Al-Qur’an sebagai karunia yang digunakan pegangan hidup umat Islam memiliki peran penting dalam mengetahui keimanan seseorang. Di samping itu, mazhab lah yang membahas berbagai cara mengesakan Tuhan dan keyakinan pada Tuhan. Berangkat dari pemikiran fikih dan ushul fikih, mazhab Imam Syafi’i mampu meyakinkan umat Islam sebagai pegangan dengan pemikiran kalam miliknya.
Perbedaan pendapat sering ditunjukkan oleh pemikir Islam, namun Imam Syafi’i selalu memikirkan hal yang sama terdapat pemikiran sahabatnya yaitu mengenai untuk tidak terjerumus dan mendalami pemikiran yang tidak masuk akal.
Biografi Singkat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i merupakan tokoh pemikir Islam yang terkenal di Indonesia dan di Malaysia. Beliau dilahirkan sebagai anak yatim dengan keluarga yang kurang berkecukupan. Semasa kecil, beliau selalu diajarkan pengetahuan Islam oleh ibunya, karena ibunya merupakan salah satu wanita solehah di Mekkah. Akhirnya, pada usia 7 tahun beliau sudah hafal Al-Qur’an. Beliau adalah keturunan dari Bani Muthalib.
Berangkat dari menghafal kitab al-Muwata’ karangan Imam Malik Ibnu Anas, beliau mampu mempelajari ilmu fiqih dengan sempurna. Setelah itu beliau menemui Imam Malik di Madinah dan kedatangannya disambut baik oleh Imam Malik (al-Aqil, 2003).
Sebagai seorang guru, Imam Syafi’i tidak akan pernah puas hanya pada satu tempat. Beliau lari ke Irak untuk mempertahankan aqidahnya dari mazhab Maliki yang jauh dari bid’ah dan pemiiran kalam. Mesir adalah tempat terakhir yang beliau singgahi dalam proses mengajar.
Melihat keadaan Mesir yang nyaman membuat beliau menemukan pemikiran baru. Ia ditulis bersama sahabat dalam bukunya yang berisi tentang qaul al-qadim dan qaul al-jadid. Inilah yang membuat beliau dianggap sebaga ilmuwan yang hebat karena pikirannya selalu berkembang.
Masuknya Pemikiran Imam Syafi’i
Adanya pikiran fikih dalam menentukan argumen secara tidak langsung masuk dalam unsur pemikiran kalam yang di bawa oleh Imam Syafi’i. Beliau adalah seorang pemikir yang menetapkan hukum untuk itu. Al-Qur’an adalah sumber utama yang diambil beliau dalam menentukan hukum fikih dan akidah (As-Syarbasyi, 2003).
Dari semua pengalaman yang dilakukan semasa hidupnya, beliau selalu mengedepankan Al-Qur’an dan as-sunnah. Semua pola pikir dan pandangannya yang selalu berkembang juga diperoleh dari semua pengalaman perjalanan hidupnya. Sebagai seorang guru, pemahamannya tentang hadis membuat beliau menjadi sosok yang sangat pintar.
Pandangan Imam Syafi’i menerangkan bahwa hadis setingkat lebih rendah dibandingkan Al-Qur’an. Menurutnya, hadis memiliki hubungan erat dengan Al-Qur’an. Setiap hukum yang ditentukan oleh Nabi Muhammad bersumber pada Al-Qur’an. Oleh karena itu, semua pemikiran yang ditunjukkan oleh beliau menganut dalil naqli dengan melihat bukunya yang berjudul al-Risalah yang membahas lima hukum dasar yaitu: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan Istidlal.
Pemikiran Kalam Imam Syafi’i
Pada masa Imam Syafi’i terdapat dua kelompok, yaitu fuqaha dan muhaditsiin di mana keduanya memiliki pendapat yang sama mengenai para kelompok mutakallim. Dua kelompok ini beranggapan bahwa orang yang menganut ilmu kalam itu tidak bisa menjadi ulama karena mereka adalah orang bid’ah. Argumen dikuatkan dengan alasan segala sesuatu yang dilakukan tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan as-sunnah. Kedua kelompok itu dianggap sangat anti terhadap pemikiran kalam.
Imam Syafi’i berkata bahwa, “Tidak dapat disangka ahli ilmu kalam tidak lebih baik dari dosa syirik. Siapa yang memiliki ilmu kalam tidak akan beruntung, dan hukuman untuk mereka adalah dicambuk. Itulah hukuman dari orang yang meninggalkan kitab dan sunnah lalu memilih ilmu kalam.” Dari pemikirannya tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud oleh beliau adalah orang yang menganut pemikiran kalam di mana dalam ajarannya mengandung bid’ah.
Berbeda dengan yang masih paham akan ajaran Islam dan sesuai dengan dasar sunnah, maka hasilnya baik untuk menambah pengetahuan berdasarkan akidah Islam. Imam Syafi’i selalu dikatakan pintar dalam memaknai kejadian. Tidak heran pikirannya yang selektif membuatnya mencela orang-orang yang mempelajari pemikiran kalam hanya karena mendekati pemerintahan, bukan karena menambah ketaqwaan terhadap Allah Swt.
Pemikiran kalam Imam Syafi’i berbeda dengan kalam mutakallim yang identik dengan aspek kalam menurut Islam, akan tetapi menggunakan dalil naqli tanpa logika atau pemikiran khusus seperti yang diterapkan oleh salah satu salaf yaitu salaf al-salihin.