnya ketika sedang di dalam kelas, lebih mengutamakan makan apa setelah ini ketimbang apa yang sedang disampaikan dalam kelas.
Di sisi lain, rupanya tidak cukup hanya dengan berdzikir, sebab berdzikir hanya sebatas mengingat saja dan mesti dilanjutkan ke tingkatan yang selanjutnya yaitu Istiqomah. Istiqomah sendiri memiliki makna yang luas dan panjang penjabarannya, dan dalam hal ini penulis memaknainya dengan kesungguhan. Inilah sentralnya berdzikir atau mengingat, kesungguhan adalah ruhnya dzikir.
Misalnya, jika pembaca melihat atau barangkali memerhatikan orang yang ibadahnya taat dan tekun tapi di luar itu omongannya atau tindakannya sering melukai saudaranya, bisa jadi itu buah dari ketidakistiqomahannya dalam beribadah. Dia hanya sebatas menggugurkan kewajiban dan tidak mendapatkan ‘makna’ dari apa yang dilakukannya. Hal tersebut lantaran tidak menghadirkan hatinya ketika melaksanakan ibadahnya. Sebab ketika kesungguhan itu dihadirkan, tentu tidak mungkin seseorang berbuat yang tidak semestinya (fahsya’ wal munkar).
Menggapai Siratal Mustaqim
Dengan menghayati dua kunci di atas (dzikir dan Istiqomah) seharusnya manusia sudah bisa menilai, memetakan, kemudian membedakan mana yang menjadi kebutuhan dan tidak. Mana yang semestinya dijadikan sebagai prioritas dan mana yang hanya sebatas penunjang prioritas. Misalnya, Agama adalah prioritas dan sebuah kekeliruan besar ketika menjadikan agama hanya sebagai pelarian. Kasarnya, hanya beribadah atau mencari Tuhannya ketika sedang terpuruk, dalam keadaan sempit saja, akan tetapi ketika kesedihan itu diangkat atau dihilangkan ia langsung melupakan-Nya begitu saja (az-Zumar: 8).
Dari hal tersebut maka diperlukan keistiqomahan atau kesungguhan dalam beragama yaitu dengan menyemai kepribadian Rasul dan terus menambah ilmu pengetahuan sebagai bentuk keseriusan dalam beragama. Sebab, beliau adalah satu-satunya perwujudan muslim yang sesungguhnya, muslim yang Kaffah atau autentik. Beliau juga yang mengajarkan bagaimana seharusnya berlaku sebagai manusia dengan menjalin hubungan yang baik dan seimbang, baik kepada Rabbnya maupun kepada makhluk-makhluk-Nya (Hablumminallah dan Hablumminannas).
Namun bukan berarti ketika mengikuti Rasul harus melulu mementingkan dirinya dengan Rabbnya saja dan meninggalkan dunia. Mengikuti Rasul ialah meneladani sifat-sifatnya dan mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Yang berprofesi sebagai guru maka jadilah guru yang baik, yang menjadi pedagang, petani, karyawan, atau aparatur negara maka jalanilah profesi tersebut dengan profesional dan sungguh-sungguh tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang Rasul ajarkan. Sebab, menjadi muslim yang baik yang ittiba’ kepada Rasul adalah kewajiban yang mesti disadari oleh setiap umat Islam.
***
Akhirnya, dengan menghayati kembali fungsi agama dan terus memikirkan mengapa manusia terlahir ke dunia, sedikit banyaknya akan menyadarkan bahwa kelahirannya bukanlah suatu hal yang sia-sia. Kelahirannya adalah mulia, bahkan saking mulianya rahmat yang diberikan pun terus dicurahkan meski terkadang membangkang kepada-Nya. Dan surga beserta isinya adalah balasan bagi mereka yang taat, yang mampu menjalankan misi besar yaitu memahami tanda-tanda kekuasaan Rabbul ‘alamin yang dijabarkan oleh Rasul-Nya.
Tentu bukan suatu perkara mudah jika tidak dilandasi dengan kesungguhan dan keyakinan yang mantap. Singkatnya, Shiratal mustaqim tidak harus melulu ditafsirkan sebagai jalan yang lurus, mulus tanpa hambatan apa pun, bisa jadi malah sebaliknya yaitu jalan yang berkelok-kelok, terjal dan penuh rintangan. Sedangkan mustaqim adalah buah dari kesungguhan itu sendiri berupa kemampuan untuk dapat melewatinya mesti harus jatuh bangun dan terseok-seok sekali pun. Wallahu a’lam bishawab.
Editor: Soleh
Masya Allah,sesuai yg di harapkan kader mampu menyalurkan gagasan dalam bentuk tulisan,semoga yg lain menyusul!!!!