Falsafah

Mengenal Aliran Jabariyah: Manusia Dikendalikan Tuhan

3 Mins read

Aliran Jabariyan sudah tidak asing lagi didengar oleh telinga kita, bahkan umat Islam di pelosok negeri sampai dunia mengetahuinya. Terlebih lagi paham tersebut lebih mengutamakan adanya suatu takdir (qadha’ dan qadar) dibanding dengan usaha yang sangat optimal. Dari titik ini kita dapat mengenal aliran Jabariyah lebih jauh.

Aliran Jabariyah sendiri merupakan sebuah aliran yang bertolak belakang dengan aliran Qadariyah. Meskipun keduanya sama-sama berlandaskan pada al-Qur’an dan sama-sama memahami bahwasanya manusia memiliki kebebasan berkehendak untuk memilih dan berpegang teguh pada apa yang menjadi keyakinannya. Sebab kelak “di sana” akan dimintai pertangungjawaban tentang apa yang menjadi pilihanya tersebut.

Kendatipun demikian, apa yang telah dilakukan baik ataupun buruk, semuanya akan diberi balasan di akhirat kelak tentang apa yang mereka perbuat. Hal utama yang paling mendasar dalam Islam bukan tentang ilmu sains, faraid, logika, atau ilmu-ilmu pasti yang lainnya. Namun yang lebih diutamakan yakni adanya sebuah akhlak yang harus tertanam dalam benak seorang untuk tetap berpegang teguh padanya. Sebab orang dihargai orang yang lainnya disebabkan oleh perilaku yang terpuji.

Seperti halnya hadits Muhammad Saw dalam riwayat at-Tirmidzi yang berbunyi:

أكْمَلُ الْمُؤمِنِيْنَ إيْمَانً أحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang yang paling baik akhlaknya yaitu orang yang memperbaiki iman dengan sesempuna mungkin.” (HR at-Tirmidzi).

Mengenal Aliran Jabariyah

Setiap apa yang terjadi dalam hidup kita, entah itu sesuatu hal yang baik atau sebaliknya mesti ada runtutanya. Meskipun demikian ada yang berpendapat pada aliran Jabariyah ini tentang kelahiranya bahwa aliran tersebut datang saat agama rahmatan li’alamin (Islam) belum menjamah tanah Arab. Saat itu, kehidupan di Arab dikelilingi oleh gurun pasir yang panas, hal tersebut memberikan banyak perubahan dari cara hidup mereka.

Baca Juga  Menyikapi Covid-19: antara Jabariyah dan Qadariyah

Panasnya udara akibat teriknya matahari sangat menyengat di sana. Ditambah dengan air yang tidak banyak dan pastinya tumbuhan juga tidak dapat tumbuh dengan baik. Hanya rumput liar yang mengelilingi daratan dan beberapa pohon dengan suasana iklim disana, seperti kaktus dan kurma.

Akibatnya, Harun Nasution menjelaskan, bahwa dalam situsi yang sedemikian rupa, masyarakat Arab tidak berkeinginan mengubah keadaan di sana sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Seakan-akan mereka merasa lemah dan tak berdaya menghadapi itu semua karena kesukaran dalam hidup. Sehingga dalam hal ini menyebabkan mereka termasuk dalam paham fatalism. (Harun Nasution, 1986, 32).

Lebih Dekat Memahami Paham Jabariyah

Menurut bahasa Jabariyah merupakan paham yang berasal dari kata “Jabara” yang berarti memaksa. Sebuah kamus Munjid di dalamnya dijabarkan bahwa جبر- يجبر- جبراوجبارة  yang berarti “memaksa” atau dalam kalimat اكرهه والزمه بفعله yang mengandung arti “memaksakan dia dan mewajibkan atas hal tersebut.” (Luis Ma’luf, 2011, 78).

Mengapa demikian? Sebab paham Jabariyah merupakan bentuk penisbatan dari sifat Tuhan yakni Yang Maha Memaksa. Dari hal tersebut jika dijadikan bentuk istilah aliran Jabariyah merupakan “Sebuah paham yang menolak adanya perbuatan yang diemban langsung oleh manusia dan menyandarkan semua yang dilakukan atas Allah semata. Maka dari itu, semua hal yang dikerjakan merupakan bentuk keterpaksaan.” (Harun Nasution, Teologi Islam, 1986).

Dalam pendapat Jahm bin Sofyan sendiri menuturkan dalam paham Jabariyah bahwa:
“Tidak adanya kesangupan manusia melainkan keterpaksaan dalam berbuat sesuatu juga manusia tidak memiliki kodrat untuk berbuat”. Manusia hanyalah sebatas manusia yang tidak memiliki kuasa untuk berbuat semaunya, melainkan hanya Tuhan semata yang tiada batas untuk bertidak dalam suatu perbuatan yang dilakukan manusia.

Baca Juga  Antara Dunia Virtual dan Realitas: Bicara Pernikahan Online

Konsep dalam Mengubah Nasib

Seperti halnya di masyarakat sekarang, kita tentunya pasti menemui orang yang pesimis bahwa dalam merubah suatu sistem atau tatanan ekonomi mereka semua tidak lain karena takdir semata. Yang mana disitu malah memberikan kesan yang negatif seolah-olah semuanya itu bisa diselesaikan dengan takdir.

Menurut paham Jabariyah, apapun yang dilakukan manusia, sejatinya ditentukan oleh Tuhan. Dia telah menetapkan seseorang itu apakah dia kaya atau miskin? Itu semua sudah ada catatanya di Luahul Mahfuzh. Bukan berarti kita hanya pasrah dan tak mau berusaha akan tetapi Dia menguji kita apakah dia sesuai dengan apa yang Tuhan takdirkan.

Pada dasarnya takdir adalah ketentuan yang dapat berubah yang mana hanya Tuhan tahu dan kita hanya bisa memprediksi. Misal, seorang itu ditakdirkan oleh Tuhan miskin atau tidak punya apa-apa, namun dia dalam hal berusaha dan berdoa itu optimal hal tersebut secara tidak langsung akan membuat Tuhan iba kepada fulan.

Namun, tidak bisa kita sebagai suatu kaum pasrah akan takdir yang ditentukan, iya jika kita mengetahui takdir yang ada pada kita itu baik, jika tidak bagaimana? Seharusnya sebagai orang yang bermoral kita sebaiknya mensikapinya dengan pemikiran yang jernih, yang mana kita tidak boleh pasrah akan takdir yang ditentukan oleh Tuhan. Namun, kita harus mengusahakan agar tercapai takdir yang kita inginkan.

Seperti Wayang dan Dalang

Bukan berarti kita merubah tatanan Alam (Rabb). Akan tetapi, kita sebagai manusia yang diberikan kehendak untuk melakukan sesuatu, kita harus bisa menjalankannya dengan baik. Berusaha semaksimal mungkin dengan cara bekerja segiat mungkin sampai Tuhan menjemput kita dengan penuh cinta dan kasih. Maka dari itu, kita berusaha untuk bersikap bijak dengan berikhtiar sebaik mungkin. Karena pada hakikatnya usaha (baik dhohir maupun batin) itu akan membuahkan hasil.

Baca Juga  Covid-19 adalah Rahmah

Harun Nasution menjelaskan dalam karanganya mengenai kalam Jabariyah yakni:
“Paham yang berkeyakinan bahwa apapun itu segala perbuatan manusia sudah ketentuan (qada’ dan qadar) dari Allah. Dalam hal ini ada keterikatan dengan Allah tentang kehendak.” (Sidik, 2016, 275-276).

Artinya bahwa setiap apa yang diperbuat manusia merupakan suatu ketentuan dari Allah, sehingga ketentuan Allah termasuk pada termasuk ikhtiar yang dilakukan manusia. Dari sini dapat dijabarkan bahwa manusia bukanlah apa-apa namun untuk mewujukan itu semua juga membutuhkan manusia. Tidak juga “dia” memiliki kebebasan dalam berbuat suatu hal, akan tetapi semua itu dalam kendalinya.

Mengapa demikian? Sebab manusia lemah dan tak memiliki daya kemampuan untuk berbuat semaunya. Juga ada yang berpendapat bahwa manusia dan Tuhan dalam pandangan aliran Jabariyah seperti wayang dan dalang. (Harun Nasution, 1986, 4). Demikian ulasan untuk mengenal aliran Jabariyah lebih dalam.

Editor: Nabhan

Ahmad Fani Awaludin
1 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…
Falsafah

Kehidupan Setelah Mati Perspektif Al-Kindi

2 Mins read
Al-Kindi terkenal sebagai filsuf pertama dalam Islam, juga sebagai pemikir yang berhasil mendamaikan filsafat dan agama. Tentu, hal ini juga memberi pengaruh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds